REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Farid Septian *)
Permasalahan kemiskinan ibarat sebuah lingkaran setan. Masalah ini terus menerus diwarisi oleh pemerintah dari satu pemerintahan ke pemerintahan lain.
Sebelum lebih jauh berbicara perihal kemiskinan, ada baiknya kita mengetahui definisi kosa kata tersebut. Jika mengacu kepada KBBI daring, kemiskinan berasal dari kata dasar miskin yang artinya tidak berharta, serba kekurangan, berpenghasilan sangat rendah.
Dalam pengertian yang lebih luas, kemiskinan dapat diartikan sebagai suatu kondisi ketidakmampuan baik secara individu, keluarga, maupun kelompok untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup (sandang, pangan, dan papan), sehingga kondisi ini rentan terhadap timbulnya permasalahan sosial yang lain. Kemiskinan dipandang sebagai kondisi di mana individu atau kelompok yang tidak dapat memenuhi hak-hak dasarnya secara layak untuk menempuh dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.
Dengan demikian, kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Hal ini sejalan dengan definisi kemiskinan menurut PBB sebagai berikut:
“Fundamentally, poverty is a denial of choices and opportunities, a violation of human dignity. It means lack of basic capacity to participate effectively in society. It means not having enough to feed and cloth a family, not having a school or clinic to go to, not having the land on which to grow one’s food or a job to earn one’s living, not having access to credit. It means insecurity, powerlessness and exclusion of individuals, households and communities. It means susceptibility to violence, and it often implies living on marginal or fragile environments, without access toclean water or sanitation”(UN Statement, June 1998 – signed by the heads of all UN agencies)
Pada masyarakat kelas bawah, kemiskinan cenderung diwariskan secara turun temurun dalam suatu keluarga atau kelompok. Terbatasnya materi yang dimiliki kaum miskin mengakibatkan mereka sulit mengakses pendidikan dan perkembangan ilmu pengetahuan-teknologi.
Implikasinya orang miskin memiliki daya saing yang lemah untuk mendapatkan pekerjaan yang layak ketika berhadapan dengan mereka yang berpendidikan tinggi. Pada akhirnya mereka menempati sektor pekerjaan berpenghasilan rendah bahkan tak mendapatkan pekerjaan.
Hal ini diperburuk dengan kebiasaan di mana orang miskin menikah dengan orang yang relatif level ekonominya sama, sehingga anak keluarga miskin cenderung mendapatkan level pendidikan yang sama bahkan mungkin lebih rendah lagi dari orangtuanya. Keadaan seperti ini terus berlanjut sampai generasi berikutnya.
Siklus ini membuat orang miskin melahirkan orang miskin baru atau dikenal dengan lingkaran setan kemiskinan (vicious circle). Namun demikian perlu kita garis bawahi bahwa kemiskinan tidak hanya menyangkut masalah ekonomi dan pemenuhan kebutuhan hidup, melainkan juga menyangkut masalah politik, sosial, dan budaya.
Paradigma Pemberdayaan Masyarakat Miskin
Menurut Suharto yang merujuk pandangan DuBois dan Miley (2006), pemberdayaan (empowerment) dapat didefinisikan sebagai proses maupun sebagai hasil. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian aktivitas yang terorganisir dan ditujukan untuk meningkatkan kekuasaan, kapasitas atau kemampuan personal, interpersonal atau politik sehingga individu, keluarga atau masyarakat mampu melakukan tindakan guna memperbaiki situasi-situasi yang mempengaruhi kehidupannya.
Sementara sebagai hasil, pemberdayaan menunjuk pada tercapainya sebuah keadaan, yakni keberdayaan atau keberkuasaan yang mencakup: (a) state of mind, seperti perasaan berharga dan mampu mengontrol kehidupannya; (b) reallocation of power yang dihasilkan dari pemodifikasian struktur sosial. Dengan demikian, pemberdayaan mencakup tidak hanya peningkatan kemampuan seseorang atau sekelompok orang melainkan pula perubahan sistem dan struktur sosial.
Pemberdayaan tidak hanya mencakup peningkatan kemampuan dalam bidang ekonomi (meningkatnya pendapatan), melainkan pula kemampuan dalam sosial-politik (misalnya: menyatakan aspirasi, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, menjangkau sumber-sumber kemasyarakatan dan pelayanan sosial). Menguatnya ide tentang pemberdayaan tidak dapat dilepaskan dari adanya pergeseran paradigma dalam melihat kemiskinan, khususnya dari perspektif individual dan kultural yang berwajah blaming the victim ke perspektif institusional dan struktural yang cenderung bermuka blaming the system (Parsons, Jorgensen, dan Hernandez, 1994; Suharto, 2005).
Perbedaan paradigma atau cara pandang terhadap kemiskinan ini tentu berdampak pada perbedaan dalam melihat penyebab, kriteria, dan penyusunan strategi penanggulangan kemiskinan. Menurut perspektif individual-kultural, kemiskinan diakibatkan oleh kesalahan-kesalahan individu yang bersangkutan.
Seseorang miskin karena ia malas, tidak mau bekerja, atau tidak memiliki etos wirausaha. Sebaliknya, perspektif institusional-struktural memandang bahwa seseorang miskin disebabkan oleh sistem sosial yang tidak adekuat, tidak adil, dan bahkan menindas.
Menurut kaum strukturalis, seseorang miskin bukan karena tidak mau bekerja, melainkan karena tidak ada pekerjaan; ia miskin karena dimiskinkan; ia tidak berdaya karena diperdayakan oleh struktur sosial yang mengitarinya. Melalui pandangan kaum strukturalis ini kita mengenal konsep “kemiskinan struktural” yang menjelaskan bahwa kemiskinan justru diakibatkan oleh adanya proses marjinalisasi terhadap masyarakat.
Entah itu oleh pengambil kebijakan dan pemegang kekuasaan pemerintahan, maupun aktor lain pemegang kekuasaan yang dapat menjauhkan masyarakat dari proses penentuan nasib ataupun pengambilan keputusan yang menyebabkan masyarakat terjebak dalam kemiskinan. Semisal penggusuran rumah secara paksa, penggusuran pedagang kaki lima, pengetatan akses pelayanan kesehatan, pengalihan fungsi pantai yang menutup akses para nelayan, dan lain-lain (Aqsa, 2013).
Dhu’afa dan Mustadh’afin
Dhu’afa berasal dari kata dha’iifun berarti “yang lemah”. Dhu’afa merupakan bentuk jamak dari dha’iifun juga bisa berbentuk jamak dhi’aafun. Dalam kamus bahasa Arab, kata dha’if berasal dari akar kata dha’afa – yadh’ufu – dha’fan, sering diberi arti dengan lemah, hina, bertambah, atau berlipat ganda (Kamus Al Munawwir 1997:882).
Dhu’afa dan mustadh’afin adalah dua kosa kata yang memiliki makna harfi’ah yang relatif sama, yaitu dipergunakan untuk orang-orang yang memiliki kelemahan, hanya saja kelemahan pada masyarakat dhu’afa terletak pada kelemahan yang bersifat fisik, yang menyebabkan ia tidak mampu bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Termasuk pada kelompok ini misalnya kaum tuna netra, lansia, dan lain-lain.
Sedangkan kelompok mustadh’afin adalah kelompok orang yang sesungguhnya tidak memiliki kelemahan yang bersifat fisik, bahkan memiliki berbagai potensi dan kekuatan yang melekat pada dirinya, misalnya memiliki kesehatan dan kekuatan jasmani, ilmu pengetahuan dan keterampilan tertentu. Hanya saja kekuatan tersebut tidak bisa diaktualkan secara optimal, karena berbagai faktor yang berasal dari luar dirinya yang ia sendiri tidak mampu mengatasinya
Untuk saat sekarang ini yang termasuk dalam mustadh’afin ini, misalnya para tenaga kerja, para pedagang kaki lima, petani, nelayan dan orang-orang yang memiliki keterampilan seperti para pengrajin, tukang jahit dan lain-lain. Hanya saja karena lapangan kerja tidak ada ataupun jika ada sangat sedikit jumlahnya, lahan pertanian yang semakin sempit, modal untuk usaha juga sangat sulit didapat, maka mereka terpaksa menjadi pengangguran, atau bekerja serabutan yang tidak menentu, dan yang penting bagi mereka setiap hari dapat makan untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Jika dikaitkan dengan dua perspektif kemiskinan di atas, maka orang miskin dalam perspektif individual-kultural dekat dengan istilah kaum dhu’afa; sedangkan menurut tinjauan institusional-struktural, orang miskin adalah kaum mustadh’afin. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa konsep advokasi dalam pemberdayaan masyarakat kelompok miskin sangat dipengaruhi oleh perspektif institusional- struktural.
Pentingnya Advokasi Dalam Pemberdayaan Masyarakat
Merujuk pada pernyataan Bachtiar Dwi Kurniawan (2013), beliau adalah Pakar Kebijakan Publik UMY, Sekretaris Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah, bahwa problem yang dihadapi masyarakat seringkali bersifat sistemik dan struktural, karena melibatkan negara, dan pemangku kebijakan. Masyarakat seringkali menghadapi ketidakadilan terhadap berbagai macam kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
Sebagian orang yang tidak mampu (unable) dan atau tidak mau (unwilling) memperjuangkan hak dan kepentingannya sendiri. Oleh karenanya publik perlu fasilitator dan transformator untuk perubahan kebijakan publik melalui upaya penyadaran dan pendampingan kepada masyarakat. Amil zakat dalam perspektif advokasi masyarakat mustadh’afin dapat menjalankan fungsinya sebagai fasilitator dan inisiator proses kebijakan publik tersebut.
Dalam sehari-hari kita kenal istilah “sudah jatuh ketiban tangga”, kondisi ini seringkali dirasakan oleh masyarakat miskin. Sebagai contoh, dalam perspektif struktural, difahami bahwa faktor utama penyebab kemiskinan adalah kegagalan pemerintah dalam memberikan akses dan pelayanan yang menyejahterahkan masyarakatnya.
Pada saat pemerintah abai dan gagal maka kemiskinan menjadi masalah yang selalu ada. Lalu ketika orang-orang miskin –yang tidak memiliki akses dan pelayanan dari pemerintah- tersebut termarjinalkan menjadi gelandangan, pengemis, berjuang mencari nafkah di jalanan, maka pemerintah membuat kebijakan bahwa gelandangan, pengemis, pedagang kaki lima adalah melangar hukum dan ketertiban masyarakat. Ini satu contoh dimana si miskin mengalami kesengsaraan berganda.
Oleh karenanya tepat apa yang disampaikan oleh Moh Arifin Purwakananta (Direktur Amil Zakat Nasional) yang mengemukakan tiga paradigma kemiskinan yang tak hanya menyoal pada akses dan pertumbuhan orang miskin tapi juga keadilan sosial yang harus di advokasi para pegiat sosial.
Peran Zakat Dalam Mengadvokasi Mustadh’afin
Tujuan pengelolaan zakat sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU No 23 Tahun 2011 adalah untuk kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan. Salah satu bentuk kemiskinan adalah kemiskinan struktural.
Kelompok mustadh’afin yang hari ini termasuk pada entitas buruh tenaga kerja, pedagang kaki lima, petani, nelayan, dan pekerja sektor informal lainnya adalah kelompok masyarakat rentan yang perlu mendapatkan penguatan dan keberpihakan. Pengetahuan dan akses masyarakat miskin rentan terhadap bantuan advokasi (litigasi dan no-litigasi) juga sangat terbatas. Hal ini harus menjadi bagian dari program kerja strategis lembaga zakat yang tak terpisahkan dari program pemberdayaan masyarakat.
Dari paparan diatas kita menyadari bahwa kerja advokasi masyarakat miskin bukan hanya tugas para pengacara dan paralegal. Tetapi juga kerja Amil Zakat atau siapapun yang terpanggil jiwanya untuk menjalankan tugas kemanusiaan. Advokasi masyarakat miskin lemah dan rentan adalah bagian dari bingkai implementasi maqoshid syari’ah yakni dalam rangka menjaga agama, memperbaiki akal fikiran, memperbaiki keturunan, memperbaiki dan menyelematkan jiwa, serta memelihara harta kekayaan.
Jelaslah peran lembaga zakat dalam advokasi masyarakat miskin lemah dan rentan adalah sebuah keharusan yang mengacu pada landasan syariah dan peraturan perundang-undangan yang juga diperkuat dengan landasan teori instituonal-struktual kemiskinan.
*) Amil Baznas RI