REPUBLIKA.CO.ID. Oleh Nashih Nashrullah
Ali bin Abi Thalib berujar, annasu a’dau maa jahilu, manusia akan menolak apapun yang belum mereka ketahui, menampik segala yang tak mereka sadari manfaatnya, dan menutup mata atas rentetan faidah yang luput dari penglihatan mereka.
Manusia musuh setiap perkara yang tidak familier dalam tradisi, adat, atau pola pikir mereka. Semua akan terperengah, setelah hikmah terkuak, terbangun ketika sebuah fakta kebenaran menyeruak, lalu tersadar usai penyesalan mendalam.
Pernyataan Ali, bisa digunakan sebagai frame membaca sejauhmana kegandrungan masyarakat masa kini, merayakan malam pergantian tahun, yang berlangsung rutin, setiap tahunnya. Perayaanya cukup gemerlap. Meriah. Pesta kembang api penuh warna. Pertunjukkan musik oleh artis papan atas.
Bagi mereka yang hadir semua larut, dalam sorak-sorai gembira. Miliaran rupiah digelontorkan. Jutaan dolar AS dibelanjakan untuk menyambut datangnya tahun baru, di seluruh penjuru dunia.
Pesta ini sudah membudaya, mendarah daging sebagi sebuah tradisi yang mengakar. Tahun baru, itu maknanya pesta. Pergantian tahun, itu berarti suka cita.
Anda menyanggah dan melarang tradisi ini? Hadapi jutaan penduduk dunia. Publik akan mencibir. Sekalipun, Anda punya argumentasi kuat. Persis, seperti kata Ali, manusia musuh bagi segala yang belum mereka ketahui dan sadari.
Dalam konteks seperti ini, jangan patah asa. Berteriak melarang tanpa solusi, bukan sikap yang arif. Saatnya, Muslim Indonesia cerdas, memberikan alternatif perayaan tahu baru yang lebih elegan, sederhana, dan yang paling penting, tetap islami. Tanpa menghilangkan esensi peralihan tahun.
Berganti tahun, itu tandanya, umur Anda berkurang. Bukan bertambah. Mestinya, bukannya disambut dengan sorak gembira, hura-hura, dan berglamor ria. Tetapi, akhir dan awal tahun, merupakan momentum kilas balik selama 360 hari, Anda menghabiskan usia Anda.
Menakar secara jujur, manakah sisi yang lebih dominan dalam diri Anda, positif atau negatif. Bila proses refleksi dan evaluasi diri itu sukses, Anda beruntung. Tak semua menyadari urgensi proses pendewasaan diri itu.
Ikhitiar cerdas itu, setidaknya sudah tampak dalam satu dasawarsa terakhir ini, seperti yang dipraktikan oleh Republika, melalui Zikir Nasional.
Ada parade ceramah di sana, dan dipengujung acara, bertepatan dengan tiupan terompet, letusan kembang api, atau pekikan sirene yang nihil makna, ribuan umat tertunduk hening, melantunkan asma-asma Allah SWT, meneteskan air mata, dan bermuhasabah.
Jauh dari hingar bingar pesta pergantian tahun. Sederhana, tetapi sangat mengena. Dan, kita patut bersyukur, kegiatan ini menginspirasi umat Muslim di berbagai wilayah, untuk menghela acara serupa. Tentu, ini menjadi energi yang positif, alternatif cerdas, tanpa menghujat tetangga yang merayakan.
Logika normal, pasti mengatakan, kegiatan seperti Zikir Nasional-lah acara yang mestinya dihelat menyambut pergantian tahun.
Irit biaya, bermakna, dan memberikan manfaat yang bisa jadi permanen, sebuah perubahan radikal yang positif dalam kehidupan spiritual seseorang.
Lagi-lagi, belum banyak orang mengerti, sedikit sekali yang memahami, dan jarang pula yang tersadar, akan hakikat pergantian tahun baru.
Sebab itu, mereka anti terhadap acara-acara di pengujung tahun yang tak ada musik, tiupan terompet, dan nihil pesta kembang api.
Dan nyaris tak ada yang paham bahwa, pesta tahun baru, adalah warisan Romawi. Pesta menyambut pergantian tahun itu, pertama kali digelar Julius Caesar pada 1 Januari 45 SM.
Keputusan ini, setelah Romawi, menetapkan penanggalan berdasarkan revolusi matahari atas saran astronom dari Alexandria, Sosigenes.
Bagi saya, tak jadi soal sikap anti yang ditunjukkan, yang penting, umat kian cerdas dengan pilihan mereka. Lebih penting lagi —tanpa bermaksud memuji institusi sendiri— kita sudah memulai dan semoga menularkan contoh yang baik.
Pasalnya, kata Ibnu Malik, dalam bait Alfiyah, al-fadhlu lil al-mubtadi’ wa in ahsana al-muqtadi, para perintis kebaikan akan mendapat keutamaan, sekalipun pengikutnya mendatangkan sesuatu yang jauh lebih baik.
Jika, pihak terkait menangkap sisi positif dari alternatif acara menyambut pergantin tahun baru itu, mereka tak perlu merogoh APBD/APBN yang notabene bisa dialihkan ke sektor yang lebih bermanfaat.
Tetapi, itu butuh komitmen, butuh proses, dan sebuah keberanian serta kejujuran, untuk mengakui bahwa pesta pergantian tahun, tak membekas, tiada manfaat, tinggalah kemubaziran di sana-sini. Pasti itu sulit, sebab manusia itu musuh apapun yang belum mereka ketahui dan sadari.