Senin 23 Oct 2017 11:00 WIB

Politik Kaum Santri

 Bendera NU di bawa oleh santriwati dalam apel Hari Santri  dalam Rangka Hari Santri Nasional 2017 di  Tugu Proklamasi, Jakarta, Minggu (22/10).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Bendera NU di bawa oleh santriwati dalam apel Hari Santri dalam Rangka Hari Santri Nasional 2017 di Tugu Proklamasi, Jakarta, Minggu (22/10).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asmadji As Muchtar, Dekan FIK Universitas Sains Al-Quran Wonosobo, Jawa Tengah

Ditetapkannya tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional (HSN) boleh saja dianggap sebagai kesuksesan bagi kaum santri membangun persatuan dan kesatuan dalam ranah politik. Karena itu, jika perayaan HSN hanya sebatas seremonial saja, tentu tidak banyak gunanya.

Seharusnya, peringatan HSN untuk mempertegas jejak kaum santri di ranah politik agar kekuasaan nasional tidak hanya didominasi kaum nasionalis. Dalam hal ini, dominasi kaum nasionalis di ranah kekuasaan ternyata menimbulkan citra korup yang kian memprihatinkan.

Misalnya, sejumlah pejabat terbukti terlibat korupsi. Karena itu, wajar saja jika banyak pihak selalu berharap agar kaum santri bisa bersatu dan lebih aktif di ranah politik untuk bisa menjadi dominan di ranah kekuasaan.

Ada risiko besar yang layak diperhatikan semua pihak jika kaum santri selalu hanya asyik bergerak di luar kekuasaan, yakni masalah korupsi di kalangan pengelola negara yang semakin masif. Bahkan, belakangan ini, korupsi juga semakin masif di kalangan penegak hukum.

Pada titik ini, urusan negara seperti semakin jauh dari nilai moral dan keikhlasan yang selalu disemai kaum santri. Harus ditegaskan, pondok pesantren selama ini berhasil menjadi kawah untuk menggodok generasi muda menjadi manusia ikhlas dalam berkarya.

Sedangkan, keikhlasan identik dengan jujur dan bersih. Jangankan mencuri alias korupsi, menerima pemberian yang tidak jelas asal-usulnya dan tujuannya juga pasti akan ditampik oleh mereka yang ikhlas.

Dengan kata lain, selama penguasa dan pengelola negara tidak ikhlas, selama itu pula korupsi dan suap-menyuap akan semakin masif. Selain korupsi dan suap-menyuap sebagai risiko besar yang bisa membahayakan negara dan bangsa, ada yang lebih berbahaya lagi bagi bangsa dan negara manakala kaum santri hanya asyik bergerak di liuar kekuasaan, yakni aset negara kita semakin banyak dikuasai pihak asing.

Harus diakui, sejak merdeka, aset-aset negara kita lebih banyak dikuasai pihak asing daripada dikuasai anak bangsa sendiri. Bahkan, urusan transportasi dan energi serta sandang-pangan semakin bergantung pada pihak asing.

Pada titik ini, esensi makna kemerdekaan semakin kabur dan bahkan lama-lama bisa tinggal isapan jempol belaka. Kini saatnya untuk jujur mengakui, hampir semua kepentingan bangsa semakin bergantung pada pihak asing karena aset-aset negara tidak dikelola anak bangsa sendiri.

Kini saatnya juga untuk jujur mengakui, hampir semua pejabat negara lebih suka menikmati hasil tanpa perlu repot-repot merintis usaha memandirikan bangsa dan negara.

Lebih konkretnya, kalau impor beras dan gula bisa lebih cepat menguntungkan pejabat terkait, mengapa harus repot-repot memperluas sawah? Fakta demikian lebih berbahaya bagi negara dan bangsa daripada korupsi karena hukum sering sulit untuk menghentikannya.

Maka, jika kaum santri tetap hanya bergerak tanpa ambisi kekuasaan, negara dan bangsa kita sama dengan dibiarkan semakin akrab dengan hal-hal yang sangat membahayakan atau dibiarkan dikuasai pihak-pihak lain yang bisa saja tidak ikhlas, bahkan sangat culas.

Padahal, seandainya saat ini kaum santri bersedia bersatu dan bersama-sama membentuk parpol baru sebagai kontestan dalam perebutan kekuasaan secara damai dan demokratis, sangat mungkin berpotensi menjadi pemenang pemilu.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement