REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdullah Sammy
Twitter: Sammy_Republika
Boneka memang sedang jadi tren pemberitaan nasional akhir-akhir ini. Tak hanya secara makna kata, boneka secara fisiknya pun menghiasi layar kaca.
Ini tak terlepas dari foto calon presiden Partai Golkar, Aburizal "Ical" Bakrie, yang terlihat sedang memeluk boneka beruang. Yang membuat foto boneka itu jadi "panas" adalah si pemilik boneka yang ternyata adalah artis cantik, Olivia Zalianty.
Memeluk boneka tentu bukan hal yang salah. Yang salah adalah bila memeluk pemilik si boneka. Kendati dua belah pihak telah mengklarifikasi, isu tak mau berhenti. Ical pun terus kena getahnya. Bahkan, kemudian muncul akronim baru ARB = Aburizal Bear.
Saya tak berpikir foto Ical memeluk beruang ini adalah bentuk propaganda politik baru dengan media boneka beruang. Sebab, sulit rasanya bagi Ical untuk mengikuti jejak propaganda Teddy Bear.
Makna dari pencitraan beruang Ical dan Roosevelt bisa jadi sama, yakni kasih sayang. Namun, objeknya kasih sayangnya bisa pula diartikan berbeda.
Secara umum, foto Ical memeluk boneka bukan sebuah masalah dalam memilih pemimpin Indonesia ke depan. Hal yang jadi masalah adalah jika pemimpin dikelilingi boneka. Dalam artian, orang sekeliling si pemimpin adalah boneka yang memegang prinsip asal bapak senang.
Boneka yang tak berani mengingatkan bahwa elektabilitas pemimpinnya hanya lelucon belaka. Untungnya situasi seperti itu tak dialami oleh PDI Perjuangan. Para petinggi di partai itu sadar bahwa ketua umumnya, Megawati Soekarnoputri, sudah tak menguntungkan untuk dicalonkan.
Bila tetap dipaksakan maju, Mega dan PDIP terancam mengulangi siklus kekalahan mereka sejak Pemilu 2004. Situasi ini tak membuat orang sekeliling Mega hanya jadi boneka untuk sekadar menyenangkan sang ketua.
Mereka berani bersuara mendesak Mega untuk memunculkan nama baru. Joko Widodo (Jokowi) yang akhirnya mendapat restu.
Sekilas, sosok Jokowi memenuhi semua "selera pasar". Saat masyarakat sudah jenuh dengan pemimpin yang birokratis, Jokowi jadi antitesis. Kala masyarakat sudah lelah dengan citra yang gagah, Jokowi muncul dengan gaya merendah.
Namun, kemudian muncul tudingan miring bahwa Jokowi hanya boneka. Sebab, Jokowi baru maju ketika digerakkan Mega. Padahal, jika memang alasannya demi keinginan rakyat, Jokowi tak perlu ragu untuk maju. Bukan justru menunggu restu.
Tudingan Jokowi sebagai boneka dilontarkan pihak yang curiga melihat kariernya terus melesat. Tujuh tahun jadi wali kota, 1,5 tahun jadi gubernur Jakarta, dan kini calon pemimpin Indonesia. Prestasinya pun jadi tanda tanya mengingat banjir Jakarta baru saja menewaskan belasan jiwa.
Hebatnya, ada media yang membungkus citra Jokowi yang bak boneka tanpa dosa. Banjir pun disebut mereka bukan sebatas urusan Jakarta dan gubernurnya. Hal yang berbanding terbalik waktu Jakarta masih dikuasai si Kumis.
Di sisi lain, Jokowi dituding hanya pandai beraksi minus substansi. Seperti saat dia memimpin Kota Solo, nyatanya ada sejumlah dosa yang luput disorot media.
Salah satu yang paling buruk adalah sistem ketenagakerjaan di Solo yang sempat mendapat kecaman luas dunia. Masih ingat, kisah pesepak bola asal Paraguay, Diego Mendieta, tahun 2012?
Ya, pesepak bola yang merumput di Persis Solo itu berteriak karena gajinya tak dibayar selama berbulan-bulan. Dia sempat mendatangi semua pihak di pemerintahan Kota Solo. Namun, semuanya tak digubris.
Jokowi sendiri saat itu lebih sibuk mengurusi misi politiknya menuju Jakarta. Akhirnya, Mendieta pun meregang nyawa. Berita tewasnya Mendieta pun jadi cela besar bagi Indonesia di mata dunia.
Akan tetapi, Jokowi tak pernah kena getahnya. Sebab, Jokowi tetap dilihat sebagai sosok yang sempurna tanpa dosa.
Ada yang menilai kesempurnaan Jokowi ini tak alami. Namun, saya tidak mau berpikir kalau semua citra Jokowi adalah karena digerakkan tangan-tangan pengusaha maupun rekayasa media. Saya pun tak mau menuding Jokowi adalah boneka tanpa dosa.
Sebab, faktanya Jokowi berlatar sebagai pengusaha. Jadi, sulit membayangkan bila seorang pengusaha hanya sebatas boneka. Sebab, nyatanya pengusaha itu adalah pencipta.
Ini seperti yang dilakukan Morris dan Rose Michtom yang mencipta propaganda boneka. Bagi saya pribadi, boneka adalah boneka. Apa pun kemasan atau apa pun bentuk pencitraan, dia tetap tiruan.
Karena itu, saya tidak akan pernah suka boneka ataupun memeluknya. Sekalipun boneka itu bisa bersuara "Aku Rapopo", saya tetap tak berselera.