REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wartawan Republika, Agus Yulianto
Haji adalah rukun Islam yang kelima. Wajib bagi umat Islam yang mampu untuk mengadakan perjalanan ke Rumah Allah dan kondisi dalam keadaan aman. "...Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkar, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS Ali Imran: 97).
Karena itu, bagi yang mampu tentunya haji adalah wajib. Meski sekali pun dia harus mengendarai unta kurus dari tempat yang sangat jauh. Apalagi, seruan menunaikan haji ini pun telah difirmankan Allah SWT dalam surah al-Hajj ayat 27-29, yang artinya, "Serulah manusia untuk (melaksanakan) haji, niscaya mereka datang kepada engkau dengan berjalan kaki dan mengendarai unta-unta kurus yang datang dari segala penjuru yang jauh, agar mereka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang ditentukan atas rezeki yang Allah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian darinya dan sebagian lagi berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka, dan juga hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka serta hendakalah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah tua (Baitullah) itu."
Persoalanya, tak semua orang bisa menunaikan ibadah haji. Banyak faktor yang memengaruhi setiap umat Islam untuk bisa menjalankan ibadah rukun Islam kelima itu. Selain itu rahasia Allah SWT, tapi salah satu yang krusial adalah antrean untuk berangkat ke Tanah Suci, Makkah, yang cukup panjang hingga puluhan tahun dalam beberapa tahun terakhir.
Sebut saja, misalnya, Provinsi Sulawesi Selatan yang daftar tunggu (waiting list)-nya hingga 41 tahun. Bahkan, yang terpendek pun, di Provinsi Bengkulu, calon jamaah haji harus menunggu bisa terbang ke Baitullah, hingga delapan tahun.
Tidak hanya Indonesia yang harus mengalami waiting list cukup panjang. Negara-negara pengirim jamaah haji lain pun harus juga mengalami hal serupa, seperti Malaysia yang hingga 40 tahun waktu tunggu berangkatnya.
"Bagi sebagian orang yang ingin berhaji, biaya bukan masalah karena yang reguler masa tunggunya sangat panjang," kata CEO Madinah Iman Wisata Nuryadin Yakub.
Penundaan waktu terbang ibadah haji ini, tak dimungkiri sebagai dampak dari kebijakan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi yang memutuskan untuk memotong 20 persen bagi jamaah haji Indonesia maupun negara-negara lainnya sejak 2013. Langkah tersebut disebabkan adanya perluasan pembangunan fasilitas di Masjid al-Haram di Makkah yang dilakukan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi.
Namun, kabar gembira kemudian muncul dari Arab Saudi. Itu setelah Wakil Perdana Menteri dan Menteri Dalam Negeri Arab Saudi, yang juga Ketua Komite Haji, Putra Mahkota Muhammad Bin Naif, sepakat untuk mengembalikan kuota haji yang ada, sebelum pemotongan, pascaselesainya perluasan fasilitas di Masjid al-Haram. Dia pun berterima kasih kepada Raja Salman yang kembali menaikkan kuota baik bagi calon jamaah dari dalam maupun luar negeri.
Sebenarnya, kabar seputar pemulihan kuota haji telah mengemuka sejak beberapa waktu lalu. Pemerintah Kerajaan Arab Saudi telah menyetujui peningkatan jumlah jamaah haji hingga menjadi sekitar 2,6 juta jiwa.
"Kabinet, sesuai arahan Penjaga Dua Masjid Suci, menyetujui peningkatan jumlah jamaah yang tinggal di Arab Saudi dan di luar negeri, sesuai dengan peraturan," kata Menteri Kebudayaan dan Informasi Arab Saudi Adel al-Turaifi, seperti dilansir Gulf News.
Persetujuan ini mengingat, perluasan Masjid al-Haram sudah selesai sehingga mampu menerima lebih banyak jamaah haji. Kenaikan ini merupakan yang pertama sejak keputusan pengurangan kuota haji setiap negara sebesar 20 persen sejak 2013.
Langkah itu diambil sebagai antisipasi agar Masjid al-Haram tidak penuh sesak oleh jamaah. Masjid al-Haram saat ini sudah bisa menampung sekitar 48 ribu jamaah haji per jam. Saat pekerjaan konstruksi tengah dilakukan, kapasitas Masjid al-Haram memang menurun drastis, yaitu lebih dari setengahnya atau cuma mampu menampung 20 ribu jamaah haji per jam.
Setiap negara di dunia, memiliki kuota haji setidaknya 1.000 jamaah per 1 juta penduduk. Kontingen terbesar berasal dari Indonesia, yaitu 221 ribu jamaah. Meski begitu, Kerajaan Arab Saudi tetap melarang siapa pun melaksanakan ibadah haji lebih dari satu kali dalam kurun waktu lima tahun.
Alhamdulillah, Pemerintah Kerajaan Arab Saudi menepati janjinya mengembalikan kuota jamaah haji seperti semula pada musim haji tahun ini. Khusus untuk Indonesia, kuota pun dipulihkan dari 168.800 orang menjadi 211 ribu orang. Tidak hanya itu, Pemerintah Arab Saudi juga menambah kuota jamaah haji Indonesia sebanyak 10 ribu orang. Dengan demikian, kuota haji untuk Indonesia pada 2017 dari 168.800 menjadi 221 ribu.
"Indonesia memperoleh kenaikan sebesar 52.200," ujar Presiden Joko Widodo, Rabu (11/1). Menurut Presiden, keputusan pemulihan serta penambahan kuota haji merupakan tindak lanjut dari kunjungannya ke Arab Saudi pada September 2015. Setelah itu, pertemuan dengan perwakilan Kerajaan Arab Saudi di Guangzhou, Cina, pada September 2016.
Dari proses tindak lanjut pertemuan tersebut, Pemerintah Arab Saudi, dalam hal ini, Menteri Haji dan Umrah Pemerintah Kerajaan Arab Saudi, telah memutuskan untuk mengembalikan kuota normal haji bagi Indonesia. Karena itu, seiring dengan keputusan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi, Presiden Jokowi menyampaikan persiapan haji 2017, bakal dilakukan lebih awal.
Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh (PHU) Kementerian Agama Abdul Djamil menjelaskan, penambahan tersebut merupakan pengembalian kuota yang sebelumnya dipotong 20 persen kepada Indonesia. Tak hanya itu, Indonesia mendapat kesempatan pertama untuk menandatangani kesepahaman dengan menteri haji yang isinya antara lain kuota itu dikembalikan ke kuota asalnya, jadi 211 ribu dan itu ditambah 10 ribu. "10 ribu itu hasil pembicaraan Pak Presiden bersama pihak terkait dengan pihak Arab Saudi, sehingga total kuota kita 221 ribu," kata Djamil.
Dengan penambahan itu, saat ini, pihaknya juga terus melakukan sejumlah persiapan-persiapan. Persiapan mencakup untuk seluruh jumlah 221 ribu jamaah haji, baik persiapan dalam negeri maupun luar negeri. Untuk persiapan dalam negeri yakni berkaitan dengan embarkasi, Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH). Sementara luar negeri mencakup akomodasi, transportasi, dan catering di Arab Saudi.
"Ya harus siap, kalau enggak, sia-sia itu kuota," kata Djamil. Selain itu, penambahan kuota juga, beriringan dengan penambahan petugas penyelenggaraan haji. Dengan penambahan kouta membuat jumlah kloter haji juga bertambah menjadi sekitar 500 kloter di 13 embarkasi di seluruh Indonesia. Jumlah ini meningkat dari sebelumnya yang hanya 385 kloter.
Masih dalam rangka persiapan, ke depan, Kemenag juga fokus pada tiga hal. Pertama, pembahasan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dengan DPR RI. Setiap tahun, BPIH dibahas bersama dengan Komisi VIII DPR. Hasil pembahasan antara kedua belah pihak ini kemudian dibawa ke Presiden untuk diterbitkan Keputusan Presiden tentang BPIH.
Fokus kedua terkait persiapan kegiatan dalam negeri yang meliputi: pelunasan, konsolidasi dengan pihak terkait, persiapan embarkasi, manasik haji, dan lainnya. Dan fokus ketiga adalah kordinasi dengan instansi di Arab Saudi menyangkut akomodasi, transportasi, layanan armina, dan layanan lainnya.
Kemenag memang terus berkomitmen untuk meningkatkan kualitas layanan bagi jemaah haji. Kemenag berharap indeks kepuasan jamaah haji Indonesia (IKJHI) yang pada 2016 naik 1,16 poin, akan semakin membaik pada 2017. Ada sembilan kategori layanan yang disurvei BPS kepada jamaah haji dan semuanya masuk dalam kategori memuaskan. Untuk layanan petugas kloter naik 0,91 point dibanding hasil survei 2015 menjadi 86,4. Demikian juga dengan layanan petugas nonkloter, naik 0,26 poin mejadni 84,27.