REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Heryadi Silvianto *)
Tidak bisa dipungkiri, tahun 2017, Ustaz Abdul Somad (UAS) adalah fenomena, hal ihwal karena sosok ustadz muda ini mampu menyeruak di tengah meningkatnya “ghirah” umat dalam berislam. UAS seakan menjadi jawaban dari kering kerontang ilmu agama kaum abangan, pun mampu secara lugas menjawab kebutuhan kaum priyayi dan kaum santri.
Kehadirannya ditunggu-tunggu, ceramahnya dinantikan dan tayangan live via Facebook di-share ratusan netizen.
Bukan tanpa sebab kemudian UAS menjadi sangat fenomenal dan luar biasa pengaruhnya, jika mau dirunut semua limpahan “popularitas” tersebut diteguk lewat momentum yang tidak diharapkan. Puncaknya, dalam satu bulan terakhir ini, beragam rentetan 'musibah' yang menimpa UAS seakan menjadi bara api yang terus melecut popularitasnya di kalangan umat zaman now.
Awalnya, perseteruan virtual terjadi antara Ustaz Abdul Somad (UAS) dan Rina Nose (RN). Hingga dalam titik diskusi tertentu media sosial terbelah pada polarisasi ekstrim antara yang pro dan kontra. Penulis melihat peristiwa di atas sejatinya bukan perseteruan, tapi semacam 'peta of comply'. Musabab awalnya, karena ada pertanyaan dari seorang jamaah di pengajian UAS terkait keputusan seorang artis bernama Rina Nose (RN) untuk menanggalkan jilbab.
Peristiwa lepas jilbab di kalangan artis bukan yang pertama. Jauh sebelumnya sudah ada beberapa nama. Sebut saja ada nama Tri Utami atau Marshanda. Namun demikian, pertanyaan diajukan seorang jamaah karena dianggap artis tersebut saat memutuskan lepas jilbab penuh kontroversi dan memantik "dramatisasi" melalui kanal akun media sosialnya.
Kemudian, kabar yang viral di media sosial juga, mengenai penentangan kehadiran UAS untuk melakukan safari dakwah oleh sekelompok orang di pulau dewata Bali beberapa waktu lalu. Galibnya, aksi persekusi dilakukan karena dianggap UAS mengkampanyekan anti-Pancasila. Selain itu, mereka juga menuding UAS dedengkot ajaran khilafah dan terlibat secara aktif dalam berbagai gerakan islam radikal.
Elemen masyarakat yang menentang kehadiran UAS mendapatkan beragam informasi tersebut dari media sosial, pun yang merasa ulamanya di persekusi juga lewat medium yang sama. Terjadilah selisih paham. Lewat relasi dan pola yang sama, beragam kabar menyeruak di jagat media sosial. Bukti telah terjadi meta-komunikasi yang kontraproduktif di ruang publik.
Terbaru, terkait peristiwa dideportasinya UAS oleh otoritas Hongkong Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT), padahal kehadirannya dinantikan ratusan jamaah Warga Negara Indonesia (WNI) yang berkerja disana. Terlebih proses deportasi UAS tersebut hingga hari ini masih gelap gulita sebabnya. Alih-alih mereda, pasca-peristiwa ‘persekusi’ tersebut ada selebtweet yang mencaci maki UAS dengan penyampaian yang kurang berkenan.
Sontak saja menuai reaksi yang sangat keras dari jamaah virtual UAS. Munculah tagar #BoikotTopSkor, yang pada akhirnya menghempaskan selebtweet tersebut dari profesinya sebagai seorang wartawan dari sebuah tabloid harian olahraga nasional. Hukum besi medsos sangat ampuh.
Dari sejumlah catatan di atas, penulis secara teknis tidak akan menyentuh persoalan Agama dengan beberapa alasan (1) tidak paham (2) tidak sepadan. Tulisan kali ini hanya lebih banyak menyoroti mengenai proses kontestasi dan kompetisi mengapa sebuah isu menggelinding menjadi viral di kalangan netizen. Bagaimana persepsi dibangun dan mempengaruhi sebuah komunitas lainnya. Terakhir, berharap dapat memberikan solusi konstruktif.
Meta komunikasi dan relasi konflik
Meta-komunikasi adalah komunikasi sekunder (termasuk isyarat tidak langsung) tentang bagaimana suatu informasi dimaknai. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa pesan yang sama dengan berbagai meta-komunikasi dapat berarti sesuatu yang berbeda, begitu juga sebaliknya, seperti ironi. Istilah ini dikenalkan oleh Gregory Bateson dalam bukunya "Mind, Nature, and Consciousness: Gregory Bateson and the New Paradigm”yang merujuk pada "berkomunikasi tentang komunikasi", yang diperluas menjadi: "bertukar isyarat dan proposisi tentang: (a) kodifikasi dan (b) hubungan antara komunikator". Bateson menegaskan kembali di bukunya Communication: The Social Matrix of Psychiatry, bahwa meta-komunikasi mungkin saja sesuai atau bahkan bertentangan dengan komunikasi verbal.
Inilah penyebab kasus persekusi marak terjadi, karena orang mengambil pesan berdasarkan cara pandangnya sendiri. Mereka berperan serta dalam konflik sama-sama tidak ada dalam pusaran situasi, ironisnya setiap orang mengambil kesimpulan berdasarkan apa yang tidak terlihat dan dirasakan. Terlebih, di media sosial seringkali digambarkan menjadi situasi yang penuh dengan ketegangan. Dugaan penulis asumsi itu terjadi karena adanya paparan informasi yang kurang berimbang, sepihak dan subjektif. Repotnya ini terjadi secara massif dan cepat.
Ustaz dan medium pesan
Setiap jaman memunculkan tokohnya masing-masing, demikian pepatah mensitir sebuah fenomena sosial yang sering terjadi atas agen (orang) dan komunitas (sistem). Pun demikian dengan Ustaz, setiap masa ada pelopornya. Masa awal perjuangan kemerdekaan kita kenal nama Tjokroaminoto, Ustaz yang banyak melahirkan tokoh bangsa. Sebut saja Natsir, Soekarno, dan Tan Malaka. Secara 'viral' pandangan dan gagasannya tersebar melalui "mulut ke mulut" atau "word of mouth". Salah satu trilogi darinya yang termasyhur adalah setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat.
Selepas itu di masa awal kemerdekaan kita kenal Buya Hamka atau Prof DR H Abdul Malik Karim Amrullah, seorang ulama dan sastrawan Indonesia. Suaranya parau dan berat, setiap untaian kata penuh karisma. Lewat karyanya Di Bawah Lindungan Ka'bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, nama Hamka melambung sebagai sastrawan. Ulama asal Minang ini, mampu mentransfer setiap pesan melalui medium sastra dan surat kabar.
Setelah itu hadir KH Zainuddin MZ atau "Dai sejuta umat" lewat pesan-pesan agama yang retorik dan tata bahasa yang apik. Atas kemampuannya tersebut KH Zainudin MZ populer melalui ceramah-ceramahnya di radio dan televisi. Ratusan keping Compact Disc (CD) dan kaset di produksi dari hasil ceramahnya, dengan suara yang khas mampu membius jutaan orang. Ceramahnya banyak tersebar melalui medium kaset dan CD.
Masa berganti, awal 90-an kemudian muncul generasi baru seperti Ustadz Abdullah Gymnastiar, Ustaz Arifin Ilham, Ustaz Yusuf Mansur, Mamah Dedeh dan (Alm) Ustaz Jefri Al Buchori mengisi ruang publik. Generasi ini tidak hanya mampu memanfaatkan TV dan Radio namun membangun jaringan 'labirin' seperti padepokan / majelis masing-masing. Semisal Aa Gym dengan Darut Tauhid (DT), KH Arifin Ilham (Majelis Dzikr) dan Yusuf Mansur (PPA Darul Quran). Mediumnya adalah padepokan.
Seiring perkembangan zaman yang terus bergulir, dengan hadirnya teknologi informasi komunikasi (TIK) ternyata tidak luput menjadi medium efektif bagi seorang Ustaz menyampaikan dakwahnya. Dari fase inilah muncul ustaz ‘youtube’ semisal Adi Hidayat, Basalamah, Firanda, dan yang terakhir mencuat yakni Ustaz Abdul Somad. Dalam awal ulasan wikipedia, Ustaz Abdul Somad Lc MA (lahir di Pekanbaru, Riau, 18 Mei 1977; umur 40 tahun) adalah seorang pendakwah dan ulama asal Pekanbaru, Riau yang sering mengulas berbagai macam persoalan agama, khususnya kajian ilmu hadits dan Ilmu fikih.
Selain itu, ia juga banyak membahas mengenai nasionalisme dan berbagai masalah terkini yang sedang menjadi pembahasan hangat di kalangan masyarakat. Namanya dikenal publik karena Ilmu dan kelugasannya dalam memberikan penjelasan dalam menyampaikan dakwah yang disiarkan melalui saluran Youtube. Bahkan kekinian UAS disematkan gelar ‘Dai Sejuta Viewers’. Mediumnya dakwahnya adalah internet atau lebih spesifik Youtube.
Jika dicermati dari rangkaian prolog diatas maka kita bisa melihat bahwa keberadaan seorang ustaz menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari umatnya. Sebagai seorang agen (subjek) dalam sebuah komunitas (struktur), penulis lihat relasi situasi yang sama juga terjadi pada tokoh agama lainnya, selain Islam. Ciri, gaya, serta medium sedikit banyak membentuk seorang tokoh Agama dipersepsikan oleh publik (umat).
Pemuka Agama dan isu publik
Disadari, saat ini, secara demografis sedang terjadi perubahan landscape kehidupan sosial masyarakat, itengah penetrasi internet yang tumbuh ada semacam tumbuhnya kesadaran religiusitas yang termediasi dari sebagian masyarakat. Masyarakat menerima pesan keagaman tidak hanya lewat forum resmi seperti majelis, tempat ibadah atau sejenisnya.
Namun kini, mereka dapat menerimanya dari jejaring media sosial. Sebagai buah dari hadirnya entitas tersebut, munculah pemuka agama yang mereka anggap “quotable” untuk dibagi pandangan dan pesannya di platform tersebut. Dilihat dimana-mana, dibagi dan dialihdengarkan berulang-ulang secara virtual.
Hingga pada akhirnya tersebutlah ustaz youtube yang berkarakteristik 'youtuble'. Fenomena ini seakan menjadi jawaban bagi masyarakat atau umat jaman now yang haus dahaga akan ilmu Agama. Terlebih pesan yang ustadz Youtube sampaikan bisa di rekam (recording), digubah (editing), dan disebar (sharing) secara utuh maupun parsial.
Seluruh proses tersebut bisa dilakukan secara sadar maupun tidak sadar oleh seorang ustaz. Secara tidak sadar dalam artian karena dilakukan oleh orang lain (jamaah) dengan beragam motif yang menyertainya. Pun secara sadar dilakukan oleh ustaznya sendiri, dengan motif yang beragam pula. Hal itu merupakan sebuah prilaku alamiah. Dilalahnya dari proses tersebut orang bisa menerima dengan baik sebuah pesan, namun dalam situasi yang berbeda justru dapat menjadi pemicu konflik.
Beberapa fase yang terjadi setidaknya dapat menjelaskan mengapa dan bagaimana seorang ustadz bisa menjadi bagian dari masyarakatnya. Selain karena pesan agama yang disampaikan (content), juga karena kemampuannya dalam mentransmisi pandangannya secara baik dan efektif kepada orang lain (delivered). Dalam titik ekstrim kesesuaian pesan bisa terjadi karena adanya pandangan yang sama atau satu frekuensi, sebagaimana juga sebuah ketidaksesuian muncul karena pandangan yang tidak satu frekuensi. Nah seringkali frekuensi inilah yang akhir-akhir ini menjadi pemicu masalah karena adanya batasan persepsi dari penerima pesan.
Umat jaman now dan media sosial
Dalam memahami konflik pandangan terkait UAS, maka kita dapat membedahnya dengan dua pisau analisis utama yakni isi pesan (content) dan situasi ketika pesan itu hidup (context). Jika dicermati lebih seksama secara isi sesungguhnya tidak ada relasi yang berhubungan langsung antara UAS dengan penentangnya, karena setiap orang menyampaikan pandangannya secara mandiri (sendiri-sendiri), tidak dalam situasi yang sama dan setara. Baik perkataan UAS terkait kata "pesek" ataupun pandangan keagamaan yang lain.
Inilah sumber keseruan konflik yang menjadi "modal" untuk viral, karena ada bumbu penyedap dan persepsi yang liar dari pihak ketiga yakni netizen. Hal ini bisa dilihat dari video atau statement yang diunggang terkait UAS di media sosial oleh netizen, ada semacam jembatan kalimat (bridge) yang mengantarkan orang pada persepsi tertentu. Belum lagi saat video itu di potong, diberi judul, ditambahkan narasi dan dikasih prolog yang dramatis. Maka jagat media sosial membangun analisis berdasarkan persepsi masing-masing menurut preferensi mereka.
Jika netizen menganggap epik tersebut memiliki kecenderungan politik, maka akan dianggap persoalan politik. Munculah pandangan politik dari sejumlah politisi terkait persekusi UAS ini. Jika dianggap itu berbau sektarian, maka konflik terseret ke ranah primoridalisme.
Akibatnya Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau mengecam dan melaporkan pernyataan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Bali, Arya Wedakarna yang menyebutkan UAS anti NKRI dan Pancasila. Pun jika dianggap sebagai sebuah penghinaan agama, maka persepsi tersebut menjadi argumentasi utama. Hingga akhirnya, sekelompok orang yang mengatasnamakan Barisan Umat Islam Riau, mendatangi Polda Riau pada tanggal 11 desember 2017 untuk melaporkan persekusi yang dialami oleh UAS di Bali.
Repotnya seluruh konflik persekusi yang terjadi seringkali dipicu karena ada kesenjangan informasi (gap of information) dan kesalahan informasi (misinformasi). Situasi dimana orang yang tidak pernah saling bertemu, tidak mendapatkan penjelasan utuh dan terpotong kemudian berkonflik. Karena itu, jika dicermati sungguh kondisi masyarakat kita sangat rentan (fragile). Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, tentu saja akan merugikan kita semua. Terlebih, dalam luka polarisasi yang berkepanjangan.
Public sphere media sosial
Sebagian kita selama ini seringkali mengkritisi framing media utama (mainstream) dianggap tidak berimbang, yang secara simultan kemudian mengambil alternatif informasi ke media sosial. Kita kemudian tersadar bahwa di media sosial ada kenyataan bahwa proses framing informasi juga terjadi dan tidak lebih baik.
Kita mulai merasakan bahwa media sosial bukan hanya tempat mendapatkan informasi, namun juga menggali konflik yang baru untuk mendasari prilaku persekusi. Repotnya situasi saat ini bagaikan analogi keluar mulut buaya, masuk mulut harimau. Ini harus dicegah dan tidak bisa dibiarkan, tentu dengan pendekatan keadaban informasi.
Persekusi tidak boleh dilakukan oleh dan kepada siapapun; orang biasa maupun ustadz. Media sosial harus mampu menjadi public sphere yang lebih sehat dan dinamis. Istilah yang diperkenalkan Jurgen Habermas mendorong public sphere sebagai ruang terjadinya berbagai diskusi dan debat publik mengenai suatu permasalahan publik. Di mana setiap individu sebagai bagian dari publik mempunyai porsi yang sama dalam berpendapat dan dijamin kebebasannya dari intervensi dan restriksi pihak lain sehingga tidak memunculkan hegemoni opini namun menumbuhkan opini publik yang diharapkan akan membantu munculnya kebijakan publik yang adil.
*) Peneliti di Institute for Social Law and Humanity Studies (ISLAH)