Kamis 09 Mar 2017 12:23 WIB

Amerika: Bangsa Imigran

Imam Shamsi Ali yang bermukim di New York.
Foto: Facebook
Imam Shamsi Ali yang bermukim di New York.

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Imam Shamsi Ali *)

Sekitar tujuh tahum silam, tepatnya di 2009, saya bersama 100 lainnya menerima penghargaan Ellis Island Honor Award. Penghargaan ini diberikan kepada para imigran atau anak cucu imigran yang dianggap berjasa berkontribusi kepada negara ini. Bersama saya ada beberapa nama besar, antara lain Jenderal Abi Zayd mantan panglima perang Amerika di Irak, John Podesto mantan Jubir Presiden Bill Clinton, dan penyanyi legendaris Hispanic Gloria Stephane.

Sejak dimulainya pemberian penghargaan itu setahu saya baru dua orang Islam yang menerima. Saya sendiri dan pentinju legendaris dunia Muhammad Ali.

Saat itu saya bangga, merasa terhormat, dan tentunya bersyukur sekaligus bahwa negara Amerika yang selama ini biaaa dikenal kurang bersahabat dengan Muslim justeru memberikan penghargaan kepada imimgran seperti saya dan Muslim pula. Kebanggaan saya itu tentunya karena saya merasa Amerika adalah rumah saya sendiri.

Ellis Island adalah sebuah pulau kecil seberang kota Manhattan. Berada di antara Manhattan dan pulau dimana Lady Liberty berdiri tegak, di sanalah sejarahnya para pendatang ke negeri ini pertama kali diterima. Sehingga, dengan sendirinya Ellis Island adalah simbol pintu kedatangan para imigran ke negara ini.

Dengan patung lady Liberty di seberangnya, Kota New York merupakan simbolisasi Amerika sebagai negara yang menjunjung tinggi kebebasan, sekaligus membuka dada dengan lapang menerima pada imigran.

Negara imigran

Bukan rahasia, dan siapapun tahu bahwa Amerika adalah negara imigran. Mereka yang berkulit putih juga sejarahnya adalah pendatang, yang umumnya melarikan diri dari daratan Eropa karena kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi.

Kedatangan para imigran atau tepatnya pengungsi Eropa ini menjadikan penduduk asli Amerika (Native American) termarjinalkan, bahkan cenderung tereliminir. Mereka dipaksa menyerahkan tanah dan kepemilikan mereka oleh pendatang Eropa, bahkan diusir untuk berpindah dari satu daerah ke daerah lainnya.

Kita tentunya diingatkan perayaan "Thanksgiving" di Amerika. Mengingatkan kita sebuah perayaan pahit. Perayaan kaum kulit putih (baca Eropa) merampas tanah dan kepemilikan penduduk asli Amerika (Native Americans).

Peperangan demi peperangan di masa kelam Eropa menjadikan bangsa itu mencari tempat pelarian. Maka Amerika adalah tempat yang memang dari dulu menjadi tujuan pelarian itu. Dari bangsa Irlandia, Yunani, Itali, dan seterusnya.

Mungkin pengungsi dari Eropa yang masih dekat di memori kita adalah pengungsi komunitas Yahudi yang melarikan diri juga dari kekejaman Eropa di bawah pimpinan Hitler. Amerika-lah menjadi destinasi mereka melarikan diri dari pembantaian tentara Hitler.

Adapun warga kulit hitam (Afro Americans), mereka tidak datang di negeri ini karena melarikan diri. Tapi, mereka datang ke negeri ini karena dipaksa oleh penjajah Eropa dari Afrika saat itu. Oleh karenanya, sejatinya, Afro Americans tidak dikategorikan sebagai imigran, tapi budak-budak kulit putih yang datang ke negeri ini.

Demikianlah seterusnya warga Amerika tumbuh besar, berkembang, dan bersama membangun negeri ini. Semuanya, datang dari berbagai penjuru dunia.

Kini Amerika, mau atau tidak, menerima atau menolak. Sadar atau tidak, berani atau phobia, kenyataannya memang adalah negara imigran. Kota New York barangkali adalah kota paling metropolitan dan sekaligus paling ragam, tidak saja di Amerika tapi di  dunia. Tentu selain Makkah dan Madinah di musim haji.

Secara ras, etnis, warna kulit, bentuk dan wajah, bahkan kultur, budaya dan agama, hampir semuanya ada dan menyatu dalam kesatuan bangsa dan negara Amerika. Maka, sangat wajar jika istilah "united states of America" tidak saja simbolisasi kesatuan 50 negara-negara bagian itu. Tapi sekaligus simbolisasi dari kesatuan dalam keragaman yang luar biasa.

