REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Yeyen Rostiani
Distrik Shejaia di Gaza luluh lantak. Hingga Ahad (20/7), mungkin inilah yang disebut Reuters sebagai distrik terparah akibat serangan Israel mulai 8 Juli lalu.
"Siapa yang melihat Ahmad?" atau "Mana istri saya?" terdengar menggema di Rumah Sakit Shifa di Gaza. Sementara korban luka dan tewas tergeletak di lantai yang bernoda darah.
Sebuah rekaman yang diperoleh Reuters menunjukkan, belasan jenazah tergeletak di jalan dengan bangunan yang runtuh di sekitarnya. Di antara mereka bahkan terdapat tiga orang anak-anak.
Gaza adalah secuil wilayah Palestina barat, berbatasan dengan Mesir. Wilayah ini diperkirakan berpenduduk 1,8 juta jiwa.
Secara resmi, wilayah Palestina adalah Tepi Barat dan Tepi Gaza. Keduanya dipisahkan oleh wilayah yang kini diklaim oleh Israel. Jika hukum internasional menyebut Tepi Barat sebagai occupied territory atau wilayah pendudukan, maka Gaza berbeda.
Israel di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ariel Sharon menarik mundur pasukannya secara sepihak dari Gaza pada 2005. Langkah ini disambut gegap gempita oleh dunia dan Sharon pun menangguk pujian, termasuk dari presiden Amerika Serikat saat itu, George W Bush.
Langkah berikutnya, Israel membangun pagar keamanan di perbatasan Gaza. Sementara dari sisi lain, Gaza hanya memiliki satu pintu perlintasan Rafah untuk menuju Mesir. Saat Rafah ditutup, maka Gaza pun terkurung.
Artikel di laman Arutz Sheva atau Israel National News pada 11 Januari 2012 melaporkan kunjungan delapan orang uskup Katolik ke Gaza. Para uskup ini --berasal dari Eropa dan Amerika Utara-- menyebut Gaza sebagai penjara hidup terbesar di dunia.
"Saya baru saja kembali dari kunjungan ke dua penjara terbesar di dunia --Bethlehem dan Jalur Gaza," tulis Uskup Willuam Kenney dari Birmingham, Inggris. Sementara Uskup Raymond Field dari Dublin juga menyebut Gaza sebagai "penjara besar".
Sebagai wilayah yang dikepung oleh perbatasan di sekelilingnya, entah bagaimana Gaza bisa bertahan hidup tanpa disuplai kebutuhan sehari-hari, yang selama ini dikirim lewat terowongan bawah tanah yang menghubungkannya dengan Mesir.
Angkat kaki dari Gaza justru menguntungkan Israel. Israel justru berhasil melepas sejumlah kewajiban negara penjajah terhadap daerah jajahannya. Berdasarkan dokumen Palang Merah Internasional (ICRC), salah satu kewajiban negara penjajah poin 5 menyebutkan, "Penjajah harus memastikan dipenuhinya standar higienis dan kesehatan masyarakat juga pangan dan perawatan medis bagi populasi yang dijajah".
Operation Protecting Edge diluncurkan setelah Israel menuding unsur di Gaza sebagai pelaku di balik insiden tiga remaja Israel yang diculik dan dibunuh. Israel menuding Hamas di balik penculikan itu --tuduhan ini tak pernah ditolak atau diakui oleh Hamas. Insiden itu disusul dengan insiden balasan ketika seorang remaja Tepi Barat diculik lalu hasil otopsi menunjukkan ia dibakar hidup-hidup.
Siapa pun pelakunya, tentu tak satu pun hukum membenarkan dua insiden penculikan dan pembunuhan tersebut. Namun, saling balas antara serangan udara Israel dan roket dari Gaza hanya menambah deras tumpahan darah warga sipil terutama di Gaza. Israel bahkann terus merangsek masuk ke Gaza dan melancarkan serangan darat mulai 17 Juli.
Hingga tulisan ini dibuat pada Ahad sore, laporan petugas medis di Gaza menyebutkan, 385 orang warga Palestina tewas dan 2600 orang lainnya cedera. Sebagian besar dari mereka adalah warga sipil. Sedangkan di pihak Israel, konflik ini menewaskan dua warga dan lima tentara termasuk yang tewas akibat serangan teman sendiri.
Konflik asimetris
Perbandingan jumlah korban memang bukan sebatas hitungan matematis. Namun, perbedaan korban yang jatuh menggambarkan secara gamblang dari konflik yang asimetris.
Mari kita lihat persenjataan andalan kedua pihak. Seperti dilaporkan laman BBC, Gaza memiliki sejumlah roket yang dikembangkan dari teknologi lama era Uni Soviet. Roket tersebut, Qassam, Grad, Fajr 5 memiliki daya jangkau 17 km, 48 km, dan 75 km.
Namun, BBC mencatat, “Tak satu pun (roket itu) bisa dikatakan canggih”. Untuk roket Fajr 5 misalnya, dapat menjangkau Tel Aviv dan Jerusalem. Namun, roket ini berukuran besar dengan panjang mencapai 6 meter serta membutuhkan alat khusus untuk peluncurannya. Jelas, mengatur posisi untuk meluncurkan serangan pun sulit untuk bisa lolos dari pesawat intai tanpa awak milik Israel.
Sementara Israel memiliki kekuatan penuh angkatan udara dan menanggapi serangan dari Gaza secara defensif sekaligus ofensif. Israel menyasar lokasi yang diklaim sebagai peluncuran serangan roket, penyimpanan senjata, serta tokoh-tokoh Hamas dan kelompok lain di Gaza.
Namun, keberhasilan utama Israel melindungi populasinya adalah sistem Iron Dome. Sistem ini menangkis roket asal Gaza dengan tingkat keberhasilan 90 persen. Tak hanya itu, Israel juga melengkapi perbatasannya dengan jaringan sirine jika terjadi serangan roket serta bunker tempat perlindungan.
Sistem pertahanan Israel memang tak sembarangan. Daftar belanja militer Negara Zionis ini pada 2013 menurut versi International Insitute for Strategic Studies menduduki peringkat ke-14 di dunia dengan nilai belanja 18,2 miliar dolar AS.
Apalagi, hingga kini Israel masih diyakini memiliki sekitar 200 hulu ledak nuklir. Klaim ini tak pernah disangkal atau dikonfirmasi oleh Israel. Namun, jika benar maka Israel adalah satu-satunya pemilik hulu ledak nuklir di Timur Tengah.
Bantuan dana AS untuk Israel pun tak pernah kering. Laporan Kongres yang ditulis Jeremy M Sharp pada 2014 menyebutkan, pada 2007 pemerintahan Bush telah menyetujui untuk menggelontorkan dana selama 10 tahun senilai 30 miliar dolar AS untuk periode 2009-2018.
Kemudian dalam kunjungannya ke Israel pada Maret 2013, Presiden Barack Obama kembali menguatkan komitmen negaranya agar kucuran dana bantuan militer itu selalu lolos mendapatkan persetujuan Kongres.
Salah satu hasil kucuran dana AS ini adalah Iron Dome, yang menjadi tulang punggung menangkis serangan-serangan roket dari Gaza. Dari kantong sumbangan dana yang sama, Israel bahkan sedang mengembangkan sistem pertahanan laser yang disebut Iron Beam. Jika berhasil, maka Israel akan memiliki salah satu peranti perang –meminjam istilah laman the Daily Mail-- gaya “Perang Bintang”.
Baik Iron Dome atau Iron Beam, keduanya difokuskan untuk memperkuat perlindungan populasi di perbatasan Gaza. Seandainya saja Hamas, sayap militernya, atau kelompok mana pun yang ada di Gaza tak lagi meluncurkan roketnya ke Israel, Iron Dome dan Iron Beam mungkin tak lagi diperlukan. Padahal, meminjam istilah ilmuwan AS, Norman Finkelstein, Israel gemar memotret dirinya sebagai “korban”.
Jika serangan roket dari Gaza tak lagi ada, akankah Israel tetap memasang posisi sebagai korban? Bagaimanakah nasib kucuran dana bantuan militer AS kepada Israel? Disukai atau tidak, serangan roket Gaza “menguntungkan” Israel. Bagaimana pun, Israel butuh roket Gaza.