REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdullah Sammy*
Mendadak kini banyak pejabat peduli akan cabang atletik. Refleks kepedulian itu timbul ketika seorang Lalu Muhammad Zohri mencetak prestasi fenomenal dengan menjuarai lari 100 meter dalam kejuaraan dunia atletik U-20 di Finlandia, pekan lalu.
Pejabat, gubernur daerah asalnya, hingga pembesar di negeri ini pun berlomba-lomba tampil ke media untuk unjuk kepeduliannya pada pemuda asal NTB ini. Kepedulian yang memang patut disyukuri, tapi juga wajib dikritisi. Sebelum berbicara lebih spesifik tentang Zohri, saya ingin membahas secara umum seputar cabang atletik di Indonesia.
Rasanya, orang yang berkecimpung di dunia olahraga tahu bahwa berbicara dunia atletik nasional, kita wajib berbicara pula tentang pengusaha bernama Muhammad Bob Hasan. Ya, pengusaha yang bekecimpung di bidang kayu itu merupakan Ketua Umum Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI) sepanjang masa. Kok bisa? Sebab Bob bukan baru setahun, lima tahun atau 10 tahun membina atletik, melainkan telah empat dasawarsa!
Pada tahun 2016, saya sempat ngobrol panjang lebar dengan Bob Hasan tentang manis dan pahitnya membina atletik. Bob barangkali menjadi anomali tersendiri di tengah banyaknya pejabat dan pengusaha yang hanya menjadikan olahraga sebagai batu loncatan kepentingan pribadinya.
Jika banyak pejabat yang mendadak peduli olahraga jelang pemilu, atau pengusaha yang menjadi pengurus olahraga demi publikasi, maka Bob berbeda. Sepanjang 40-an tahun menjadi ketua umum PASI, Bob selalu konsisten menjalankan tugasnya membina olahraga meski sepi akan publikasi.
Bob Hasan
Mantan menteri kehutanan era Orde Baru ini bekerja di tengah sepi. Dia tetap konsisten membina atletik di tengah ketidakpedulian publik, pejabat, atau media. Media lebih getol memberitakan olahraga lain yang lebih banyak dibaca. Atau pejabat lebih sering nimbrung di bulu tangkis karena cabang itu menjadi alat pencitraan mujarab lewat prestasi mendunia.
Publik pun tampak lebih memilih peduli pada sepak bola yang sudah berpuluh tahun gagal juara di level Asia Tenggara, apalagi dunia. Dengan segala kenyataan itu, Bob sempat menkritisi saya selaku awak media.
"Elu sih nulis terus tentang bola. Kalau atletik boro-boro. Ada (berita atletik) juga beritanya kecil," kata Bob kepada saya dalam perbincangan 2016 silam.
Harus diakui, kritik Bob itu benar adanya. Bob lantas menjelaskan, bahwa di tengah ketidakpedulian publik, dia tetap bekerja dalam membangkitkan prestasi atletik yang nyaris tak pernah bersuara di level dunia. Dari 260 juta rakyat Indonesia, hanya seorang Bob Hasan yang selama berpuluh tahun mengeluarkan dana dari kocek pribadinya demi membina atletik.
Setiap tahun, Bob minimal keluar uang Rp 10 miliar. Tidak hanya keluar uang, Bob juga membangun sistem untuk membina atlet muda. Dia rutin mengadakan pencarian bakat ke berbagai pelosok dan Pusat Pendidikan Latihan dan Pelajar (PPLP) seluruh nusantara.
Jika ditemukan bakat potensial, PASI akan memboyong atlet tersebut untuk dibina di pelantas di Jakarta. Di Jakarta, atlet muda potensial akan dilatih oleh pelatih kelas dunia asal Amerika Serikat, Hary Mara. Gaji tinggi Mara semua ditanggung sendiri dari kocek pribadi Bob Hasan.
Mara tak hanya melatih soal teknis, tapi juga menggemleng karakter atlet atletik nasional untuk memiliki mental dan sikap layaknya atlet dunia. Bagi Bob karakter dan kedisiplinan sangat penting. Sebab juara tak hanya lahir dari skill di lintasan tapi juga sikap di luar lapangan.
Karena itu PASI bersama Hary Mara menerapkan sejumlah aturan ketat. Mulai dari makanan, jam tidur, hingga waktu berlatih. Hebatnya, Bob memantau seluruh atlet muda dan senior yang dia bina. Saya menyaksikan sendiri bagaimana Bob yang sudah berusia 80 tahun hafal satu per satu nama atlet muda.
Dalam sebuah acara ramah tamah dengan seluruh atlet binaan PASI pada 2016 silam, beberapa atlet pun melapor kepada Bob mengenai catatan waktu atau standar terbaik mereka yang dicetak selama latihan. Relasi mereka seperti anak dan orang tua.
"Kalau lu udah di bawah 11 (detik) baru dateng ke gua," kata Bob kepada salah satu atletik junior yang melapor langsung kepadanya soal catatan waktu terbaiknya. Hal yang sama berlaku pada Zohri.
Zohri adalah talenta yang dibina langsung oleh Bob Hasan. Zohri ditemukan tim pencari bakat PASI di PPLP pada November 2017. Kemudian dia diuji oleh PASI di kejuaraan nasional tahun ini.
Ujian itu mampu dituntaskan Zohri yang tampil sebagai pelari tercepat. Dari situ, PASI terus membina Zohri yang dalam prosesnya dibina itu, harus ditinggal ayah dan ibunya. Hidup sebatang kara, Zohri tak punya bekal finansial yang cukup untuk bisa sekadar membeli sepatu.
Rumah Zohri di Dusun Karang Pangsor, Desa Pemenang Barat, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Tapi segala kebutuhan itu mampu disediakan Bob. Bahkan lewat kocek pribadinya, Bob memberangkatkan Zohri untuk tampil di Finlandia hingga akhirnya menjadi juara dunia. Setelah Zohri berprestasi di level dunia, barulah mendadak muncul para pejabat yang angkat suara di media. Semua datang dengan uluran tangan dan apresiasi pada Zohri.
Ya, semua itu tetap harus disyukuri. Tapi pertanyaannya, di manakah mereka saat Zohri butuh biaya untuk berangkat ke Finladia? Mengapa mereka baru muncul se-siang ini?
Bukankah prestasi di olahraga hanya sebuah proses akhir dari sebuah pembinaan panjang. Ibrat proses penanaman, tanah diberi bibit tanaman, pupuk, hingga disiram terus menerus hingga akhirnya tumbuh dan berbuah. Jadi tak heran jika prestasi olahraga Indonesia terus menurun. Sebab mayoritas pejabatnya baru peduli jika atlet berprestasi.
Logikanya bagaimana mau berprestasi jika pembinaannya diabaikan begitu saja. Bagaimana mau berbuah jika bibitnya saja tak disiram dan dipupuk? Mengapa pejabat tak juga memberi dana hibah dan ragam kepedulian lain pada atlet junior yang kini sedang berlatih keras untuk menjadi Zohri-Zohri selanjutnya?
Zohri kini sedang di puncak. Dipuja, diundang pejabat, maupun diberi ragam hadiah. Tapi bagaimana kelak jika dia kalah atau menua? Apakah dia akan mendapat perhatian yang sama? Zohri patut cemas jika merujuk pada nasib atlet Indonesia pada umumnya. Diacuhkan saat masih belia, dipuja saat juara, dan ditelantarkan saat sudah tua.
Di saat jaya, atlet seperti Zohri mungkin tak akan kekurangan apapun. Tapi saat masa itu telah lewat, dia akan kembali jadi piatu.
Beruntung, cabang atletik punya Bob Hasan yang tak lelah berkorban perhatian, uang, dan tenaga meski cabang atletik butuh proses panjang dalam melahirkan prestasi level dunia.
Sejak Bob membina atletik pada 1976, baru 2018 ini dia bisa melahirkan juara dunia. Uniknya, Bob Hasan selalu marah jika tiba-tiba mendapat pertanyaan wartawan soal target prestasi di sebuah event.
"Jangan ngomoong soal berapa emas Asian Games, tanya dulu soal pembinaan atletnya. Prestasi ototamis ada kalau pembinaan dan sistemnya jelas!" ujar Bob saat ditanya soal target di Asian Games 2018.
Soal Zohri yang kini mengundang sanjung puji, komentar Bob pun cukup bijak. Dia meminta agar sang atlet muda tak terlalu disorot berlebihan. Sebab sorotan dan sanjung puji yang tak proporsional bagi atlet muda malah bisa merusak.
Bob sadar prestasi Zohri baru awal. Dan catatan waktunya pun perlu terus ditingkatkan. Karena itu Zohri tak butuh atensi sesaat kala menang, namun perhatian jika kelak dia sedang kalah.
Apapun itu, segala proses pembinaan di cabang atletik memang tetap mesti mendapat apresiasi tinggi. Saya pribadi mesti angkat topi akan perjuangan dan dedikasi seorang Bob Hasan. Sebab faktanya prestasi Zohri ini adalah hasil perjuangan panjang Bob Hasan, bukan para pahlawan kesiangan!
*Penulis adalah jurnalis Republika