REPUBLIKA.CO.ID, oleh Esthi Maharani*
Momentum Idul Fitri selalu dihiasi dengan ajang silaturahmi dengan sanak saudara dan tetangga. Keluarga berkumpul untuk bersenda gurau, bertukar pikiran, menanyakan kabar dan merancang rencana ke depan. Tetapi, ada satu ancaman yang mewabah beberapa tahun belakangan.
Nuansa keakraban tersebut bisa terganggu ketika setiap orang sibuk dengan gadget (gawai) masing-masing. Kumpul keluarga menjadi terabaikan karena merasa lebih penting untuk menyapa orang di ujung dunia, update status, hingga update story.
Inilah yang disebut dengan phubbing. phubbing adalah sebuah kata gabungan dari kata phone dan snubbing. Phubbingadalah sebuah tindakan menyakiti orang lain dalam interaksi social karena lebih terfokus pada ponselnya.
Phubbing dapat digambarkan sebagai individu yang melihat ponselnya saat berbicara dengan orang lain, sibuk dengan ponselnya dan mengabaikan komunikasi interpersonal. Seseorang dengan perilaku phubbing terindikasi menyakiti orang lain dengan pura-pura memperhatikan saat diajak berkomunikasi, tetapi pandangannya sebentar-sebentar tertuju pada ponsel yang ada di tangannya.
Kata ini lahir ketika pada Mei 2012 para ahli bahasa, sosiolog, dan budayawan bersama sebuah organisasi yang bernama Macquaire Dictionary berkumpul di Sidney University untuk merumuskan fenomena baru yang berkaitan dengan perkembangan teknologi dan perilaku manusia.
Mereka menangkap adanya fenomena yang sangat umum sehingga dunia perlu sebuah kata khusus untuk bisa merangkum dan menyebutnya. Maka, pertemuan tersebut menghasilkan kata baru dalam tata bahasa Inggris yakni phubbing Kini, phubbingsecara resmi sudah dimasukkan dalam kamus bahasa Inggris di berbagai Negara. Di Indonesia, Badan Bahasa menterjemahkan phubbing sebagai mabuk gawai.
Phubbing memang sebuah candu yang bisa diidentifikasi dari beberapa gejala. Ivan Goldberg (dalam Nurmandia, 2013) menyebut gejala itu meliputi sering lupa waktu; mengabaikan hal-hal mendasar saat mengakses internet terlalu lama; gejala menarik diri seperti merasa marah, tegang, atau depresi ketika internet tidak bisa diakses, bahkan kesal ketika ponsel tidak ada sinyal atau tak sengaja ponsel tertinggal; munculnya sebuah kebutuhan konstan untuk meningkatkan waktu yang dihabiskan untuk berselancar; kebutuhan gawai yang lebih baik dan menambah jumlah aplikasi; dan sering berkomentar, berbohong, rendahnya prestasi, menutup diri secara sosial, dan kelelahan.
Robert Kaunt (dalam Sparks, 2013:261) menyatakan bahwa indvidu yang mengunakan ponselnya secara berlebihan akan mengalami short attention span atau gangguan pemusatan perhatian. Pada level ini mereka tidak bisa memahami informasi yang disampakan secara utuh karena teknologi seperti ponsel menyebabkan distraction atau gangguan. Efek jangka panjang dari penggunaan ponsel secara berlebihan adalah mereka akan mengalami gangguan kesehatan.
Lebih lanjut lagi, Kaunt menjelaskan bahwa semakin sering anggota keluarga menggunakan internet, maka semakin besar pula terisolasinya diri mereka. Selain terisolasi dari lingkungan, disebutkan pula sejumlah efek negatif yang ditimbulkan seperti menyajikan privasi secara berlebihan disosial media, adanya gangguan kesehatan seperti tidak bisa lepas dari ponsel atau yang dikenal dengan nomophobia (no mobile phone phobia), dan lain sebagainya (Sparks, 2013: 275-276).
Diungkapkan phubbing bisa terjadi karena pelaku atau yang disebut phubber menggunakan ponsel sebagai pelarian untuk menghindari ketidaknyamanan di keramaian atau biasa disebut awkward silent. Tak jarang, ada perasaan kikuk ketika bepergian sendirian, berada di dalam lift atau angkutan umum, bahkan ketika makan malam. Yang semakin mengkhawatirkan, phubbing bukan lagi fenomena yang terjadi karena adanya awkward silent saja tetapi sudah terjadi hampir di setiap moment yang bahkan sama sekali tidak awkward.
Di momen hari raya, phubbingni menjadi ancaman nyata. Beberapa tahun lalu, saya ditegur ibu ketika sibuk memfoto keramaian saat hendak Shalat Ied. Ibu saya bahkan tak sungkan menegur orang asing disebelahnya yang dianggap cukup mengganggu kekhusukan mendengar khotbah imam.
Sejak saat itu, saya sendiri enggan untuk membawa ponsel ketika shalat ied atau bercengkrama dengan keluarga dan teman-teman. Saya merasa phubbing memang tak sopan dan saya tidak ingin berlaku tak sopan pada orang lain. Apalagi di moment istimewa seperti Idul Fitri yang cuma datang setahun sekali.
Memang, mengabaikan ponsel untuk beberapa waktu akan membuat ponsel saya kebanjiran notifikasi karena banyaknya interaksi pribadi ataupun grup sana-sini. Tapi, saya sudah membulatkan hati untuk tidak terlalu terpaku dengan ponsel ketika momen-momen berharga dan langka ada di depan mata.
Mereka yang sibuk dengan ponselnya berjibaku dengan hal yang maya, tidak nyata, bahkan terkadang tak bermanfaat. Sedangkan di hadapan ada yang lebih penting untuk dilakukan: bercengkrama dengan sanak keluarga dan mendekatkan diri dengan Tuhan di momen hari raya.