REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdullah Sammy
Di masa kekhalifahan Sayidina Umar bin Khattab ada kisah mengenai seorang kakek Yahudi yang merasa diperlakukan tidak adil oleh negara. Alkisah, kakek yang tinggal di Mesir itu diminta untuk pindah dari tanah yang sedang dihuninya. Sebab di tanah itu, pemerintahan Mesir di bawah Gubernur Amr bin Ash akan membangun sebuah masjid.
Pemerintah di Mesir lantas coba memberi kakek Yahudi itu ganti rugi dengan nilai tinggi. Namun si kakek menolak. Walhasil, pemerintah Mesir dengan kuasanya langsung mengeskekusi tanah si kakek. Si kakek Yahudi hanya bisa menangis melihat rumahnya dibongkar.
Merasa diperlakukan tak adil oleh negara, si kakek pun ke Madinah untuk mengadu ke khalifah Umar bin Khattab. Si Yahudi percaya, Khalifah Umar bisa memberinya keadilan sejati. Keadilan yang dipercayanya ada di tangan pemimpin sesungguhnya.
Kisah kakek Yahudi ini sengaja saya tulis sebagai contoh bagaimana seseorang rakyat jelata mencari keadilan. Si kakek Yahudi memang bukan siapa-siapa. Dia tak seperti tim sukses capres di Indonesia yang bisa dengan mudah mendapat apa saja setelah jagonya berkuasa. Dia pun bukan calon kapolri yang bisa maju ke praperadilan di pengadilan negeri.
Sengaja saya ambil contoh kisah di masa kekhalifahan Umar itu untuk menggambarkan keadilan sejati bukan dipetik atas dasar jabatan. Keadilan sejati pun tak diperoleh atas dasar jasa, kedekatan, ataupun kesamaan latar politik maupun Agama.
Keadilan sejati inilah yang jadi barang langka di Indonesia. Rasa keadilan masyarakat terusik setelah keluarnya putusan praperadilan calon kapolri Budi Gunawan (BG). Hanya dalam tempo beberapa pekan, BG yang diakui PDI Perjuangan punya peran penting dalam menyukseskan langkah Jokowi-JK ke istana, bisa bebas dari jeratan hukum.
Dengan hanya mengikuti keputusan seorang hakim bernama Sarpin Rizaldi dalam forum praperadilan, status tersangka yang melekat pada BG dicabut. Walhasil, langkah KPK dalam fungsinya memberantas korupai dimentahkan oleh seorang bernama Sarpin Rizaldi.
Walhasil kasus BG akan menjadi yurisprudensi bagi seluruh tersangka di bumi Indonesia. Yurisprudensi bahwa seluruh tersangka bisa saja lolos dari jeratan hukum dengan menempuh forum praperadilan bukan pengadilan.
Sebagai gambaran saja, praperadilan hanya diputus oleh seorang hakim. Sementara di pengadilan biasa ada beberapa hakim. Walhasil putusan praperadilan hanya mutlak berdasarkan putusan seorang manusia. Ini berbeda dengan pengadilan yang keputusannya berdasarkan pertimbangan beberapa hakim, hingga kemungkinan terjadinya kongkalikong dalam putusan di pengadilan lebih kecil dibanding forum praperadilan.
Kembali ke soal BG, keputusan praperadilan yang memenangkan sang komjen ini sontak menyudutkan KPK. Putusan seorang Sarpin sudah bisa menghakimi ratusan petugas KPK. Seorang Sarpin yang pernah diadukan ke Komisi Yudisial, bisa menilai KPK lalai dalam melakukan tugasnya. Di sisi lain, sejumlah pihak berpesta pora atas putusan itu. Ada yang berjingkrakan. Ada pula yang sujud syukur.
Dengan dicabutnya status tersangka ini, ada pihak yang menilai sudah saatnya BG dilantik demi keadilan. Apakah demikian? Faktanya Jokowi menunda keputusan soal pelantikan kapolri dengan menunggu proses hukum yang dilakukan BG. Atas dasar keadilan yang sama, Jokowi seharusnya menunda pelantikan kapolri karena proses hukum masih bergulir dengan langkah KPK melakukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Di sisi inilah kita bisa melihat posisi presiden kita sesungguhnya.
Jika berbicara keadilan pula, BG bisa langsung digugurkan sebagai calon kapolri tanpa mempertimbangkan kasus yang menjeratnya. Pasalnya BG diakui politikus PDIP, Hasto Kristianto sebagai bagian dari tim sukses Jokowi di pilpres 2014.
Dalam kasus ini, sejatinya sudah ada yurisprudensi pejabat polisi yang dicopot dari jabatan akibat jadi timses. Kala pilpres 2004, kapolwil Banyumas dicopot karena kedapatan terlibat dalam penyuksesan kampanye Megawati Soekarnoputri. Dengan kasus di Banyumas itu, BG seharusnya dicopot bukan justru dilantik oleh Jokowi.
Apa pun itu, kita harapkan segala proses hukum ini bisa bermuara pada sebuah keadilan yang sejati. Sebuah keadilan yang sejatinya dicontohkan Umar bin Khattab dalam percakapannya dengan si kakek Yahudi.
“Kakek jauh-jauh datang dari Mesir, adakah keperluan yang ingin kakek sampaikan?” tanya Umar bin Khattab kepada si kakek Yahudi.
Si kakek itu pun menceritakan bahwa rumahnya secara sepihak diratakan untuk dibangun masjid. Dia pun mencurahkan perasaannya pada Umar mengenai perjuangan untuk memiliki rumah itu. “Sungguh sangat menyedihkan, harta satu-satunya yang aku miliki sekarang telah sirna, karena dirampas oleh pemerintah.”
Wajah Khalifah Umar sontak memerah. Umar pun begitu marah mengetahui kisah yang didengarnya dari kakek Yahudi. Umar lantas mengambil tulang unta lalu menggores tulang tersebut dengan huruf alif dengan pedangnya. Tulang unta itu diserahkan kepada kakek Yahudi. Umar lantas berpesan, “Bawa tulang ini ke Mesir dan berikan kepada Gubernur Amr bin Ash.”
Dengan penuh keheranan, si Yahudi pulang ke Mesir hanya dengan membawa tulang. Si kakek lantas memberinya ke Amr bin Ash. Sang gubernur Mesir itu sontak pucat ketika menerima tulang tersebut dari kakek Yahudi. Mendadak, Amr memerintahkan jajarannya untuk membongkar masjid di tanah milik kakek Yahudi itu.
Si kakek Yahudi itu merasa heran mengapa dengan sebatang tulang unta busuk, Amr bersedia membongkar masjid untuk kembali membangun gubuk milik seorang Yahudi. “Maaf Tuan, tolong jelaskan perkara pelik ini. Berasal dari apakah tulang itu? Apa keistimewaan tulang busuk itu sehingga Tuan berani memutuskan untuk membongkar begitu saja masjid yang amat mahal ini?
Amr bin ‘Ash memegang pundak orang Yahudi sambil berkata: “Wahai kakek, tulang ini hanyalah tulang busuk. Akan tetapi tulang ini merupakan peringatan keras terhadap diriku dan tulang ini merupakan peringatan dari Khalifah Umar bin Khattab. Artinya apa pun pangkat dan kekuasaanmu, suatu saat kamu akan bernasib sama seperti tulang ini, karena itu bertindak adillah kamu seperti huruf alif yang lurus. Adil di atas, dan adil di bawah."