Kamis 19 Nov 2015 20:27 WIB

Dewan Permakelaran Rakyat

Wartawan Republika, Arif Supriyono
Wartawan Republika, Arif Supriyono

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Supriyono/ Wartawan Repubika

Istilah makelar sangat lazim dalam dunia usaha atau bisnis. Makelar bisa disebut juga sebagai pedagangan perantara.

Seorang makelar berperan menjualkan barang/produk/jasa kepada pembeli, walau belum tentu ia menjadi penjual dalam arti sesungguhnya. Bisa juga makelar hanya berperan untuk mencarikan pembeli atau memberi informasi tentang barang/produk/jasa tadi.

Dalam perkembangannya, istiah makelar telah mengalami perluasan makna. Seorang makelar bisa saja hanya berperan sebagai perantara antara dua belah pihak yang berperkara. Lantaran itulah muncul istilah makelar kasus.

Seorang makelar kasus akan membawa pesan dari pihak pertama untuk disampaikan pada pihak kedua, atau sebaliknya. Sebagai pihak perantara, sang makelar kasus ini akan menerima honor/upah atau kompensasi. Makelar kasus banyak ditemui di dunia peradilan.

Di dunia usaha, keberadaan makelar sudah sangat lama diakui dan bukan dianggap sebagai sesuatu yang haram atau dijauhi. Makelar atau broker asuransi kerugian, bahkan secara sah diakui keberadaannya.

Broker atau makelar asuransi ini biasanya akan membawa nasabah dengan nilai pertanggungan yang besar kepada perusahaan asuransi. Sesuai kesepakatan dalam perdagangan, tentu saja makelar asuransi ini akan mendapatkan kompensasi/honor atas jerih payahnya mencarikan nasabah tadi.

Sebaliknya, makelar kasus justru memiliki citra negatif. Keberadaan makelar kasus dianggap tidak legal. Karena itu, cara kerja makelar kasus lebih banyak berada di balik layar. Mereka akan cenderung menghindari hiruk-pikuk keramaian perkara atau kasus yang tengah menjadi sorotan.

Menjadi makelar bisa dilakukan oleh siapa saja. Sangat tidak lazim bila aparat pemerintah atau pejabat negara menjadi makelar, lebih-lebih makelar kasus. Tentu harus kita bedakan peran sebagai makelar atau pelobi/penjual produk bagi pejabat pemerintah (badan usaha milik negara) yang memang menduduki posisi sebagai tenaga pemasaran.

Bila seorang pejabat pemerintah terbukti menjadi makelar (kasus), ini dianggap sebagai pelanggaran terhadap aturan kepegawaian. Oleh karena itu, tindakan pemecatan terhadap pejabat pemerintah yang demikian ini sangat layak diberlakukan.

Belakangan ini, peran sebagai makelar menjadi sorotan masyarakat luas dalam kasus PT Freeport Indonesia. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said, dua hari lalu memaparkan adanya oknum yang mencatut nama presiden dan wakil presiden dalam kaitan dengan perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia.

Menurut Said, oknum tersebut menjanjikan penyelesaian kasus perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia dengan cara agar perusahaan ini memberikan 20 persen saham yang nanti akan diberikan kepada Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Oknum makelar itu menjelaskan, 11 persen saham akan diserahkan ke presiden, sedangkan wapres mendapat bagian sembilan persen saham.

Hal serupa juga dilakukan oknum itu dalam kasus rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Urumuka di Papua. Oknum makelar tadi juga minta saham 49 persen di PLTA Urumuka. Rencananya, PLTA Urumuka yang akan dibangun Freeport akan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara, melebihi PLTA Cirata, Jabar yang selama ini memiliki produksi energi listrik 1.428 giga watt jam (GWh).

Media kemudian mendapat informasi, bahwa nama oknum yang berperan menjadi makelar dalam kasus Freeport itu adalah Setya Novanto, ketua DPR. Pertemuan antara Setya Novanto yang didampingi seorang pengusaha dengan direksi PT Freeport Indonesia itu dilakukan pada 8 Juni 2015, di sebuah hotel di kawasan Pacific Place, Sudirman Central Business District/SCBD, Jakarta Pusat.  

Atas kasus tersebut, menteri ESDM lalu melaporkan kepada Majelis Kehormatan DPR untuk memeriksanya. Sudirman Said mendapatkan informasi ini karena telah memerintahkan kepada direksi PT Freeport Indonesia agar merekam setiap pertemuan penting yang dilakukan direksi dengan pihak lain.

Jika informasi ini benar, tindakan Setya Novanto itu sungguh memalukan. Berarti secara sengaja ia telah menistakan lembaga DPR yang begitu terhormat. Ia meletakkan lembaga tinggi negara itu di lembah dasar lumpur/ comberan yang berbau busuk.

Tugas utama DPR adalah melakukan legislasi (menyusun Undang-Undang), membahas dan menyetujui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), melakukan pengawasan jalannya pemerintahan, serta menyerap, menghimpun, dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Sama sekali tak ada tugas DPR sebagai makelar.

Namun, yang terjadi justru seperti itu. Beberapa teman yang biasa meliput di DPR sering mendengar berbagai cerita, amat banyak anggota DPR yang berperan sebagai makelar bagi pencairan dana atau anggaran untuk pemerintah darah. Belum lagi peran mereka sebagai makelar untuk proyek-proyek pemerintah di kementerian-kementerian.

Teman saya bercerita, anggota dewan yang jarang terlihat di sidang-sidang DPR justru biasanya sedang menjalankan tugas ‘suci’ sebagai makelar. Mereka tidak berdiri sendiri. Sudah barang tentu jerih payah dan tetesan keringat mereka juga dinikmati oleh rekan-rekannya di komisi atau fraksi.

Selama ini, peran ganda DPR sebagai makelar memang boleh dibilang berjalan dengan mangkus dan sudah lama terjadi. Beberapa instansi merasa takut dan segan jika ada anggota DPR yang mengingatkan agar segera mencairkan dana atau menyerahkan proyek pada beberapa rekanan yang mendapat rekomendasi DPR.

Apa pun, kondisi ini tak boleh terjadi. Anggota DPR adalah penjelmaan rakyat karena mereka dipilih dan bekerja untuk rakyat. Helaan napas dan derap kehidupan rakyat haruslah seirama dengan gerak dan langkah anggota DPR.

Tak boleh lagi anggota DPR melacurkan diri sebagai makelar, apa pun jenisnya. Makelar adalah urusan pihak lain. Sangat tidak masuk akal jika seorang ketua DPR (juga anggota DPR) sampai mengurusi masalah bisnis pihak swasta dengan berperan sebagai makelar.

Andai DPR mendapat ‘perintah’ dari eksekutif untuk melakukan tugas juga sebagai makelar, sudah seharusnya itu ditolak karena tak sesuai harkat dan jati diri DPR, apalagi bila langkah ini di luar kemauan eksekutif. Peran DPR sebagai makelar hanya mungkin dilakukan saat mereka bernegosiasi dengan mitranya dari asing dalam kaitan dengan kepentingan nasional. Misalnya, lobi-lobi dalam rangka menjaga kedaulatan, ketahanan, dan keutuhan negara.

Keadaan ini tak bisa dibiarkan terus-menerus. DPR harus dikembalikan pada jalur konstitusi yang sesuai dengan kehendak rakyat. Tak bisa dan tak boleh mereka mengingkari amanat rakyat. DPR haruslah tetap menjadi Dewan Perwakilan Rakyat dan bukan Dewan Permakelaran Rakyat.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini

Apa yang paling menarik bagi Anda tentang Singapura?

1 of 7
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement