Selasa 25 Feb 2025 18:55 WIB

Komitmen Syariat Islam pada Pemberantasan Korupsi (II - Habis)

Esensi korupsi adalah pencurian melalui tipu-tipu yang khianati kepercayaan.

mural antikorupsi (ilustrasi)
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
mural antikorupsi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang Muslim dinilai bukan dengan penampilan saja, tetapi juga lisan dan perbuatan. Para ulama mendefinisikan iman sebagai sesuatu yang diyakini di dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota tubuh.

Keutuhan itulah yang selalu dibawa dalam diri orang beriman, di mana pun dan kapan pun. Bagi Muslim yang melakukan korupsi, integritas itu sedang dinafikan atau bahkan cacat.

Baca Juga

Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits yang muttafaq ‘alaih: “Pencuri tidaklah melakukan tindak pencurian ketika dia dalam keadaan beriman.”

Seseorang tidak cukup dengan mengucapkan “katakan ‘tidak’ pada korupsi” atau berpakaian bak pribadi yang saleh sehingga berharap jutaan mata mengabaikan perbuatannya yang telah mengkhianati amanat publik.

Dia semestinya konsisten dalam menjauhi peluang-peluang dan, apalagi, perbuatan korup. Dengan konsistensi itu, hatinya akan terbiasa dalam melawan setiap godaan mengambil apa-apa yang bukan haknya.

Apa itu korupsi? Syed Hussein Alatas dalam buku Korupsi: Sifat, Sebab dan Fungsi menyebutkan, esensi korupsi adalah pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

Jadi, koruptor bukanlah pencuri biasa. Sebab, yang dilakukannya bukan hanya mencuri barang atau materiel berharga, tetapi juga mencederai kepercayaan (trust) orang lain. Dalam kasus korupsi yang dilakukan pejabat negara, misalnya, ia dapat dikatakan telah mengkhianati sumpah jabatan yang pernah diucapkannya dan sekaligus menodai trust yang dipercayakan publik kepadanya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ
Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.

(QS. Ali 'Imran ayat 159)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement