REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Satya Festiani
Baru-baru ini Pertamina meluncurkan bahan bakar khusus (BBK) jenis baru bernama Pertalite. Dengan kadar oktan sebesar 90, Pertalite memiliki kualitas yang lebih bagus daripada Premium yang berkadar oktan 88. Namun, kualitasnya di bawah Pertamax yang berkadar 92.
Harganya pun berada di tengah-tengah. Untuk harga promo, Pertamina membanderol Pertalite dengan harga Rp 8.400 per liter, lebih murah Rp 900 dari harga Pertamax RON 92 dan lebih mahal sekitar Rp 1000 dari Premium.
Pertamina mengaku harga keekonomiannya sebenarnya adalah Rp 8.700 per liter. Harga ini dapat naik turun mengikuti harga indeks pasar minyak Bumi Singapura (MOPS) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Jadi, jika harga MOPS turun, belum tentu harga Pertalite langsung turun. Apalagi dengan nilai tukar rupiah yang sedang melemah seperti saat ini.
Penetapan harga Pertalite ini tidak bisa dikendalikan Pemerintah layaknya Premium. Penetapannya tidak tunduk pada aturan Perpres 191/2014 karena jenis BBM yang diatur dalam Perpres tersebut adalah minyak tanah, solar dan Bensin Ron 88. Dalam Perpres disebutkan bahwa dalam rangka penyediaan dan pendistribusian BBM, Menteri ESDM menetapkan harga dasar dan harga jual eceran BBM.
Seperti yang dikutip dari laman Setkab, harga dasar terdiri dari biaya perolehan, biaya distribusi, biaya penyimpanan, serta margin. Biaya perolehan adalah biaya penyediaan BBM dari produksi kilang dalam negeri dan impor sampai dengan terminal bahan bakar minyak dengan dasar perhitungan menggunakan harga indeks pasar.
Harga jual eceran, menurut Perpres, merupakan harga dasar ditambah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB). Sedangkan, harga jual eceran sesuai dengan peraturan daerah provinsi setempat.
Karena tidak bergantung pada Perpres tersebut, Pertamina bisa menentukan harga dan mengatur keuntungannya. Begitu pula dengan harga Pertamax.
Kendati posisinya ditengah-tengah, bukan berarti pembuatannya berasal dari pencampuran Premium dan Pertamax. Pertamina mengaku bahwa Pertalite ini diproduksi di dalam negeri dengan cara mencampur high octane mogas component (HOMC) dengan kelebihan nafta yang biasanya diekspor. Sehingga kemunculannya akan mengurangi impor.
Selama ini, untuk memproduksi Premium, Indonesia mengimpor BBM RON 92 atau 90 yang kemudian dicampur nafta agar menjadi 88. Sedangkan untuk Pertamax, sebagian dari impor dan sebagian lagi diproduksi di kilang di Indonesia.
Pada Juni 2015, Indonesia mengimpor migas sebesar 2,58 miliar dolar AS. Angka tersebut naik sekitar 23,89 persen dari bulan sebelumnya. Peningkatan tersebut disebabkan oleh naiknya impor minyak mentah menjadi 269,3 juta dolar AS serta impor hasil minyak sebesar 266,9 juta dolar AS.
Untungnya, kenaikan impor tersebut belum membuat neraca perdagangan menjadi defisit. Pasalnya, ekspor migas per Juni juga mengalami kenaikan sebesar 6,27 persen dibandingkan Mei menjadi 1,46 miliar dolar AS. Kenaikan ekspor itu juga didorong oleh naiknya ekspor minyak mentah dan hasil minyak.
Dibandingkan Juni tahun lalu, impor migas jauh lebih sedikit. Tercatat, Indonesia mengimpor migas senilai 3,39 miliar dolar AS pada Juni 2014.
Namun, Pemerintah seakan tak satu suara bahwa Premium akan menekan impor. Menko sofyan djalil pernah menyebutkan bahwa bahan bakar khusus ini justru akan membuat impor naik. Ia beralasan, impor akan naik karena Pertalite merupakan hasil campuran dari oktan lebih rendah ke tinggi.
Saat ini respons masyarakat akan kehadiran Pertalite cukup baik. Pada hari kedua setelah peluncuran, banyak masyarakat yang membeli BBK baru ini. Bisakah kehadiran Pertalite ini menekan impor atau hanya cara Pertamina untuk menekan kerugian akibat penjualan Premium yang harganya masih dikendalikan Pemerintah?