Selasa 02 Dec 2014 07:36 WIB

Menanti Wajah Baru di Kepengurusan PSSI

Lap latihan Spanyol
Foto: dokpri
Lap latihan Spanyol

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Israr Itah

Dalam rentang dua bulan, pengurus PSSI mendapat dua pukulan beruntun. Pertama, kegagalan timnas U-19 melaju ke Piala Dunia U-20 2015 pada awal Oktober. Kemudian pada akhir November, giliran timnas senior babak belur di Piala AFF 2014.

Seperti biasa, kritikan—hingga makian—pun mengarah ke otoritas sepak bola tertinggi di Tanah Air. Para pengurusnya dicap tidak cakap. Tuntutan mundur mengemuka.

Mundur setelah gagal masih belum menjadi budaya di negeri kita, termasuk di kepengurusan PSSI. Para pejabat teras PSSI selalu punya dalih atas ketidakmampuan mereka meraih target prestasi.

Tapi, sebenarnya tak perlu menuntut pengurus PSSI saat ini mundur. Sebab masa kerja mereka akan usai pertengahan tahun depan. Yang perlu dilakukan adalah mencari sosok baru yang bersedia menjadi ketua umum PSSI masa bakti 2015-2019. 

Sosok yang mengutamakan kemajuan sepak bola Indonesia di atas kepentingan pribadi dan kelompoknya. Figur yang tak lagi membawa kepentingan non-sepak bola saat menduduki jabatan penting ini dan bisa membentuk kepengurusan yang bersih dan punya kualitas mumpuni.

Syarat menjadi ketua umum PSSI

Bisakah kita mendapatkan figur ideal seperti ini? Gampang saja bila cuma itu kualifikasinya.  Tapi mesti ada syarat adminstratif yang wajib dipenuhi  calon ketua umum PSSI. Yakni Warga Negara Indonesia yang berusia minimal 30 tahun, dicalonkan minimal oleh satu anggota PSSI yang sah dan memiliki hak suara di kongres PSSI, pernah aktif di sepak bola Indonesia dan tidak sedang atau pernah dihukum tindak pidana.

Masih ada syarat ‘non teknis’ yang justru amat berat dan sangat menentukan. Calon yang maju mesti punya dana tak terbatas—atau punya orang di belakang layar yang bersedia mengucurkan uangnya bak air bah. Juga punya kemampuan lobi tingkat tinggi kepada pemilik suara untuk memilihnya pada kongres PSSI pada 2015 ini. Kalau saya tak keliru dan aturan tak berubah, ketua umum dipilih sekitar 102 pemilik suara yang meliputi wakil asosiasi provinsi, klub Indonesia Super League, Divisi Utama, dan Klub Amatir.

Tanyakan saja kepada pengusaha Arifin Panigoro berapa banyak uangnya habis untuk mendudukkan Djohar Arifin Husin sebagai ketua umum PSSI, tapi kemudian mundur teratur karena gagal mengambil hati para pemilik suara. 

Ketua Umum PSSI juga harus memastikan para pendukungnya akan memilih anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI yang sejalan dengannya. Ini untuk memudahkan dalam pengambilan kebijakan strategis. Termasuk berembuk memilih orang-orang yang duduk dalam kepengurusan PSSI.

Pola seperti ini menimbulkan saling ketergantungan. Ketua umum PSSI butuh dukungan dari klub. Sebagai imbalannya, PSSI tak boleh ‘galak’ kepada para pemilik suara. Sekali dianggap merugikan mereka, perlawanan keras bakal diberikan. Kita tentu masih ingat kelompok KPSI yang diinisiasi oleh pemilik suara yang berasal dari klub-klub ISL.

Padahal kita tahu mayoritas pemilik suara di kongres PSSI tak punya rapor memadai dalam pembinaan sepak bola di Tanah Air. Wakil asosiasi provinsi biasanya terdengar namanya hanya saat kongres. Di luar itu, tidak ada karya nyata mereka mengembangkan sepak bola di daerahnya. Misalnya dengan menggelar kompetisi berjenjang yang teratur, rapi, tanpa bumbu suap atau perkelahian di daerah-daerah.

Begitu pula halnya dengan wakil klub. Hampir seluruh klub ISL juga tak punya aset memadai. Biasanya mereka hanya punya kontrak pemain untuk satu musim. Tidak ada akademi sepak bola dengan tim-tim dari berbagai level usia, sponsor klub untuk jangka panjang, lapangan latihan milik sendiri, atau kontrak jangka panjang dengan pemerintah daerah untuk menggunakan stadion sebagai kandang. Mess pemain saja terkadang harus menyewa!

Campur tangan pemerintah

Dengan kondisi ini dan syarat yang ada untuk maju menjadi ketua umum PSSI, akan sangat sulit untuk memutus lingkaran setan tersebut. Kandidat yang muncul bakal itu-itu saja. Para pemilik suara pastinya hanya akan merestui figur yang mengakomodasi kepentingan mereka.

Di sinilah menurut saya amat pentingnya campur tangan pemerintah. Harus ada niat baik dan langkah nyata  dari pemerintah untuk mendudukkan sosok yang benar-benar punya kemampuan dan integritas untuk menjadi ketua umum PSSI. Sosok yang nantinya juga bisa memilih orang-orang yang tepat untuk menjadi pengurus.

Pemerintah dapat  masuk melalui asosiasi provinsi dan pengurus klub. Sebab, kita tahu bahwa mereka semua memiliki keterkaitan dengan pejabat di pemerintahan daerah. Ambil contoh presiden Sriwijaya FC Dodi Reza Alex yang merupakan anak Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin. 

Setelah terjalin komunikasi dan menyiapkan tokoh yang kompeten, pemerintah harus memberikan dukungan lanjutan. Pemerintah menyiapkan dana atau kebijakan yang mendukung pengembangan sepak bola nasional.

Pemerintah dapat mewajibkan perusahaan-perusahaan besar nasional dan daerah untuk mengalokasikan dana CSR kepada program peningkatan kualitas pelatih, penyediaan lapangan sepak bola di daerah, membantu sekolah-sekolah sepak bola, serta pembiayaan program timnas. 

Mantan pelatih timnas U-19 Indra Sjafri pernah menyatakan perlunya kompetisi usia muda di berbagai level usia untuk mendapatkan bibit pemain berkualitas. “Negara juga harus membantu program timnas yang membutuhkan biaya besar,” kata dia.

Dana CSR ini boleh digunakan klub atau asosiasi provinsi, asalkan mereka punya program jelas dan akuntabel terkait pengembangan sepak bola. Bukan sekadar menghabiskan uang untuk membayar kontrak pemain dengan harga selangit, tapi mengabaikan pembinaan di level usia muda.

Pemerintah memastikan izin kepolisian untuk pertandingan liga tidak terhambat. Tak ada cerita pertandingan ditunda atau dibatalkan karena ‘kekhawatiran terjadinya bentrok pendukung kedua tim’.  Kepastian digelarnya liga dengan jadwal teratur akan memudahkan PSSI merancang program untuk tim nasional.

Sanksi FIFA

Saya yakin akan ada tantangan dari pengurus PSSI dan pemilik suara. Mereka pasti mengemukakan alasan klasik sanksi FIFA kalau ada campur tangan pemerintah. Buat saya, sanksi FIFA dari campur tangan pemerintah itu ibarat operasi usus buntu. Sakit sebentar, tapi tak berapa lama kita kembali sehat. Sebaliknya kalau dibiarkan akan terus mengganggu.

Sejatinya FIFA dan organisasi turunannya ke bawah—termasuk PSSI—sangatlah egois. Di satu sisi, mereka mengagungkan independensi yang tidak bisa dicampuri pihak manapun. Tapi di sisi lain tak henti merayu dan membujuk pemerintah untuk membantu terlaksananya program-program mereka.

Ingat, untuk menggelar Piala Dunia, federasi sepak bola suatu negara tak bisa hanya memberikan proposal kepada FIFA secara independen. Harus ada surat resmi dari pemerintah setempat yang menyatakan memberikan dukungan. 

Sebab Piala Dunia membutuhkan modal besar untuk pembangunan stadion dan infrastruktur lainnya. Dan, itu semua berasal dari pemerintah, bukan FIFA atau federasi sepak bola di negara bersangkutan.  

Egoisnya, semua keuntungan finansial berjumlah triliunan rupiah dari pihak sponsor dalam penyelenggaraan Piala Dunia itu masuk ke kantong FIFA.  Negara penyelenggara cuma mendapatkan nama baik dan gengsi yang kadang tidak sepadan dengan ongkos yang telah dikeluarkan—seperti Brasil pada Piala Dunia 2014 lalu. 

Bila PSSI menolak campur tangan pemerintah dengan alasan punya independensi, biarkan saja mereka menjalankan organisasi secara mandiri. Klub dan PSSI tak usah diberikan izin untuk menggunakan stadion milik pemerintah. Jangan ada polisi yang untuk mengamankan pertandingan. Mungkin mereka bisa menyewa jasa pengamanan swasta. Jadi, fair and square!

Saya benar-benar berharap pemerintah campur tangan mencegah wajah-wajah di kepengurusan sekarang atau era sebelumnya nekat maju menjadi calon ketua umum PSSI. Cukuplah kesempatan yang diberikan kepada mereka di masa lalu berakhir sampai di sini saja. 

Pertengahan tahun depan, semoga kita mendapatkan ketua umum PSSI berserta pengurusnya yang baru, yang benar-benar cakap dan mampu membawa kita keluar dari kegelapan prestasi ini. Bukan pengurus yang bau, yang memanfaatkan sepak bola untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Pemerintah punya kewajiban untuk mewujudkan ini.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement