REPUBLIKA.CO.ID,Warga Amerika Serikat (AS) kembali menentukan pilihan pada 6 November ini. Siapa yang akan memimpin mereka empat tahun ke depan? Akan bertahankah Barack Obama ataukah Mitt Romney bakal menggantikannya?
Obama dalam posisi sulit. Survei-survei menunjukkan, jarak antara dia dan Romney kian tipis.
Penurunan tingkat keterpilihan Obama dalam survei juga termasuk parah dibandingkankan presiden- pre si den sebelumnya yang mengikuti pemilu untuk masa jabatan kedua. Tetapi, di atas kertas, Obama masih lebih unggul pada hari- hari terakhir menjelang pemilihan.
Dalam isu terpenting bagi masyarakat AS, yaitu pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan kerja, Obama tak bisa dibilang ga- gal. Apalagi, ia mewarisi kondisi ekonomi sangat buruk dari Presiden George W Bush. Di bawah Obama, angka pengangguran turun dari 8,3 persen ke 8,1 persen. Tapi, angka itu tak memadai untuk mendongkrak kepercayaan publik dan dia hanya dapat berkelit bahwa di bawah kepemimpinannya, AS tidak jatuh ke dalam resesi. Dalam angka statistik lain, pemerintahan Obama juga suram.
Jumlah orang yang kesulitan pangan meningkat pada periode 2010- 2011 dalam kepemimpinannya. Demikian halnya jumlah penerima kupon makanan. Tingkat kerawanan pangan pun tidak berubah sejak 2008, yakni pada posisi 16,4 persen atau tertinggi sejak 1995. Sedikit nya 75 miliar dolar AS digelontorkan untuk mengatasi krisis bahan pangan, terbesar dalam empat tahun terakhir.
Tak semua hal buruk. Dalam isu domestik badai Sandy, Obama justru cemerlang. Cara dia menangani bencana alam ini terbukti dapat mengubah sikap Gubernur New Jersey, seorang republikan sekaligus oposan tervokal, menjadi seorang pendukung.
Hal-hal domestik semacam itulah yang akan menjadi dasar utama bagi warga AS untuk memilih. Bukan soal AS mengirim pasukan ke negara lain atau tidak. Bukan soal AS memerangi Iran atau tidak.
Isu luar negeri tidak mengubah pandangan publik secara signifikan. Debat-debat antara Obama dan Romney terkait isu Libya kendati emosional karena menyangkut tewasnya Duta Besar AS di Benghazi tak cukup kuat untuk memutar arah pilihan. Demikian halnya dengan isu nuklir Iran atau pertarungan geopolitik AS di Asia Pasifik dan isu kekuatan Cina.
Hanya isu Israel yang sedikit berbeda. Bukan karena kekuatan peristiwanya, melainkan karena kekuatan lobi Israel dalam menyokong kemenangan setiap kandidat. Para pelobi Israel memegang kendali uang dan media massa di Amerika. Tak heran, nama Israel disebut dengan nada dukungan hingga 34 kali dalam satu kali debat kedua kandidat, bersaing dengan penyebutan nama Iran (47 kali) dan Cina (35 kali) dalam nada sebaliknya.
Kita antusias, tetapi tak bisa berharap terlalu banyak. Kebijakan luar negeri AS soal Israel dan Palestina terbukti tak bergeser ba nyak.
Dalam kampanye, Obama maupun Romney sama-sama mempromosikan Yerussalem sebagai Ibu Kota Israel, hal yang kian menegaskan dukungan atas ekspansi Israel.
Namun, kita pun tak bisa memungkiri adanya perbedaan warna dalam keputusan Pemerintah Amerika terkait isu kontemporer politik luar negeri. Ini bisa mengandung dua makna. Pertama, AS sekarang terlalu sibuk dengan urusan ekonomi dalam negeri. Kedua, Obama memang tidak seagresif kandidat republik dalam urusan luar negeri. Hal nomor dua, menurut Romney, merupakan kelemahan Obama.
Bagi kita, mudah-mudahan itu cermin sikap otentik yang mengedepankan soft power seperti yang kita promosikan belakangan ini.