Ancaman 'White Supremacy'

Kebutaan sejarah atau pembutaan sejarah Amerika memang kuat. Warga Amerika kulit putih yang sejatinya adalah pendatang juga atau keturunan imigran Eropa tiba-tiba terbalik dan seolah mereka adalah warga Amerika asli (pribumi). Sebaliknya, siapapun yang berkulit non putih mereka seolah adalah pendatang, non pribumi, atau immmigran.

Pembalikan sejarah ini, menjadikan warga kulit putih, selain didukung oleh sistem, juga semakin berada di atas angin dan melakukan apa saja untuk menjadikan non putih seolah bukan warga Amerika yang punya hak kesetaraan dengan mereka. Pergolakan sosial antara kulit hitam dan warga kulit putih di tahun 60-an menjadi catatan sejarah kelam Amerika.

Terpilihnya Barack Obama sesungguhnya sebuah sejarah besar yang terjadi dalam perjalanan bangsa Amerika. Belum berselang lama sejak pergerakan warga kulit hitam di bawah pimpinan Martin Luther Jr. Amerika berhasil memilih seorang non putih menjadi presidennya. Tentu sebuah sejarah yang membanggakan bagi bangsa ini.

Akan tetapi di balik kebanggaan itu ternyata juga meninggalkan luka kalangan mayoritas kulit putih. Setelah sekian lama merdeka Amerika ternyata belum sepenuhnya siap dipimpin oleh seorang non putih, yang dianggap bagian dari minoritas. Dan sekali lagi, asumsi masih saja kuat bahwa non putih itu masih lekat dengan atribut immigran.

Ketidak senangan (displeasure) yang dirasakan oleh sebagian besar warga kulit putih itu terwakili oleh sikap Donald Trump dan petinggi Republikan yang melakukan upaya apa saja untuk menghalangi bahkan menjatuhkan Barack Obama. Donald Trump misalnya, ketika itu mencari sekuat mungkin akte lahir Barack Obama, yang dicurigai lahir di luar negeri. Maklum, ayahnya adala seorang warga Kenya dan hanya pernah sekolah di Harvard University bersama ibunya.

Sentimen kebencian sebagian besar kulit putih terhadap Presiden Obama itulah yang berhasil dimainkan oleh Donald Trump dalam kampanye. Modal rasisme menjadi salah satu modal utama memenangkan kepresidenan.

Mungkin dalam sejarah pemilihan presiden di Amerika baru kali ini ada seorang kandidat yang secara terbuka dan terang-terangan didukung oleh kelompok kristen teroris atau lazimnya dikenal sebagai KKK. Dan dukungan ini tidak juga diingkari oleh sang calon (Donald Trump).

Kini, terpilihnya Donald Trump, kelompok ekstrim putih yang dikenal dengan "White Supremacist" semakin menjadi-jadi. Jika di masa lalu merek kerap kali menterror imigran dan kelompok minoritas lainnya sebagai prilaku sporadis di sana sini, kini mereka seolah mendapat justifikasi sistem. Artinya tindakan rasisme kulit putih dan kekerasan yang mereka lakukan itu seolah sudah menjadi bagian dari kebijakan pemerintahan Amerika saat ini.

Terakhir, tentunya beberapa kebijakan dalam beberapa hari pemerintahan Donald Trump telah memperlihatkan fenomena anti-non White itu. Dari kebijakan melarang orang Islam dengan Executive Order I dan II, hingga kepada kebijakan imigrasi untuk mendeportasi warga yang tidak bersurat (undocumented). Bahkan hari-hari ini, juga sedang dilalakukan upaya penghapusan dan penggantian asuransi kesehatan Obama yang dikenal dengan nama Obamacare.

Saya melihat semua ini tidak lepas dari karakter para pemain di pemerintahan Donald Trump yang memang bias dan rasis.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَاِذْ قَالَ اِبْرٰهٖمُ رَبِّ اَرِنِيْ كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتٰىۗ قَالَ اَوَلَمْ تُؤْمِنْ ۗقَالَ بَلٰى وَلٰكِنْ لِّيَطْمَىِٕنَّ قَلْبِيْ ۗقَالَ فَخُذْ اَرْبَعَةً مِّنَ الطَّيْرِفَصُرْهُنَّ اِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلٰى كُلِّ جَبَلٍ مِّنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِيْنَكَ سَعْيًا ۗوَاعْلَمْ اَنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌحَكِيْمٌ ࣖ
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman, “Belum percayakah engkau?” Dia (Ibrahim) menjawab, “Aku percaya, tetapi agar hatiku tenang (mantap).” Dia (Allah) berfirman, “Kalau begitu ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah olehmu kemudian letakkan di atas masing-masing bukit satu bagian, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Ketahuilah bahwa Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.

(QS. Al-Baqarah ayat 260)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement