Kamis 27 Jul 2017 04:19 WIB

Pancasila, Khilafah, dan HTI

Salamun
Foto: dok. Pribadi
Salamun

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Salamun *)

Kosa kata yang paling sering disebut banyak kalangan ahir-ahir ini adalah khilafah yang kemudian seperti menjadi barang ‘najis’ dan bahkan menakutkan. Padahal, sejatinya kehadiran kita dimuka bumi ini karena mengemban misi sebagai khalifah--orang yang menjalankan fungsi khilafah (baca QS. Al-Baqarah:30). Nah, oleh karena itu, kita tidak boleh membabi buta menyalahkan khilafah dan latah menghujat khilafah bertentangan dengan Pancasila. Umat manusia diciptakan di muka bumi ini untuk menjadi khalifah (wakil Tuhan) untuk membangun peradaban yang sesuai dengan sunnatullah (hukum-hukum Tuhan) bukan hukum-hukum berhalaiyah (materialisme) atau hewaniyah, saling memangsa, yang kuat memakan yang lemah.

“Mohon Anda juga jangan anti-Khilafah, kita jangan cari masalah dengan Allah, sebab Khilafah itu gagasan paling dasar dari qadla dan qadar-Nya. Kita punya keluarga dan anak cucu, mari hindarkan konflik laten dengan Tuhan”. Tulis Caknun dalam Tongkat Perppu dan Tongkat Musa (www.caknun.com).

 

Caknun menjelaskan “Kalau orang masih mau mandi, makan minum dan buang air besar maupun kecil, masih tak keberatan untuk berpakaian, membangun rumah dengan taat gravitasi, memasak air sampai mendidih, tidak keberatan untuk tidur berselang-seling dengan kerja keras menghidupi keluarga – itu sudah Khilafah, di mana manusia mematuhi asas kebersihan, kesehatan dan kemashlahatan. Kalau hukum ditegakkan, ketertiban sosial dirawat bersama, Pemerintah bertanggung jawab kepada rakyatnya, secara substansial itu sudah Khilafah”.

Yang menjadi persoalan ialah ketika orang memahami khilafah adalah HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), atau HTI adalah khilafah inilah yang kemudian harus dituntaskan. Apakah sesungguhnya yang dikehendaki oleh HTI terhadap Pancasila dan Negara ini? Di sinilah pentingnya mekanisme peradilan yang relatif steeril dari kepentingan subjektif pragmatis pemegang kekuasaan.

Nabi Muhammad SAW adalah pemimpin pertama dimuka bumi yang berhasil membangun peradaban ‘demokratis’ berketuhanan dengan membuat Piagam Madinah dimana kemudian piagam ini disebut para sejarawan sebagai naskah pertama dalam sejarah bernegara ummat manusia yang melindungi dan menjamin keberagaman suku dan keyakinan tetap diberikan kebebasan dan bahkan perlindungan dari Rasulullah SAW.

Di antara hal penting isi Piagam Madinah adalah yang tertuang dalam Pasal 25 “Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga kebebasan ini berlaku bagi sekutu sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarga”. Dari sini dapat kita pahami betapa Nabi Muhammad SAW sangat menghargai pilihan hidup termasuk dalam hal aqidah sekalipun, mereka tidak dipaksa harus mengikuti atau memeluk Islam, justru mereka (non muslim) mendapat kebebasan dan perlindungan dari Beliau.

Demikian canggihnya Nabi Muhammad SAW dalam memimpin dan membangun peradaban--dengan semangat musyawarah dan egaliter, sehingga Michael H. Hart (1994) menempatkan Beliau sebagai orang nomor satu dalam Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah. Namun demikian, hingga saat ini, tidak ada satupun referensi shahih yang menyebut negara yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW tersebut sebagai Negara Islam.

Prof Dr Sulthan Syahril (2014) Guru Besar UIN Raden Intan Lampung dalam orasi ilmiahnya menyatakan bahwa konstruksi dan postur negara Madinah memiliki tingkat kemiripan yang masif dengan NKRI. Baik dari konteks pluralitas etnis, budaya, agama maupun konstitusi. Sehingga ummat Islam Indonesia khususnya harus lebih banyak belajar dan mengadopsi model negara Madinah dalam kaitannya dengan penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pancasila adalah kita

Dalam mengamalkan Pancasila setidaknya dapat dilihat dari dua dimensi, adalah dimensi konstitusional dan dimensi budaya. Secara konstitusional Pancasila ialah merupakan sumber dari segala sumber hukum yang dengan demikian seluruh produk Peraturan Perundang-undangan dan atau regulasi yang ada di Negara ini harus bersumber dari Pancasila dan sekaligus otomatis tidak boleh bertentangan dengan Pancasila itu sendiri.

