Selasa 14 Feb 2017 15:39 WIB

Membaca Logika Populisme Cagub DKI

Tauchid Komara Yuda
Foto: dokpri
Tauchid Komara Yuda

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Tauchid Komara Yuda*

Hanya tinggal menghitung jam, Pilgub DKI Jakarta akan segera diselenggarakan. Seperti biasa, akun sosial media netizen mulai dibanjiri dengan berbagai status maupun repost apapun yang berhubungan dengan pilgub. Mulai dari yang bernada sentimen sampai sok bijak. Sementara netizen asyik dengan debat kusirnya, para cagub juga sudah semakin intens mempersiapkan strategi kampanye mereka sampai menjelang pilgub mendatang.

Dari sekian banyak kampanye pemilu di Indonesia, baru kali ini penulis mendapati kampanye pilgub DKI Jakarta 2017 menjadi momentum yang sangat langka. Langka bukan lantaran sosok calon, apalagi sosok ‘juragan’ dibelakang para calon. Itu sudah menjadi rahasia umum. Melainkan karena logika populisme yang dibawa masing-masing calon ini tampak menggelitik. 

Populisme dapat dimengerti sebagai upaya aktor politik untuk membentuk persepsi publik dengan simbol-simbol yang dianggap berdekatan dengan aspirasi rakyat atau konstituen. Simbol-simbol tadi dihadirkan dalam rangka political frontier guna memberikan ruang bagi aktor politik untuk menghegemoni wacana publik untuk menarik empati masyarakat. Sehingga menciptakan suatu tren yang mudah ditiru publik dengan sukarela tanpa perlu repot-repot bagi si aktor ini memobilisasi publik dengan menggunakan binding goods seperti uang, barang, atau layanan jasa yang akan dipertukarkan dengan dukungan politik.

Sebagaimana kita saksikan hari ini, populisme berbasis figur adalah kenyataan yang tidak dapat terbantahkan. Konsekuensi logisnya, kemunculan korpus politik kartel menjadi keniscayaan. Menurut Ambardi (2009), indikasi utama politik kartel adalah ‘de-ideologisasi’ partai dalam perilaku politik, sikap permisif dalam pembentukan koalisi, dan kecenderungan kekuatan politik untuk bertindak secara kolektif sebagai sebuah kelompok. 

Sebagaimana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat yang didukung oleh NasDem, Hanura, Golkar, ditambah PDIP. Sementara Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)-Sylviana Murni dibeking PPP, PKB, PAN, dan PD. Sedang Gerindra dan PKS menisbahkan dukungan politiknya untuk Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Akan tetapi pada kesempatan kali ini penulis tidak ingin membahas kartel politik. Sekali lagi, penulis hanya ingin menyorot logika populisme cagub DKI Jakarta.

Mulai dari Ahok-Djarot, yang menawarkan arus populisme baru, yakni populisme rasional yang berdiametral dengan pendahulunya, Jokowi, populisme wong cilik. Ahok membaca situasi termutakhir bahwa populisme wong cilik sudah tidak legimate sebagai moda memboyong opini publik, lantaran banyak kebijakan yang dihasilkan pemerintahan Jokowi ketika menjabat jadi presiden jauh dari citra populisme wong cilik yang disimbolisasikan selama kampanye. 

Oleh karenanya, Ahok dan juga Djarot lebih menekankan citra praktis, simpel, lugas-tegas, dan berorientasi pada kinerja sebagai cara membangun image populisnya. Simbol-simbol ini kerap dimunculkan dengan berbagai kebijakan yang kontroversial seperti reklamasi, relokasi warga di wilayah DAS, dan penggusuran pemukiman informal warga miskin contohnya. Walaupun begitu, populisme baru ala Ahok ini berhasil mendapat simpati dari para kelas menengah metropolitan, yang kebetulan berkepentingan atas ruang publik bebas hambatan dan reformasi birokrasi. 

Berbeda halnya AHY-Sylvi. Keduanya tampak masih mencoba menghadirkan wacana populisme karismatik SBY dengan bungkus blusukan ala Jokowi. Narasi program-program kerja yang AHY-Silvi yang diproyeksikan dalam rencana kebijakannya cenderung inkremental dari program-program yang sudah ada, dengan target group-nya kebanyakan masyarakat miskin. 

Terlihat, AHY-Sylvi dalam hal ini berupaya memanfaatkan momentum menggaet massa manakala banyak pihak yang menghujam kebijakan kontroversial Ahok yang dinilai tidak berpihak pada masyarakat miskin. Akankah penggunaan kembali populisme konvensional ini efektif mengangkat popularitas AHY-Sylvi? 

Terakhir Anies-Sandi. Diam-diam pasangan cagub ini ternyata mampu mengambil celah. Anies-Sandi dalam beberapa segmen berupaya membangun citra politik alternatif untuk merespons panasnya dua kandidat lain yang mulai sibuk membangun identitas politiknya. 

Sebagaimana ketika Anies-Sandi membuat video parodi telolet di instagram pada awal Januari lalu. Belum lama, Anies-Sandi juga menggandeng artis Raffi Ahmad dan Nagita dalam program santai sorenya. Kedua aktivitas tersebut seolah menegasikan kesan wacana kepemimpinan dominan yang selama ini terkonstruksi serba temperamental kepada wacana kepemimpinan yang lebih cair dan bersahabat.

Selain itu, sosok Anies sebagai seorang intelektual inilah yang kemudian menjadi magnet bagi para intelektual akar rumput, aktivis Hak Asasi Manusia, yang kontra dengan ide developmentalis Ahok. Sekaligus memungkinkan bagi mereka memobilisasi massa mengambang yang satu sisi menolak politik tempramental Ahok, dan di sisi lain pesimistis akan politik populisme konvensional yang direkonstruksi ulang oleh AHY-Sylvi.

Terlepas dari populisme yang dihadirkan ketiga kandidat pejabat nomor satu DKI ini, kedewasaan perilaku pemilih Jakarta sedang diuji. Pasalnya, munculnya populisme berbasis figur acapkali berakhir dengan ketidakmampuan publik mengontrol jalannya kekuasaan. Sehingga menciptakan publik fanatik yang sukarela “mengawal” jalannya kekuasaan dengan menghalalkan berbagai cara. Akankah setelah pemilu 15 Februari nanti akan bermunculan hoax army? Wait and see.

 

*Tauchid Komara Yuda; Peneliti Politik dan Kebijakan Publik di Forum Bulaksumur Institute (FORBIL)/Mahasiswa Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UGM/Aktivis HMI Bulaksumur 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement