Senin 07 Aug 2017 15:18 WIB

Zoya, Algojo, dan Pengurus Masjid

Anggota Komisi VI DPR RI Rieke Diah Pitaloka mengunjungi rumah duka korban pembakaran Muhammad Alzahra (Joya) di Kampung Jati, Cikarang Kota, Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi, Ahad (6/8).
Foto: Republika/Dea Alvi Soraya
Anggota Komisi VI DPR RI Rieke Diah Pitaloka mengunjungi rumah duka korban pembakaran Muhammad Alzahra (Joya) di Kampung Jati, Cikarang Kota, Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi, Ahad (6/8).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Rudi Agung *)

Waktu kecil, ayahanda kerap berkisah tentang masa penjajahan dan pemberontakan komunis.

Kisah-kisah mengharukan masih terhujam dalam ingatan. Saat itu, terjadi pemberontakan PKI tahun 1948.

Ayahanda bersama rekan diburu komunis. Masuk ke hutan. Apes bagi beberapa rekannya yang tertangkap.

Ketika mereka kembali, beberapa rekannya telah jadi mayat. "Ada yang ditelanjangi, kemaluannya dipotong, ada yang gosong dibakar."

Kekejian komunis tak lekang dalam ingatan. Kobaran api kebencian mereka kerap dialamatkan pada Islam dan TNI. Terutama pada Ulama, santri dan kaum Muslimin.

Memori menyeret saya pada kisah kehidupan Rasulullah. Berkali-kali Rasul mendapat perlakuan percobaan pembunuhan.

Namun, beliau menyikapinya dengan kemuliaan akhlak. Hasilnya, pihak yang ingin melakukan percobaan pembunuhan justru jadi pembelanya.

Menjadi pengikut setia sampai akhir hayatnya. Seperti kisah menajukban dari kehidupan Khalifah Umar bin Khattab.

Atau kisah Umair bin Wahb, Tsumamah bin Utsal al-Hanafi. Fadlalah bin Umair, Ghaurats bin al-Harits.

Mereka dulunya memiliki keinginan membunuh Nabi. Namun, menyaksikan keindahan akhlak Rasul, justru jatuh hati.

Menjadi sahabat setia dan generasi terbaik sepanjang zaman berkat didikan kemuliaan akhlak Rasul. Shalaallahu alaa Muhammad.

Sejarah dan kisah-kisah kehidupan Rasulullah dan sahabat, kini seolah barang langka. Terutama bila mengaitkan dalam realitas kehidupan sekarang. Seolah hanya kampanye dan klaim sepihak: kami ahli Sunnah.

Dada serasa terguncang membaca berita pembakaran pemuda shaleh di Bekasi. Miris.

Teramat miris lagi menyaksikan video pembakaran korban tersebut, yang menjadi viral. Sang korban bernama Muhammad Al Zahra Zoya, dikenal sebagai Zoya atau Joya: korban tragedi amplifier​ berdarah di Bekasi.

Pemuda shaleh yang meninggalkan anaknya yang masih kecil dan istrinya yang hamil itu, dibakar massa, awal Agustus. Tanpa pengadilan, dikepruk kepalanya, ditelanjangi, dibakar hidup-hidup, disaksikan ratusan warga.

Dalam video, tersua teriakan massa yang bersorak sorai dan bertepuk tangan. Ya Allah, kita ini bangsa apa? Kenapa menjadi bar-bar begitu?

Bagaimana bisa sebagai manusia menyaksikan orang dibakar hidup-hidup dengan sorak sorai dan tepuk tangan? Ada apa dengan jiwa anak-anak bangsa? Kemana peran Ulama?

Kenapa kita lebih takut kehilangan asesoris masjid dibanding kehilangan jiwa seseorang. Bahkan, nyawa seorang Muslim.

Pembunuhnya pun, bisa jadi, Muslim juga. Atau mengaku-aku sebagai Muslim.

Bukankah nubuah mengingatkan? Hancurnya dunia lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang Muslim. Dosa membunuh seorang Mu'min lebih besar dibanding hancurnya dunia.

Menyaksikan video itu, serasa mengenang kisah orangtua tentang kebiadaban komunis. Terlebih, satu per satu kesaksian muncul jika korban adalah orang shaleh di daerahnya.

Mertua korban, Pandi, misalnya. Beliau bersaksi jika korban shalatnya tak pernah ketinggalan.

Engkung Amir, Ketua RT 05, lingkungan korban tinggal, bersaksi almarhum berakhlak baik pada tetangga. Bahkan kerap menjadi imam shalat dan guru mengaji.

Kesaksian tentang perilaku terpuji dan keshalehan korban juga tersua dari para tetangga, tokoh masyarakat sampai pengurus masjid setempat.

Haji Darta, Ketua DKM, Mushala Baiturrahman Cikarang Kota, bersaksi jika almarhum Muhammad Zahra sering shalat di mushala tersebut. Bahkan, memberi sedekah mic untuk mushala.

Kesaksian akhlak korban juga tersebar dalam media, video dan pelbagai tulisan yang viral. Almarhum juga diketahui sebagai tukang servis dan jual beli amplifier​.

Bahkan, kisah haru tersua dari istri korban ketika anaknya menanyakan keberadaan sang ayah. Terlebih anak tersebut kerap diajak shalat jamaah oleh korban.

Lantas, kenapa kita mudah memvonis seseorang bahkan melukai dan membakar hidup-hidup?

