REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nurul S Hamami
Sambil menarik napas disertai tatapan mata yang tajam mengarah ke Chan Peng Soon, Liliyana Natsir melakukan servis. Shuttlecock memang masih bisa dikembalikan oleh pemain Malaysia itu. Namun, itu tak berlangsung lama. Cock hanya mengudara lima detik sebelum sebuah pengembalian Goh Liu Ying gagal menyeberang net.
Berakhirlah perjuangan Lilyana dan Tontowi Ahmad selama hampir 45 menit di Riocentro Pavilion 4, Rio de Janeiro, Brasil, Rabu (17/8) jelang tengah malam WIB. Owi-Butet (panggilan akrab Tontowi dan Liliyana) menyudahi perlawanan pasangan Malaysia itu dengan 21-14 dan 21-12, dalam duel final ganda campuran bulu tangkis Olimpiade Rio 2016.
Medali emas pun berkalung di leher Owi dan Butet. Bahkan dalam sesi foto selebrasi kemenangan, keduanya menggigit medali bagaikan memakan biskuit marie. Suatu luapan kegembiraan yang tiada taranya. Tunai sudah tugas yang dibebankan kepada mereka untuk memastikan Merah Putih berada di deretan teratas di antara dua bendera lainnya, diikuti oleh Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.
Tak ada kata lain kecuali ucapan terima kasih kepada Owi-Butet. Keduanya telah mengharumkan nama bangsa di pentas olahraga sejagat. Membuat Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang berhasil mendulang medali emas di Olimpiade Rio. Sebuah pencapaian gemilang persis di Hari Kemerdekaan ke-71 tahun Indonesia. Kado istimewa bagi bagi rakyat Indonesia. Owi-Butet menjadi asa terakhir setelah di empat nomor lainnya tak ada pemain Indonesia yang melaju ke final.
“Ini hadiah dari kami berdua di Hari Kemerdekaan Indonesia,” kata Owi.
Owi-Butet juga telah mengembalikan tradisi medali emas bagi Indonesia yang hilang di Olimpiade London 2012. Kala itu para pebulu tangkis Indonesia yang berlaga gagal total. Tak cuma emas, bahkan sekeping medali pun gagal dibawa pulang ke Tanah Air dari cabang bulu tangkis. Indonesia hanya mampu membawa pulang satu perak dan satu perunggu yang dipersembahkan oleh lifter Triyatno dan Eko Yuli Irawan.
Lebih dari itu, Owi-Butet telah membuka jalan bagi generasi sesudah mereka nantinya bahwa sektor ganda campuran juga bisa menyumbang emas. Sejak Barcelona 1992, medali emas baru mampu dipersembahkan oleh pemain-pemain di tunggal putri, tunggal putra, dan ganda putra –tiga nomor yang justru redup di Rio. Sebelumnya, pencapaian tertinggi sektor ganda campuran baru medali perak yang disumbang oleh Tri Kusharjanto-Minarti Timur di Olimpiade Sydney 2000 dan Nova Widianto-Butet di Olimpade Beijing 2008.
Kunci sukses Owi-Butet di final malam itu tak lain pada kepercayaan diri dan kekompakan. Masuk ke lapangan setelah menyingkirkan musuh bebuyutan mereka, juara Olimpiade London 2012 Zhang Nan-Zhao Yunlei, di semifinal, membuat keduanya tampak “pede”, Mereka bisa dengan cepat mengusai permainan dan tak membiarkan lawannya berkembang. Ganda Malaysia itu sempat member perlawanan di gim kedua, namun sesegera mungkin bisa dipadamkan oleh Owi-Butet.
Kepercayaan diri dan kekompakan memang menjadi titik lemah Owi-Butet dalam dua tahun terakhir. Itu pula yang membuat mereka tidak begitu bersinar belakangan ini. Datang ke Rio, tahun ini mereka hanya bermodalkan satu gelar yakni juara Malaysia Terbuka Supeseries. Beruntung pelatih mereka, Richard Mainaky, mampu mengatasinya dengan memberikan suntikan motivasi yang besar. Kepercayaan diri dan kekompakan keduanya kembali pulih.
Berikutnya yang harus dipikirkan Richard adalah menyiapkan pengganti Owi-Butet. Keduanya saat ini sudah tak muda lagi untuk ukuran usia atlet. Butet September nanti memasuki usia 31, sementara Owi pada Juli lalu sudah 29 tahun. Setidaknya menyiapkan pengganti Butet, jika Owi masih diproyeksikan untuk main lagi di Olimpiade Tokyo 2020.
Sebagai pemain sebenarnya pencapaian Owi-Butet sudah paripurna. Sejak lima tahun berpasangan, mereka sudah mengoleksi gelar juara All England tiga tahun berturut-turut 2012, 2013, 2014; juara dunia 2013; dan juara Olimpiade 2016. Kalaupun mereka menutup kariernya tahun ini, sudah cukup. Tapi, kalau masih ingin bermain bersama, setidaknya hingga dua tahun ke depan masih bisa. Untuk Olimpiade Tokyo? Perlu dipikirkan matang-matang. Sebaiknya PBSI menyiapkan generasi penerus mereka.