Dalam dimensi budaya, membangun peradaban bangsa Indonesia sudah semestinya menempatkan Pancasila sebagai rambu-rambu yang mengarahkan kita menuju tatanan masyarakat yang berkeadaban dengan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, menjaga persatuan dan kesatuan, mengembangkan demokrasi menuju tatanan masyarakat yang adil dan makmur, berlandaskan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa (baca Demokrasi Pancasila: Mutiara yang Masih Terpendam, Republika Online, 17 Juli 2017).

Oleh sebab itu, maka Pancasila ialah kalimat pemersatu (kalimatun sawa) bagi seluruh elemen anak Bangsa ini dengan berbagai macam latar belakang, agama, suku bangsa, budaya dan adat istiadat. Tentu dengan potensi keberagaman itulah maka harus dapat kita pastikan tidak boleh ada arogansi dominasi mayoritas dan tirani terhadap minoritas, tidak boleh ada eksploitasi dan atau tekanan baik secara vertikal--pemerintah terhadap rakyat--maupun horizontal--antar elemen anak Bangsa.

Kita tidak akan sampai kepada pemahaman Pancasila secara utuh sebagaimana dirumuskan para founding fathers Bangsa Indonesia Soekarno, Mohammad Hatta bersama Panitia Sembilan Anggota BPUPKI, sehingga kita baik rakyat maupun para pemegang kekuasaan –legislatif, eksekutif dan yudikatif serta stakeholder berbangsa dan bernegara--mencapai suatu hikmat (hikmah) kebijaksanaan (wisdom). Oleh sebab itu maka ianya menjadi prasarat untuk berdemokrasi (Pancasila) dengan baik dan benar serta bermartabat.

 

Hikmah kebijaksanaan (wisdom) dapat diperoleh melaui proses pendidikan namun juga dapat diperoleh langsung dari Tuhan (given). Hakikat atau substansi dari kebenaran dan kebaikan universal itu disebut hikmah kebijaksanaan (wisdom) -- biasa juga disebut hukum--, orang yang menegakkan hukum namaya hakim serta tempat (institusi) yang diberi otoritas menegakkan hukum namanya Mahkamah.

Demikianlah, Pancasila dan atau Demokrasi Pancasila dalam implementasinya dibangun dan ditegakkan berdasarkan hikmah kebijaksanaan (hukum) Ketuhanan. Maka setiap memutuskan perkara Hakim dalam Putusannya menyebut “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, bukan atas interest pribadi dan atau dalam beberapa kasus berdasarkan order (by order), tertangkapnya penegak keadilan dalam OTT KPK adalah contoh kasus buramnya penegakan hukum di Indonesia.

Namun demikian kita harus tetap berprasangka baik bahwa masih banyak putra-putra terbaik bangsa ini yang sangat serius dan sungguh-sungguh dalam menegakkan keadilan. Para Hakim dan Hakim Agung tentulah menjadi benteng terahir keadilan di Negeri ini yang kepada Beliau-Beliau kita berharap semoga Allah SWT Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan petunjuk dan kekuatan kepada Para Yang Mulia tersebut untuk senantiasa menegakkan keadilan dengan seadil-adilnya dan sejujur-jujurnya.

Dengan demikian membubarkan Ormas (HTI) tanpa pengadilan sama halnya dengan praktek penanganan terhadap terorisme dalam banyak kesempatan. Para terduga teroris dibunuh tanpa melalui proses pengadilan tentulah bukan merupakan cerminan negara hukum (rechtstaat), yang lebih berbahaya ketika salah dalam mengeksekusi karena kesalahan informasi dan data.

Mohon maaf saya bukan anggota HTI atau tidak setuju HTI dibubarkan, silakan saja jika memang bertentangan dan sekaligus akan mengganti Pancasila misalnya, namun sebagai negara hukum hendaknya diproses melalui pengadilan, fakta-fakta hukumnya harus diuji.

 

Yang kemudian menggelitik ialah bahwa ahir-ahir ini banyak kalangan yang lantang meneriakkan agar pengurus dan anggota HTI segera dihukum, yang menurut Perppu Nomor 2 tahun 2017 ini hukumannya Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun (Pasal 82A ayat 2).

"Wahai orang-orang yang beriman jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Maidah:8). Wallahu A’lam bish-shawab.

*) Mahasiswa Program Doktor UIN Raden Intan Lampung, Dosen STIT Pringsewu dan UML. email: salamun.ms15@gmail.com

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement