Senin 10 Mar 2014 14:27 WIB

Coca Noba

Arif Supriyono
Foto: Dokpri
Arif Supriyono

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Supriyono

Pemilu baru, harapan baru. Itulah semestinya yang ditunggu oleh sekitar 187 juta rakyat yang memiliki hak untuk memilih anggota legislatif dalam pemilu yang akan digelar tanggal 7 April nanti.

Setiap menjelang pemilu, hati segenap rakyat Indonesia senantiasa melambung. Mereka menggantungkan harapannya di awang-awang. Tentu mereka berharap agar usai pemilu nanti ada perubahan yang mewarnai kehidupannya. Sudah pasti pula, mereka menginginkan kehidupannya menjadi lebih baik usai hajatan pemilu nanti.

Wajar saja masyarakat menggantungkan harapan pada parlemen. Anggota dewan memiliki peran yang begitu besar dan strategis pada masa sekarang.

Banyak keputusan penting yang ditentukan oleh DPR. Begitu besarnya peran DPR sehingga sebagian kalangan menilai, saat ini sistem yang kita anut bukan lagi presidensiil tetapi parlementer. Selain itu, para (calon) anggota legislatif itu pula yang selalu menawarkan harapan pada masyarakat.

Selama beberapa bulan lalu para calon dan anggota DPR melakukan gerakan tebar pesona. Gambar-gambar mereka memenuhi sudut-sudut jalanan. Mereka yang sehari-hari  berkarakter ‘jutek’ alias tak ramah pun dalam sekejap berubah menjadi murah senyum kala menghiasi pinggir-pinggir jalan.

Tak lama lagi, mulai 16 Maret hingga 5 April, mereka akan melakukan gerakan tebar janji. Saat itulah masa kampanye bagi calon anggota legisatif yang sudah pasti akan bertaburan dengan janji untuk memikat dukungan dan hati masyarakat.

Masalahnya, harapan masyarakat untuk menuai janji tampaknya tak mudah terpenuhi. Rekam jejak prestasi atau kinerja DPR menjadi tolok ukur utama.

Hampir tak ada anggota DPR yang serius memperjuangkan aspirasi konstituennya. Kepentingan partai lebih utama diupayakan ketimbang kebutuhan masyarakat. Fungsi tama lembaga yang melakukan legislasi (penyusunan undang-undang) tergolong rendah. Sepanjang 2013, dari 70 rencana undang-undang, hanya tujuh yang terselesaikan.

Demikian juga tahun 2012, dari 64 RUU hanya 10 yang terelesaikan. Sedangkan pada 2011, dari target 93 RUU yang tergarap hanya 18. Padahal, sepanjang 2009-2014, anggota dewan itu sudah menghabiskan dana Rp 11,8 triliun untuk kegiatan mereka.

Kemalasan juga sempat menjadi penyakit kronis yang diderita oleh dewan. Bahkan saat rapat kerja Komisi IX DPR yang membahas soal kesehatan, hanya tiga anggota DPR yang hadir. Rapat kerja berikutnya di komisi yang sama juga hanya dihadiri tujuh anggota.

Anggota dewan yang terjerembab ke dalam lumpur korupsi pun semakin bertambah jumlahnya. Bahkan tidak berlebihan bila ada yang mengatakan, bahwa salah satu sarang korupsi adalah di kompleks DPR Senayan.

Belum lama ini anggota DPR juga mendapatkan dana aspirasi. Seorang anggota dewan mengaku telah menerima dana aspirasi sebesar Rp 15 miliar. Dana serupa juga diterima oleh anggota dewan di daerah yang besarnya bervariasi.

DPRD Jateng misalnya, tiap anggota menerima dana aspirasi sebesar Rp 2 miliar. Sedangkan pimpinan DPRD Jateng menerima dalam jumlah lebih dan ada yang hingga mencapai Rp 15-20 miliar. Adapun di Sulawesi Tengah, dana asprasi untuk DPRD ‘hanya’ mencapai Rp 600 juta per orang.

Pengucuran dana itu diharapkan bisa menjadi bagian dalam memberdayakan masyarakat. Pada praktiknya, hampir pasti upaya pemberdayaan itu tak akan berjalan efektif. Bukan tidak mungkin dana itu lebih banyak dipakai untuk hal-hal yang terkait dengan pelaksanaan kampanye. Jika caleg lain harus berjibaku untuk mengusahakan dana sendiri, maka petahana legislatif telah mendapat suntikan dana untuk kepentingan kampanye.

Melihat kenyataan seperti itu, terlalu berlebihan kiranya bila kita berharap pada DPR untuk melakukan perubahan. Soalnya, dari 560 anggota DPR saat ini, sebanyak 507 orang kembali mencalonkan diri dan mereka rata-rata berada di urutan atas daftar calon legislatif masing-masing partai.

Meski terpilihnya anggota DPR ditentukan oleh banyaknya suara yang didapat setiap caleg, mereka yang berada di urutan atas akan diuntungkan dan karenanya memiliki peluang lebih besar. Artinya, wajah-wajah lama yang terkadang membosankan untuk dilihat masih akan lebih banyak menduduki kursi di Senayan dan menghiasi ruang rapat DPR.

Dengan fenomena seperti ini, sangat masuk akal jika sebagian kalangan menyerukan agar warga mencoblos calon nomor bawah. Beberapa organisasi masyarakat (ormas), seperti Asosiasi Nasionalis Indonesia (Anindo) dan Parade Nusantara juga menggelorakan gerakan ini.

Ormas-ormas itu menyebarkan slogan coblos calon nomor bawah atawa coca noba. Andaikata calon nomor bawah akan banyak yang terpilih, belum tentu juga mereka akan  mengusung aspirasi masyarakat atau melakukan perubahan. Namun paling tidak, wajah-wajah barulah yang akan banyak  memenuhi ruangan DPR dan mendapat giliran hadiah sumpah serapah dari masyarakat.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement