REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komnas HAM Maneger Nasution menilai, penolakan Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo memasuki wilayah Amerika Serikat (AS) secara mendadak telah menuai kemarahan publik Indonesia. Menurutnya, Pemerintah Indonesia sejatinya memprotes keras atas perlakuan yang mencederai kehormatan, tidak hanya pribadi Panglima TNI dan institusi TNI, tetapi juga NKRI.
Dia mendesak AS memberikan penjelasan lebih perinci atas alasan terjadinya insiden ini. Sikap Pemerintah AS, menurut dia, sangat tidak memadai hanya menyampaikan permohonan maaf melalui Duta Besar AS untuk Indonesia Joseph Donovan.
"Namun, harus ada penjelasan lebih rinci dan berkejujuran dari Pemerintah AS mengapa peristiwa tidak manusiawi seperti ini bisa terjadi," kata Maneger di Jakarta, Selasa (24/10).
Menurut Maneger, Pemerintah AS harus memastikan bahwa hal-hal tidak manusiawi semacam itu tidak terulang lagi pada masa yang akan datang. Dia mengatakan, kalau ada kesalahan di internal AS, yaitu US Customs and Border Protection, jenis kesalahan yang terjadi harus dijelaskan secara terbuka ke publik Indonesia.
Baca Juga: Infografis: Aksi dan Kontroversi Panglima TNI
Maneger melanjutkan, Pemerintah Indonesia sejatinya perlu bersikap tegas. Patut dipertimbangkan Presiden Joko Widodo memanggil Duta Besar AS untuk Indonesia guna menjelaskan peristiwa memalukan ini.
Jika Pemerintah Indonesia hanya mengirimkan nota diplomatik memprotes peristiwa sepenting ini, kata dia, Pemerintah Indonesia patut diduga tidak menunaikan mandatnya menjaga kehormatan bangsa. Publik berhak tahu atas informasi benar tentang peristiwa ini.
Selain itu, lanjut Maneger, publik patut mengapresiasi sikap kenegarawanan Panglima TNI dalam merespons kejadian tidak manusiawi dari Pemerintah AS. Indonesia memang sudah sejatinya harus marah, tetapi kemarahan itu harus disalurkan secara strategis dan terukur.
Anggota DPD RI AM Iqbal Parewangi menyebutkan, penolakan AS terhadap Panglima TNI hingga saat ini belum cukup jelas. Menurut dia, masih ada hal yang lebih penting perlu disingkap, yaitu latar belakang pelarangan tersebut.
"Pencabutan larangan memasuki wilayah AS, berikut permohonan maaf Pemerintah AS dan pengakuannya bahwa pelarangan tersebut menyebabkan ketidaknyamanan hubungan Indonesia-AS, sesungguhnya itu saja tidak cukup," ungkap Iqbal, Selasa (24/10).
Menurut dia, ada hal yang lebih penting yang seharusnya diperjelas, yaitu apa latar belakang serta maksud dan tujuan munculnya pelarangan tersebut. Iqbal merasa patut disadari, pelarangan itu bukan cuma insiden buruk, tapi juga preseden buruk.
Iqbal pun merasa sulit dihindari beberapa runutan logis dari pelarangan tersebut. Kejadian itu menunjukkan adanya pelecehan dan menohok simbol kekuatan pertahanan negara sehingga dapat menyayat kewibawaan internasional Pemerintah Indonesia.
Bagaimana pun, jelas dia, TNI merupakan kekuatan utama pertahanan bangsa dan negara Indonesia. Di sana ada martabat Indonesia di mata internasional dan juga di mata negara ini sendiri sebagai bangsa berdaulat. Seorang panglima TNI, menurutnya, merupakan simbol dari kekuatan tersebut.
Karena itu, pelarangan tersebut ia anggap bermakna pelecehan terhadap kekuatan. Juga, merupakan pelecehan martabat bangsa dan negara Indonesia. "Apalagi tanpa ada penjelasan tuntas dan resmi dari Pemerintah Indonesia," kata Iqbal
Para analis mempunyai pandangan berbeda terkait laporan terbaru DHS yang menyebutkan Panglima TNI memilih untuk tidak berangkat. Peneliti di Lowy Institute Research Aaron Connely menilai, insiden ini semakin menunjukkan bahwa Panglima TNI telah memicu krisis yang seharusnya dapat dihindari. Hal ini jelas menjadi sentimen positif bagi Panglima TNI yang hendak pensiun Maret 2018 dan dikabarkan hendak bertarung dalam Pemilihan Presiden 2019.
"Jika Jokowi (Presiden RI Joko Widodo) tidak mendukung Gatot, dia akan tampak kurang nasionalis. Jika dia mendukung Gatot, maka pendirian politik semakin meningkat," kata Connelly dalam jejaring sosial Twitter.
Peneliti di Perth USAsia Centre Natalie Sambhi mengatakan, insiden ini akan berdampak positif bagi figur Gatot Nurmantyo. Sebab, Gatot akan menunjukkan bahwa dia menjadi korban konspirasi oleh pihak-pihak yang anti-Indonesia.
"Sementara, Gatot tidak diharapkan menjadi kandidat kuat dalam Pilpres 2019. Memosisikan diri di mata masyarakat Indonesia sebagai korban kebijakan AS dan mengipasi sentimen antiasing akan terus berlanjut untuk memperkuat kepercayaan publik. Selanjutnya, akan memperkuat kesempatannya sebagai kandidat wakil presiden," kata Sambhi di laman the Sydney Morning Herald, Selasa (24/10).
(Ronggo Astungkoro, Editor: Muhammad Iqbal).