Selasa 06 May 2014 06:00 WIB

Astaghfirullahaladzim

Arif Supriyono
Foto: Dokpri
Arif Supriyono

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Supriyono

Rasanya belum kering air mata ini dari tangisan akibat derita seorang siswa Taman Kanak-Kanak berusia 6 tahun yang menjadi korban sodomi (semburit) di Jakarta International School. Hati pun masih tersayat-sayat perih tatkala tahu, bahwa anak korban semburit yang direncanakan pelaku di sekolah mewah itu berjumlah lebih dari satu orang.

   

Saya pun sempat berandai-andai, apabila itu menimpa anak saya dan jika tak ada aturan hukum yang berjalan. Saya siap menyabung nyawa dengan sang pelaku semburit demi membela kehormatan anak saya. Bahkan saya secara moral setuju pendapat seorang ibu agar pelaku semburit berencana itu dihukum (tembak) mati saja.

   

Kesedihan saya bertambah, begitu mendengar kabar Hadi Poernomo --mantan dirjen pajak dan mantan kepala Badan Pengawas Keuangan--  menjadi tersangka kasus korupsi pajak. Hadi Poernomo diduga kuat  merugikan negara sekitar Rp 375 miliar dalam kasus kredit bermasalah BCA sebesar Rp 5,7 triliun.

   

Bagaimana bisa, seorang Hadi Poernomo membuat keputusan yang bertolak belakang dengan kajian tim di Ditjen Pajak. Keberatan wajib pajak yang sebelumnya ditolak, menurut versi Komisi Pemberantasan Korupsu (KPK), oleh Hadi Poernomo malah diterima. Dengan rekam jejak seperti itu, Hadi Poernomo masih bisa melenggang dengan mulus serta dipilih oleh DPR menjadi anggota BPK dan bahkan malah memimpin lembaga bergengsi tersebut.

   

Dalam suasana hati saya yang masih murung, tiba-tiba seorang teman bercerita bagaimana rekannya yang menjadi Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) di daerah dengan ringannya memaparkan praktik menyimpang yang dilakukan untuk mengutak-atik suara dalam pemilu di wilayahnya. Sang anggota Panwaslu itu memaparkan, bagaimana menjual formulir C1 (untuk rekap suara) dengan harga tertentu, menjaga peraih suara terbanyak dengan tarif khusus, mengaktifkan suara yang rusak/tak sah, serta memindahkan suara ke pihak yang membayar.

   

Banyak kalangan meyakini, ketidakjujuran yang dilakukan petugas pemilu sudah sangat masif dan hampir terjadi di semua wilayah.  Kalau kualitas pemilu yang digelar seperti ini, apakah mungkin akan dihasilkan kebijakan yang bersih, adil, memihak dan memberi manfaat bagi rakyat?

   

Kian nelangsa hati ini mengetahui keadaan ini. Seperti apa jadinya negeri ini nanti bila kondisi ini terus berlangsung? Apa kejujuran dan kebenaran sudah tak mendapat tempat lagi di negeri ini? Perilaku yang tak bermoral masih saja terjadi dan cenderung kian banyak jumlahnya serta meluas. Para pemimpin dan petugas yang seharusnya memberi teladan, malah berbuat durjana.

   

Para politisi dan pejabat bermain akrobat untuk menyiasati anggaran alias korupsi. Perilaku petinggi partai dengan label agama pun setali tiga uang. Oknum partai yang masih bersih juga tak mampu memengaruhi perilaku kelompoknya agar bertabiat baik. Banyak pula ulama yang orientasinya lebih ke materi.

   

Belum sirna selimut kesedihan itu memelukku, tiba-tiba ada kabar nestapa dari Sukabumi, Jawa Barat. Bak petir menyambar bersahutan begitu saya mendengar kabar perbuatan biadab yang dilakukan pria bernama Andri Sobari (24 tahun) alias Emon. Ada 73 anak-anak --sesuai laporan kepolisian setempat-- yang menjadi korban semburit oleh Emon. Lidah ini terasa kelu.

   

Sedih, trenyuh, geram, nelangsa, marah tak terperi pun bercampur menjadi satu. Bagaimana mungkin kebobrokan demi kebobrokan berlangsung terus-menerus tanpa kita semua mampu mencegahnya. Sudah sepermisif inikah masyarakat kita? Tak ada lagikah tempat di muka bumi kita ini untuk orang-orang bersih, orang-orang yang sepenuh hati menginginkan kemajuan negeri, mendambakan tegaknya moral bangsa, dan menjauhi perbuatan laknat dengan berbagai aspeknya?

   

Pidana berat pantas ditimpakan kepada para bedebah yang berperilaku tak bermoral. Hukuman mati atau penjara seumur hidup sangat sepadan dengan tindakannya yang kotor. Negeri ini sudah semestinya tak lagi memberi tempat bagi mereka yang rekam jejaknya  menjijikkan.

   

Saya jadi berpikir, apakah masyarakat kita sulit diajak menjadi baik? Ataukah para pemimpin dan ulama kita yang kini tak bisa lagi menjadi teladan bagi masyarakat? Perilaku sehat memang tergantung masyarakat dalam arti luas. Akan tetapi membuat lingkungan umum yang baik adalah tanggung jawab para pemimpin dan pengambil kebijakan.

   

Meski sangat sulit, saya sungguh berharap ada jalan keluar untuk kebaikan negeri ini. Tentu hampir semua penduduk negeri tak ingin ini terus terjadi. Ya Allah, ampuni kami atas tabiat dan perilaku kami selama ini. Astaghfirullahaladzim!!

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement