REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Nurul Imam
Peneliti Politik POINT Indonesia
Debat resmi pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur provinsi DKI Jakarta yang diselenggarakan KPUD telah digelar dua kali dan disiarkan langsung beberapa stasiun televisi nasional. Debat cagub dan cawagub tentu menjadi tahapan penting, bukan saja untuk mengetahui visi, misi, dan tawaran solusi serta program kerja, tapi juga untuk menakar sejauhmana penguasaan materi para kandidat terhadap tumpukan persoalan yang membelit Ibukota.
Debat adalah proses komunikasi lisan yang dinyatakan dengan bahasa untuk mempertahankan pendapat. Setiap pihak yang berdebat akan menyatakan argumen, memberikan alasan dengan cara tertentu agar pihak lawan berdebat atau pihak lain yang mendengarkan perdebatan itu menjadi yakin dan berpihak padanya (Asidi Dipodjojo, 1982).
Jika melihat debat pertama dan kedua, nampaknya masih bisa dikatakan kurang menukik, dan belum mampu mengeksplorasi permasalahan secara mendasar. Debat pertama yang dipandu oleh presenter senior Ira Koesno dapat dikatakan kurang menggigit dalam pembahasan subtansi, kurang interaktif dalam mengeksplorasi permasalahan, serta tidak spesifik. Debat masih berkisar pada wilayah normatif sehingga belum memberi kejelasan sikap dan komitmen terhadap masa depan Jakarta.
Bahkan di jagad lini massa, terutama Twitter, nitizen justru malah sibuk mengomentari moderator Ira Koesno, bukan memperdebatkan subtansi debat.
Debat kedua yang fokus pada tema reformasi birokrasi, pelayanan publik, dan penataan kawasan perkotaan menampilkan format yang agak berbeda. Debat kedua ini dipandu oleh dua moderator dan ada penambahan durasi waktu. Dibanding debat pertama, debat kedua bisa dikatakan lumayan lebih agak menukik, meski belum tajam dalam membahas tema-tema mendasar.
Menunggu Kejutan
Debat Pilkada merupakan medium mendulang dukungan elektoral guna mempengaruhi pemilih dengan menggelar kontestasi gagasan. Penampilan debat yang prima seperti penguasaan materi, bagaimana menyanggah, membeberkan fakta serta data, selain menyodorkan solusi yang terukur merupakan tolak ukur yang bisa meyakinkan publik.
Perdebatan yang mengambang, normatif, dan tak memiliki diferensiasi tentu tak bakal memberi efek secara signifikan dalam mendulang dukungan publik atau pemilih. Itu karenanya, debat ketiga ini, hampir dipastikan ditunggu-tunggu oleh publik, khususnya warga Jakarta.
Debat ketiga atau laga pamungkas yang menurut jadwal bakal digelar 10 Februari mendatang diharapkan memberi kejutan. Kejutan dalam arti mampu mengeksplorasi subtansi persoalan secara komprehensif maupun menyodorkan tawaran program yang lebih terukur. Atau, lebih tajam lagi, mesti ada negative campaign untuk membuka ke publik apa saja yang menjadi kekurangan masing-masing pasangan calon.
Tentu diharapkan ada peningkatan kualitas mengenai eksplorasi persoalan sehingga memberi deferensiasi yang jelas serta ada kejutan yang berguna bagi publik di satu pihak, dan di pihak lain dapat menjadi “alat keruk” dukungan elektoral. Hal ini juga berguna bagi publik, khususnya pemilih, agar mempunyai alasan yang cukup kuat mengapa memberikan dukungan pada salah satu pasangan cagub-cawagub. Semoga.