Oleh: DR Denny JA*
Kuliah pertama ketika saya mengambil kelas Political Philosophy di Ohio State University, AS, dosennya mengajak diskusi. Apa itu politik? Dikutiplah aneka definisi yang sangat banyak dari dari para pakar dan tokoh ternama. Kamipun di kelas menyampaikan argumen masing masing dengan definisi yang kami yakini.
Namun definisi itu begitu banyaknya, berbeda satu sama lain. Dosen lalu menyampaikan pesan utama: Setiap definisi dari aneka konsep, termasuk kata “politik” itu juga bersifat politis. Setiap pemikir sampai ahli bahasa bisa sangat berbeda mendefinisikannya. Beda definisi, beda implikasi. Definisi punya implikasi di ruang publik.
Saya langsung teringat kelas itu ketika menerima buku yg nampak luarnya sangat berwibawa. Dari seorang teman, saya mendapatkan buku tebal itu berjudul: Apa dan Siapa Penyair Indonesia.
Buku tersebut tersusun lebih dari 670 halaman. Editor dan kuratornya sastrawan dan kritikus sastra ternama, antara lain: Maman S Mahayana, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM.
Buku ini diterbitkan oleh Yayasan Hari Puisi Indonesia, Sept 2017. Ia juga turut dilaunching ketika memperingati hari puisi.
Saya melihat ada nama saya yang juga dianggap penyair. Wah, ujar saya, ternyata sayapun kini dianggap penyair.
Tapi saya cari tak ada nama Agus R Sarjono, yang puisinya berjudul Sajak Palsu dibaca di banyak tempat. Saya lihat juga tak ada nama Fatin Hamama yg sudah menulis buku puisi Papyrus, dan sudah pula launching tunggal buku puisinya di TIM. Dua nama ini hanya untuk contoh saja.
Saya lihat ratusan nama yang disebut penyair, yg tak pernah saya dengar. Mungkin total list itu ada lebih dari 1000 nama.
Langsung muncul pertanyaan: mengapa tokoh sekelas Agus R Sarjono dan Fatin Hamama tak dianggap penyair Indonesia, dari list 1000 nama itu.