Ironinya lagi, saat membaca media online Merdeka, 2/8/2017, bertajuk: Polisi tegaskan pria yang dibakar warga pencuri amplifier musala. Kutipannya:

"Ada laporan polisinya," kata Kasat Reskrim Polres Metro Bekasi AKBP Rizal Marito, Rabu (2/8).

Menurut dia, laporan polisi yang membuat adalah marbot di sebuah mushala yang amplifiernya hilang di Kampung Muara Bakti RT 012 RW 07, Desa Muara Bakti, Kecamatan Babelan.

Karena itu, Rizal membantah, bahwa MA merupakan korban salah sasaran yang disebutkan di media sosial yang kini menjadi viral.

"Hasil penyelidikan menyebutkan, bahwa korban yang dibakar massa ini adalah pelaku pencurian amplifier mushala," ujarnya.

Penyelidikan, kata dia, dengan cara memintai keterangan saksi, seperti marbot mushala. Demikian mereka, melaporkan.

Jika berita itu benar, janggal sekali keterangan polisi. Sebab bertolak belakang dengan kesaksian keluarga, tetangga, tokoh agama, dan tokoh masyarakat di lingkungan korban.

Lucunya lagi, diklaim membuat surat kehilangan laporan amflipier. Lalu, korban muncul membawa amfli dan langsung divonis maling.

Kejanggalan keterangan polisi itu: tak disebut laporan kehilangan kapan, korban muncul lalu diteriaki maling.

Logikanya, laporan dibuat setelah barang hilang. Lantas, maling mana yang bodoh datang kembali ke tempat pencurian? Kenapa pula korban tidak ditanya, dan lalu main vonis. Sedangkan korban sempat menegaskan tidak mencuri, tapi tetap dihakimi massa.

Provokator dan pelaku pembakaran pun belum ditangkap, padahal wajahnya terekam dalam video yang menjadi viral. Belakangan, simpati dan dukungan terhadap korban serta keluarga terus mengalir bak gelombang pasang. Mulai masyarakat, anggota DPR sampai menteri.

Alangkah baiknya polisi menarik keterangan tudingan jika korban adalah pelaku pencurian. Sekaligus membersihkan nama baik korban dan keluarga. Janganlah tega menimpa mereka yang sudah jatuh masih ditimpa tangga.

Jika benar mencuri, entah dari mana bisa datangkan bukti-bukti valid itu. Sedang korban sudah tiada. Pengadilan tak mungkin digelar.

Aneh rasanya mencerna logika hukum: bila bukti  sekadar dari  keterangan saksi yang cuma sepihak. Belakangan, keterangan dari banyak saksi justru bertolak belakang dari saksi versi polisi.

Masyarakat kini tinggal berharap: mampukah polisi segera menangkap provokator dan pelaku pengroyokan serta pembakaran. Bukankah video pembakaran sudah tersebar viral.

Tragedi tersebut menjadi pelajaran amat berharga bagi semua. Kemana jati diri bangsa ini? Sudah hilangkah nurani. Kemana nilai kemanusiaan kita? Kemana iman kita? Kemana pula para Ulama?

Semoga para Ulama berkenan kembali ke khittahnya: mendidik dan menjaga umat. Tak tergelincir arus politik, nikmat semu kepopuleran atau kelezatan palsu kemewahan.

Ini pun menjadi pelajaran bagi pengurus masjid. Sayangilah jiwa dan nyawa manusia tenimbang sekadar kehilangan asesoris masjid.

Bukan kita membiarkan seenaknya kasus pencurian. Tapi mari kembali mengingat sejarah kehidupan Rasul dan Sahabat. Dengan kemuliaan akhlak, merangkul hati, menembus jiwa-jiwa yang rusak.

Dalam kasus tragedi amfli, pengurus masjid tak diancam dibunuh. Korban tak membahayakan.

Pelaku pun belum bisa dipastikan secara de facto sebagai pencuri. Tiba-tiba diteriaki maling: lalu menimbulkan anak yatim baru.

Mampukah kita kemballikan fungsi masjid? Membumikan akhlak mulia, welas asih dan rahmatan lil alaamiin dari masjid. Ini PR besar bagi semua.

Pertanyaan selanjutnya: Beranikah para algojo pembakar itu membakar koruptor? Tentu saja mustahil. Sebab, amat sangat dilarang.

Sebesar apapun kesalahan manusia, tak patut bagi kita seenaknya main hukum riba. Bukankah semua sudah aturannya.

Lantas, beranikah para algojo pengroyokan dan pembakaran mendatangi dan meminta maaf pada keluarga korban?

Terutama pada istri dan anaknya. Seperti keberaniannya ketika membakar korban. Lalu, menyerahkan diri ke polisi. Ah mungkin, lebih mustahil lagi.

Ketika para algojo menjadi pengecut meminta maaf, ketika itu pula ketenangan jiwa takkan mungkin diraihnya. Bahkan mungkin, selama sisa hidupnya.

Ikut duka pada keluarga korban.  Semoga Sang Maha memberi ganti yang jauh lebih baik di dunia dan akhirat.

Semoga si kecil, yatim anak korban,  menjadi orang besar: yang mampu menebar manfaat untuk umat dan bangsa.

Ikut berduka pula terhadap rasa kemanusian bangsa ini. Juga, duka pada jiwa-jiwa kita yang mungkin amat banyak kerusakannya.

Allahumaghfir ummatam Muhammad. Allahummaslih umatam Muhammad. Shalaallahu alaa Muhammad.

Al Fatihah untuk almarhum Muhammad Al Zahra Zoya...

*) Pemerhati masalah sosial tinggal di Jakarta

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement