Oleh: Ani Nursalikah
Redaktur Republika Online
ISIS terkepung. Kelompok radikal yang memproklamirkan diri sebagai Negara Islam Irak dan Suriah itu terpojok di pusat kota Tikrit.
Sepekan terakhir ini operasi militer merebut kota kelahiran Sadam Hussein itu dihentikan. Tidak seperti di awal serangan yang sengit, sejak Jumat pekan lalu operasi melambat.
Sejumlah pejabat militer Irak mengatakan mereka berhenti sejenak untuk menunggu penambahan pasukan, membatasi korban tewas dan memberi kesempatan pada warga sipil untuk pergi. Irak juga belum meminta bantuan serangan udara pada koalisi melawan ISIS.
Sementara ISIS terkepung di Tikrit, ancaman ISIS juga makin terasa di tanah air. Awal bulan ini, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan kabar hilangnya 16 warga Indonesia di Turki.
Mereka berangkat ke Turki melalui agen perjalanan ternama. Tidak ada yang aneh saat mereka memesan tiket secara online. Kepada biro perjalanan, mereka menyiratkan rasa gembiranya plesir ke Turki.
Sesampainya di Bandara Attaturk, keenam belas orang tersebut, yang masih memiliki hubungan darah, memisahkan diri dari rombongan. Alasannya, ingin menemui keluarga yang berada di Turki. Hingga saat waktunya kembali ke Indonesia, mereka tidak juga muncul.
Turki memang menjadi pintu masuk bagi simpatisan ISIS yang ingin menyeberang ke Suriah. Juru bicara kementerian luar negeri Turki, Tanju Bilgic, bahkan menyatakan ribuan warga asing dari lebih 80 negara, termasuk Inggris, Eropa, Cina dan AS telah bergabung dengan ISIS dan kelompok radikal lain di Suriah dan Irak. Sebagian besar masuk melalui Turki.
Pada 11 Maret, Turki mengumumkan telah menangkap 16 WNI saat hendak menyeberang ke Suriah. Patut diduga mereka akan bergabung dengan ISIS.
Tidak lama kemudian kabar mengejutkan datang dari Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Badrodin Haiti. Dia menyatakan 16 WNI tersebut berbeda dengan 16 WNI yang memisahkan diri.
Jadi ada dua kelompok WNI yang jumlahnya sama-sama 16 orang. Turki menyebut mereka terdiri dari tiga keluarga.
Sampai saat ini mereka masih berada di pusat penahanan pemerintah Turki. Tim gabungan Polri masih bernegosiasi dengan otoritas Turki agar diizinkan menginterogasi secara langsung 16 WNI.
Densus 88 Antiteror Mabes Polri bersama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kementerian Luar Negeri serta Badan Intelijen Negara (BIN) telah memberangkatkan perwakilannya ke Turki untuk menyelidiki motivasi dan sponsor keberangkatan 16 WNI tersebut.
Yang jelas, genderang perang terhadap ISIS sudah ditabuh pemerintah Indonesia. Kepolisian menyatakan perlu dibuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk memidanakan simpatisan ISIS.
Panglima TNI Jenderal Moeldoko menyatakan ISIS merupakan ancaman potensial bagi Indonesia. "ISIS tidak boleh tumbuh berkembang di satu wilayah pun di Indonesia," katanya, Kamis (19/3).
Paham-paham radikalisme memang sudah terendus di wilayah Poso. Karena itu, TNI akan menggelar latihan dengan jumlah personel yang cukup besar di kota Sulawesi Tengah itu.
Selain Poso, beberapa wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah, rentan terhadap penyebaran paham dan gerakan ISIS. Kota-kota tersebut antara lain Solo, Banyumas, Purbalingga, dan Cilacap.
Tidak mudah mengatasi penyebaran paham radikal. Apalagi jika hanya ditangani dengan hukum positif. Alih-alih, keyakinan keblinger mereka justru semakin kuat.
Hal yang paling mendasar dibutuhkan pemberian pemahaman yang kontinyu gerakan terorisme berbahaya bagi kelangsungan kehidupan bermasyarakat. Tanggung jawab itu bukan hanya ada di pundak pemerintah, tapi kita semua.
Tak kalah penting, pemerintah harus berusaha memperbaiki kesejahteraan warga miskin. Kaum ini rentan dengan paparan ajaran radikal. Dimulai dengan memperbaiki akses pendidikan bagi mereka.
Tidak sedikit WNI yang ingin bergabung dengan ISIS dilandasi dengan motif ekonomi. Sebagian besar adalah tenaga kerja Indonesia yang kerap dipukuli majikannya sehingga tergiur dengan gaji besar yang ditawarkan.