REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Harri Ash Shiddiqie *)
Tahun 1818 Raffles berkunjung ke Istana Pagaruyung, Sumatera Barat. Ia menulis, istana itu tinggal puing-puing bekas terbakar 3 tahun sebelumnya. Itu akibat peperangan Kaum Adat yang mempertahankan kesenangan menyabung ayam, judi, minum tuak, melawan Kaum Padri yang berusaha menegakkan Islam murni, sejati.
Tahun 1821 Kaum Adat meminta bantuan Belanda. Peperangan semakin seru, korban tidak hanya sanak saudara yang hilang atau terbunuh, rumah dan harta benda ikut musnah. Belanda yang berniat menjajah juga menjarah alam, menjarah kekuasaan dengan menginjak harga diri dan kehormatan.
Kesengsaraan membuahkan kesadaran Kaum Adat, tahun 1833 mereka menyatukan diri bersama Kaum Padri melawan Belanda. Belanda tidak mundur, mereka datangkan pasukan yang terdiri dari orang-orang Ambon, Bugis, Jawa dan Madura. Sejarah mencatat nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo. Serangan bertubi-tubi membuat benteng pertahanan kaum Padri jatuh tahun 1937.
***
Dalam Islam, melekatnya kesadaran meniti jalan lurus (di kalangan muslim sering disebut “hidayah”, petunjuk) adalah misteri. Sebagian orang mencari dan menemukannya, tapi juga ada yang tidak menemukan meski telah mempelajari banyak kepercayaan, isme dan berbagai agama.
Terkadang hidayah itu sudah mengalir dalam darah, silakan disebut turunan atau warisan, itu karena ayah dan ibunya muslim, lingkungannya Muslim. Memang di bulan Ramadhan ia puasa, tapi tidak shalat. Tak beda dengan Kaum Adat saat melawan Kaum Padri, mereka sudah bersyahadat tetapi berat meninggalkan kesenangan maksiat. Petunjuk sudah mereka ketahui, hidayah sudah diterima, tapi itu semua belum “dapat” menggerakkan hati.
Setelah tangis dan jerit berkepanjangan dengan darah berceceran, mereka “mendapat” hidayah, lalu melawan Belanda. Kita tidak pernah tahu apakah orang-orang semacam Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo juga bisa mendapat hidayah, bahwa mereka diperalat untuk membunuh saudara sesama muslim?
***
Berpuasa di bulan Ramadhan, apakah pasti mendapatkan hidayah “la’allakum tattaquun “ (QS 2:183). Belum tentu, bahkan tidak jarang puasa itu menggusur takwa. Bagaimana bisa? Dua ukuran utama gagalnya tambahan takwa dalam Ramadhan, yakni : syahwat dan syubhat.
Syahwat, bukan hanya birahi, ada syahwat politik, syahwat dunia, syahwat popularitas, sampai syahwat konsumtif. Pembelajaran paling efektif untuk mengendalikan syahwat adalah latihan. Dan latihan paling mendasar adalah pengendalian kebutuhan primer, makan dan minum.
Banyak penguasa atau eksekutif yang berpidato bahwa etos kerja harus tinggi, tapi beberapa minggu kemudian di gelandang karena korupsi. Dan ada penguasa yang berpuasa hanya di hari itu agar dipotret wartawan saat berbuka bersama bersama anak yatim, itu syahwat seremonial. Ada juga perindu Ramadhan karena hendak membeli banyak pakaian mahal untuk pamer sambil bermobil saat pulang kampung. Ini syahwat narsis, syahwat fashion. Syahwat yang tak terkendali pasti menurunkan takwa.
Lalu syubhat. Rancu, tidak jelas, ragu, ini didasari oleh tidak tahu. Bid’ah dianggap sunnah, yang mungkar dianggap ma’ruf. Ini akibat tidak berilmu, bodoh. Menggusur takwa. Bahkan bisa lebih terjerumus dalam kemunafikan, kekafiran.
Ramadhan, selain bulan maghfirah, bulan rahmat, bulan doa, ia juga bulan Quran. Bulan diturunkannya Alquran, juga bulan dibacanya Alquran. Bukan sekedar dibaca dengan disuarakan keras-keras, tapi didalami, ada tadabbur, sehingga pembacanya menjadi berilmu, tidak bodoh, tidak bermaksiat lagi.
Di bulan Ramadhan, bila syahwat bisa dikendalikan, syubhat bisa di tipiskan, puasa mengantarkan naiknya takwa, ke arah sebenar-benar takwa. Semoga itu kita. Amin.
*) Penyuka sastra dan teknologi, di Jember.