REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa kali media melaporkan soal penangkapan sejumlah orang yang diduga atau dicari sebagai anggota jaringan teroris. Tak hanya itu, pernah pula ada siaran langsung proses penangkapan terduga teroris di suatu desa oleh pasukan Detasemen Khusus Antiteror (Densus) 88.
Dari sejumlah aksi penangkapan Densus 88, sekelompok ormas mengusulkan untuk membubarkan pasukan antiteror tersebut. Densus 88 dinilai telah melanggar hak asasi manusia (HAM) atas penanganannnya terhadap terduga teroris. Menurut ormas-ormas itu, aksi Densus 88 itu justru akan semakin menumbuhsuburkan gerakan terorisme di Indonesia.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan, desakan membubarkan Densus 88 bukan berarti ormas Islam mendukung aksi terorisme. Sebaliknya, ia menganggap, pemberantasan teroris dengan kekerasan yang dilakukan Densus 88 justru akan mewarisi dendam pada generasi selanjutnya.
“Tindakan yang dilakukan Densus 88 berpotensi melanggengkan terorisme,” ujar Din Syamsuddin dalam konferensi pers “Pernyataan Bersama SOLI tentang Pemberantasan Terorisme” di gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (7/3).
Tak hanya itu, Densus 88 dianggap merupakan bentuk rekayasa dan intervensi asing. Hal itu disampaikan Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane dan ormas di Solo, Dr Muhammad Muindinillah Basri MA. Muindinillah mengatakan, pembentukan Densus 88 merupakan pesanan pihak asing. ''Realitasnya di lapangan banyak kesalahan dalam penanganan terorisme. Meski kami menentang terorisme, dalam arti terorisme yang hakiki,'' ujarnya.
Muindinillah mengatakan, ''sebenarnya terorisme tidak ada. Terorisme yang ada saat ini, merupakan terorisme yang diciptakan. Mulai dari Poso, Bali. Itu semua rekayasa yang diciptakan asing''.
Di pihak pemerintah, tentu saja menolak usulan pembubaran itu. Penolakan disampaikan Mabes Polri, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), hingga ke Menko Polhukam Djoko Suyanto. “Kalau menuntut pembubaran Densus, saya kira terlalu berlebihan ya,” kata Djoko Suyanto.
Mabes Polri pun menilai, pembubaran Densus bukanlah solusi. Polri memandang, Densus sebagai bagian dari kepolisian memiliki tujuan utama melindungi masyarakat dari aksi dan tindakan terorisme. Karena itulah, Densus pun dibentuk dari gagasan mantan kapolda Metro Jaya Komjen (purn) Firman Gani.
Namun, dari semua itu, persoalannya adalah dari adanya aksi terorisme dan tindakan untuk menangani dan mencegah aksi tersebut terhadap masyarakat. Perlukah dengan melakukan tindakan yang dilakukan Densus selama ini?
Dalam hal ini, sejumlah ormas yang tergabung dalam solidaritas ormas Islam (Soli) mengusulkan solusi, yaitu cara yang bisa ditempuh untuk memberantas terorisme, yaitu memotong akar masalah munculnya terorisme di nusantara. Bagaimana melakukannya?
Pengamat intelijen, Wawan Purwanto, menilai, poin utama dari kesalahan Densus 88 selama ini yang kerap dijadikan alasan untuk dilakukannya pembubaran masih terlalu lemah. Ia pun meminta masyarakat untuk tidak menggenaralisir kesalahan Densus 88 yang buruk dalam satu hal, kemudian dikatakan rusak semuanya.
“Kalau tuduhannya pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia), ya evaluasi saja hal itu, jangan sampai malah membubarkan Densus 88-nya, itu sama sekali tidak akan menjadi solusi,” kata dia.
Dari pandangannya, disimpulkan bahwa selama ini Polri, sebagai induk Densus 88 seolah tertutup pada masyarakat. Bisa saja hal itu dilakukan untuk menutup identitas pasukan antiteror tersebut. Namun, justru hal inilah yang mengundang kecurigaan di tengah masyarakat, terlebih dengan adanya tudingan intervensi asing.
Berdasarkan pandangan selama ini, dialog terbuka seharusnya mulai digagas oleh pemerintah dalam menjembatani persoalan Densus 88 tersebut. Dalam hal ini, Menko Polhukam sudah saatnya untuk melakukan evaluasi keberadaan Densus 88 dan bentuk ancaman terorismenya.
Bila ada pemaparan yang jelas mengenai kondisi terkini ancaman terorisme, bentuk, dan dampaknya bagi masyarakat kepada khalayak, tentunya akan memunculkan pamahaman, bahkan dukungan terhadap tindakan pemberantasan terorisme di Indonesia.
Keterbukaan yang disertai sikap yang tak berpihak dan tidak arogan tentu dapat membuat semua pihak bersedia untuk memberikan solusi terbaik bagi lembaga penegak hukum ini. Terlebih lagi, aksi terorisme, kekerasan, dan kejahatan tersistematis tetap harus diberantas dengan menegakkan hukum, melindungi masyarakat, dan menjaga kedaulatan negara.