REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wartawan Republika, Angga Indrawan
PSSI telah memastikan Kota Makassar sebagai tuan rumah Kongres Luar Biasa (KLB) pada 17 Oktober 2016. Keputusan tersebut dituangkan dalam Surat Keputusan (SK) bernomor 506/AGB/91/VII/2016. Pastinya, keputusan ini menegaskan Kongres PSSI digelar jauh dari pantauan kantor Kemenpora di bilangan Senayan, Jakarta. Berbulan-bulan telinga kita perih mendengar perseteruan antarkeduanya: PSSI versus Kemenpora.
Kongres idealnya melahirkan spirit, semangat, serta revolusi yang tentu dinantikan ratusan juta masyarakat Indonesia. Kongres PSSI diharapkan mengembalikan muruwah organisasi induk sepak bola Indonesia menjadi pemersatu bangsa, punya nilai luhur, dan menjadi induk yang melahirkan produk sepak bola berkualitas, baik produk kompetisi maupun produknya dalam bentuk tim nasional.
Mimpi tinggal mimpi, PSSI dinilai kadung hancur lebur, usai terpecah belah di era Nurdin Halid hingga tercorengnya PSSI lewat wajah Ketua Umum nonaktif, La Nyalla Mattalitti dalam kasus dugaan korupsi. Membangun ulang PSSI ibarat mengayuh di sampan tua. Sampan tua dengan kayunya sudah terkoyak karena jadi rebutan banyak orang.
Satu hal, belum kering tangis suporter sepak bola yang timnya dinistakan dalam kasus sepak bola gajah: PSS Sleman dan PSIS Semarang. Dua tim yang mendapuk malu, tanpa pernah terungkap siapa mafia di balik aksi bodoh keduanya.
Lebam wajah wasit juga belum sembuh usai dikeroyok pemain di dalam lapangan beberapa waktu lalu. Transparansi PSSI pun masih menjadi sesuatu yang mahal ditengok masyarakat luas. Mafia pertandingan, jual beli laga, hingga pengaturan skor yang hingga kini tak pernah terungkap. Lantas kemudian, apa yang masih diharapkan masyarakat dari PSSI?
Pemerintah pun terkesan angkat tangan memperbaiki sepak bola Indonesia. Political will yang tak kuat dari pemerintah menjadikan pembekuan PSSI beberapa waktu lalu, cuma jadi dagelan tak punya makna. Tim Sembilan, Tim Transisi, yang dibuat pemerintah dengan semangat awal pembenahan dan pemberantasan mafia di sepak bola, tak lebih dari sekadar guyonan para penjahat sepak bola.
Pemerintah seperti ada, tapi tak punya makna. Tak lebih dari sekadar menghabiskan anggaran negara dengan dagangannya berupa 'tata kelola'.
Sampai hari ini, sejumlah nama sudah dikabarkan bakal maju sebagai calon ketua umum PSSI baru menggantikan La Nyalla. Mereka di antaranya Pangkostrad Letnan Jenderal Edy Rahmayadi--mengklaim didukung Kelompok 85 (K-85) dengan 90 suara.
Ada juga nama mantan Panglima TNI Jenderal Moeldoko. Nama lain dari kalangan sipil, mantan Manajer PSM Makassar Erwin Aksa dan Direktur PT Gelora Trisula Semesta Djoko Driyono.
Saya boleh jadi masih optimistis sepak bola Indonesia bisa bangkit, meski harapan itu muncul tak lebih dari seujung kuku. Kongres PSSI penulis harapkan tak hanya menjadi ajang tradisi pelanggengan/perebutan kekuasaan semata. Namun ada hal substansial yang diperjuangkan, yakni semangat terciptanya iklim sepak bola yang sehat, jujur dan tanpa mafia.
Saya juga sangat berharap semangat itu ada dalam tiap calon-calon ketua umum PSSI baru. Jika tak ada sedikit pun semangat untuk menghapus dosa-dosa masa lalu, patut dipertanyakan, untuk siapa sebenarnya kongres ini digelar? Jika kongres digelar semata-mata untuk pihak yang bertarung dalam perebutan kekuasaan, boleh jadi tinggal tunggu waktu sepak bola Indonesia menuju kehancuran.