REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Esthi Maharani
Twitter: @sssthi
Meski sudah tak lagi menjabat sebagai presiden republik Indonesia, tetapi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih memperlihatkan taring di dunia politik Tanah Air. Hanya dengan sekali dua kali gertakan, konstelasi politik antara dua kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) bergejolak.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Undang No 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Perppu Pilkada) yang ditandatangani SBY jelang lengser menjadi senjata tajam untuk 'mengancam' dan menaklukan KMP. Namun, sekaligus membuka gerbang untuk mencairkan suasana musuh lama antara Partai Demokrat dan PDIP serta koalisinya.
Rekomendasi dalam munas Partai Golkar di Bali yang menolak Perppu Pilkada langsung menjadi titik awal riak-riak perpecahan KMP. Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie (Ical) menginstruksikan kader untuk menolak perppu tersebut. Ia juga meminta agar instruksinya itu masuk dalam keputusan atau rekomendasi munas agar diperjuangkan oleh Fraksi Golkar.
Ical mengatakan, penolakan terhadap Perppu Pilkada merupakan respons atas banyaknya usulan dari pimpinan Golkar di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Ia sepakat menolak Perppu itu untuk menghidupkan kembali UU Pilkada yang mengatur pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD.
"Sesuai usulan Saudara sekalian, kita bisa menolak perppu itu," kata Aburizal.
Rabu (3/12), pilihan kata "menolak Perppu Pilkada" diubah menjadi "Partai Golkar akan memperjuangkan pilkada melalui DPRD". Perubahan redaksional itu merupakan usulan Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tandjung yang disampaikan dalam sidang paripurna Munas IX.
Hal tersebut pun membuat SBY meradang. Meski tak berada di Tanah Air, SBY merespons instruksi tersebut lewat akun twitter pribadinya. Ia mengingatkan kesepakatan yang pernah terjadi antara Partai Demokrat dan KMP seperti diungkapkan lewat akun twitter pribadinya pada 5 Oktober lalu.
Hari berikutnya, 1 Oktober 2014, pembicaraan dgn KMP berlanjut. Saya ingin ada persetujuan hitam di atas putih utk dukung Perpu.
Berhubung Ketum Partai Golkar sedang berada di luar negeri, meskipun sudah setuju, saya telepon langsung agar terjadi kebulatan.
Sekitar pkl 20.00, saya terima lembar kesepakatan utk (1) Kebersamaan di DPR & MPR; (2) Dukung Perpu Pilkada Langsung dgn perbaikan.
Kesepakatan itu ditandatangani semua Ketum & Sekjen, mulai dari PG, PGerindra, PAN, PKS, PPP & juga PD. Khusus PPP hanya Ketum.
Mungkinkah kesepakatan dilanggar? Politik memang dinamis, tetapi tetap ada etikanya. Saya percaya KMP.
Namun, setelah ada perubahan haluan, SBY tak tinggal diam. Ia menegaskan sikap tak terima dengan sikap tersebut. Ia menyebutnya sebagai pengkhianatan dan mengancam akan menyebrang ke KIH seperti yang dituliskannya pada 4 Desember lalu.
Kini, secara sepihak PG menolak Perppu, berarti mengingkari kesepakatan yang telah dibuat. Bagi saya hal begini amat prinsip.
Tidak mungkin PD bisa bekerja sama dgn pihak-pihak yg tidak konsisten, ingkar kesepakatan & tinggalkan komitmen begitu saja.
Saya telah memerintahkan para pimpinan PD untuk mulai menjalin komunikasi dgn PDIP & KIH, agar perjuangan bersama ini berhasil.
Selang beberapa hari setelah itu, tak disangka SBY pulang ke Tanah Air. Sebagai Presiden the Global Green Growth Institute (GGGI), ia menemui Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla. Namun, kedatangannya tentu bukan sekadar sowan atau memberikan undangan sebagai Presiden GGGI. Dia SBY, dia punya agenda lebih dari itu.
Benar saja. Perppu Pilkada menjadi salah satu topik yang dibicarakan. Kedua pihak itu pun membeberkan percakapan politis itu ke publik. Intinya, keduanya ingin memastikan perppu pilkada bisa lolos di DPR seraya terus membuka wacana bergabungnya PD ke KIH.
Tak sampai di situ, ketika memberikan kuliah umum di UIN Syarif Hidayatullah, SBY kembali menegaskan sikapnya terkait Perppu Pilkada.
"Saya dan kekuatan politik yang saya miliki akan terus berupaya agar Perppu Pilkada diterima," katanya pada 10 Desember.
Manuver SBY nyatanya berdampak besar terhadap konstelasi politik. Paling tidak, manuver tersebut membuat partai yang tergabung dalam KMP berpikir dua kali untuk berubah haluan dan mengkhianati kesepakatan.
SBY seolah telah berhasil menaklukan KMP. SBY menempatkan Demokrat sebagai partai yang dibutuhkan oleh kedua koalisi. Tak mau kehilangan dukungan PD, satu persatu partai dalam KMP menegaskan kembali sikapnya terhadap Perppu Pilkada langsung. Misalnya, Gerindra yang menegaskan belum ada perubahan dukungan terhadap Perppu Pilkada.
"Kita ini kan sekarang mendukung perppu. Nah, nanti DPR akan memutuskan menerima atau menolak," kata Waketum Gerindra Fadli Zon.
Golkar pun melakukan hal serupa. Ical memutuskan untuk membelot dari rekomendasi munas dan mendukung Perppu Pilkada.
"Setelah melihat: a) keinginan masyarakat luas untuk tetap melaksanakan Pilkada Langsung, b) kesepakatan awal bulan Oktober antara 6 partai-partai tersebut di atas, c) pembicaraan dengan partai-partai dalam KMP. Maka Partai Golkar akan mendukung Perppu usul Pemerintah tentang UU Pilkada tersebut," katanya lewat akun twitter pribadinya.
Posisi Demokrat yang dipimpin SBY memang menjadi sangat strategis dalam politik saat ini. Bisa dibilang netralitas yang dianut Demokrat menjadikan partai tersebut bandul yang menentukan. Jika PD bekeja sama dengan KIH, maka kekuatan parpol pendukung Jokowi-JK akan lebih kuat dari KMP di DPR.
Apalagi selama tiga bulan terakhir pemerintahan dan parlemen baru, KMP lebih banyak mendominasi pengambilan keputusan kebijakan di DPR. Jika PD menyebrang, tentu peta politik akan berubah.
Ini sekaligus membuktikan, meski tak lagi menjabat sebagai Presiden RI, SBY tetap memiliki pengaruh besar terhadap arah politik tanah air. Dia masih king maker.