REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wartawan Republika, Arif Supriyono
Saya tidak akan membahas tangis dan air mata walau hal itu sedang menjadi topik hangat usai sidang penistaan agama (Surah Almaidah 51) dengan tersangka Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Selasa (13/12). Sebagai laki-laki, saya memang relatif jarang menangis. Air mata saya tumpah terakhir kali saat terjadi Aksi Damai 212 lalu. Kalau sekarang juga ikut menangis, terus terang saya merasa malu dan mungkin tidak pada tempatnya.
Jika saya ikut menangis, nanti saya dikira pemain sinetron juga yang ikut bersimpati. Sebaliknya, bila tak senang melihat ada orang yang sedang menangis, nanti saya dikira antipati. Karena itu, saya akan membahas soal kampanye saja dan bukan dukung-mendukung calon secara personal.
Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak akan dilakukan pada 2017. Penyelenggaraan pilkada serentak itu mencakup tujuh provinsi (gubernur), 76 kabupaten (bupati), dan 18 kota (wali kota). Tentu ini hajat nasional yang besar.
Saat ini tengah berlangsung pelaksanaan kampanye di wilayah yang akan mengadakan pilkada tersebut. Sudah barang tentu, pelanggaran kampanye menjadi warna paling dominan dalam catatan panitia pengawas pemilu (panwaslu) meski lembaga ini seringkali tak berdaya untuk memberikan sanksi.
Hal lain yang sering menjadi sorotan luas khalayak saat pelaksanaan kampanye --selain politik uang-- adalah ajakan memilih calon berdasarkan cara pandang yang berbau SARA (suku, agama, ras, dan antargolonngan). Sebagian pihak menolak kampanye yang berbau SARA, namun sebagian lain justru tak mempersoalkan hal itu.
Saya termasuk kelompok yang tak berkeberatan kampanye SARA menggema di bumi Nusantara ini. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan saya. Merupakan pemandangan yang jamak, bila kita mengajak orang lain agar memilih calon yang secara emosional punya kedekatan dengan kita. Bisa jadi kedekatan itu terkait dengan suku, agama, atau golongan tertentu.
Jika dalam suatu kontestasi atau pilkada ada seorang calon keturunan Bugis misalnya, sudah sewajarnya pendukung calon tersebut akan mengajak warga dari suku yang sama untuk memilih sang calon. Demikian juga andai dalam suatu pilkada ada calon yang berasal dari suku Batak.
Kondisi seperti itu juga sering terjadi untuk alasan keagamaan. Sangat mungkin dan tentu saja menjadi rasional, bila ada calon beragama Islam lalu para pendukungnya meminta atau menyerukan supaya yang beragama Islam memilih calon seiman. Ini saya kira juga terjadi pada calon dengan latar belakang agama yang lain.
Di belahan dunia Barat pun ini hal yang lazim dijumpai. Di Amerika Serikat salah satu contohnya. Sebagian gereja saat pilpres di AS lalu sempat ada yang mengeluarkan seruan agar memilih Hillary Clinton. Gereja lainnya pun ada yang meminta jemaatnya untuk memilih Donald Trump. Setali tiga uang dengan pemilihan presiden di negara lain.
Memang, sekilas kampanye dengan latar belakang SARA ini tak sejalan dengan pemikiran masa kini yang mengajak masyarakat untuk memilih pemimpin atas dasar profesionalisme. Akan tetapi kebanggaan, ketenangan, dan rasa aman juga menjadi pertimbangan lain bagi individu untuk menentukan pilihannya.