REPUBLIKA.CO.ID, Sampai dengan Senin (23/10) malam, belum ada penjelasan resmi soal mengapa Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo ditolak masuk ke Amerika Serikat. Padahal, Panglima telah mengantongi visa resmi dan menerima undangan resmi dari militer AS.
Penolakan ini adalah persoalan yang serius bagi kita. Menolak seorang panglima tentara sebuah negara, yang diakui sebagai mitra strategis di kawasan, tidak bisa dianggap hal remeh dan selesai dengan permintaan maaf. Kita patut bertanya, siapa yang sedang bermain-main dengan Pemerintah Indonesia dan Panglima TNI?
Ada beberapa fakta dalam kasus ini yang bisa kita cermati. Pertama, Jenderal Gatot Nurmantyo bukanlah sosok terlarang bagi Pemerintah AS. Gatot diketahui sudah pernah masuk AS sebelumnya, yakni pada Februari 2016.
Kedua, Gatot beserta rombongan, yakni istrinya dan empat orang TNI lainnya sudah mendapat visa dari Kedutaan Besar AS di Jakarta. Gatot dan rombongan dilarang masuk saat sudah di ruang tunggu keberangkatan Bandara Soekarno Hatta.
Adalah pihak maskapai Emirates yang mengumumkan Gatot dilarang masuk ke AS karena ada larangan dari US Customs and Border Protection. Alasannya? Tidak disebutkan.
Ketiga, menurut keterangan TNI, Jenderal Gatot bersahabat dengan Kepala Staf Gabungan AS Jenderal Joseph F Durford Jr. Undangan kepada Gatot untuk menghadiri Chiefs of Defense Conference on Countering Violent Extremism di Washington DC pada 23-24 Oktober adalah undangan resmi langsung dari Durford.
Keempat, Kedubes AS terlihat tergopoh-gopoh menangani kasus ini. Dubes AS untuk Indonesia Joseph R Donovan sedang tidak ada di kantornya saat kasus terjadi. Wakil Dubes AS, Erin McKee, memang bertemu dengan Menlu AS Retno LP Marsudi dan meminta maaf. Namun, McKee tidak menjelaskan apa penyebab penolakan itu.
Penjelasan McKee, seperti dikutip pers asing, justru memicu keanehan yang lain. McKee mengatakan, "There are absolutely no issues with his ability to travel to the United States. We welcome him. The embassy is working very hard to understand what happened."
Bahkan, Kedubes AS saja perlu menyatakan mereka tengah berupaya keras memahami apa yang sedang terjadi dalam kasus penolakan terhadap Gatot.
Kelima, modus penolakan Jenderal TNI bukan barang baru bagi hubungan AS-Indonesia. Beberapa jenderal masuk dalam daftar hitam Pemerintah AS, umumnya karena dituding terlibat pelanggaran HAM. Namun, penolakan itu akan langsung berupa tidak mendapat visa. Bukan saat sudah memegang visa lantas ditolak masuk pesawat. Pengamat asing berpendapat, ada kekacauan administrasi antara US Customs and Border Protections dan Kedubes AS di Jakarta.
Keenam, pers Australia dan AS mengulas sepak terjang Jenderal Gatot beberapa waktu terakhir, dalam pemberitaan penolakan ini. Dalam bahasa ABC Australia misalnya, Gatot disebutkan sangat curiga pada AS dan Australia. The New York Times, mengutip Reuters, menilai Gatot terus membawa isu perang proxy negara asing terhadap Indonesia. Gatot juga dianggap sebagai salah satu kandidat calon wakil presiden, bahkan calon presiden dalam pemilihan presiden 2019.
Kita sepakat dengan mantan duta besar Indonesia untuk AS, Dino Patti Djalal, yang menyarankan pemerintah bersikap tegas. Menlu Retno Marsudi, menurut Dino, tidak cukup hanya meminta klarifikasi. Pemerintah, Dino mengusulkan, harus melayangkan protes terhadap kasus diplomatik ini.
Indonesia dan AS memiliki hubungan yang penting, terutama untuk kestabilan kawasan Asia Tenggara dan Pasifik. Hubungan ini harus tercermin dalam sikap saling menghormati antarpemerintah dan kebijakannya masing-masing.
Kasus penolakan Panglima TNI ini akan menjadi coretan merah tebal bagi hubungan diplomatik Indonesia-AS. Karena itu, kita tetap menuntut pemerintahan Donald Trump untuk berterus terang dan jujur: "Siapa di balik kasus ini dan ada masalah apa Amerika Serikat dengan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo?". Dan sebaliknya, Panglima TNI juga bisa mengambil langkah-langkah lanjutan yang lebih tegas terhadap AS. n
(Editorial Koran Republika, Selasa, 24 Oktober 2017).