Rabu 19 Sep 2018 00:03 WIB

Perdamaian Palestina-Israel Sebatas Mimpi?

Perjanjian Oslo yang bangun 25 tahun silam hanya menjadi catatan sejarah.

Teguh Firmansyah.
Foto: Teguh Firmansyah
Teguh Firmansyah.

REPUBLIKA.CO.ID, Amerika Serikat di bawah Donald Presiden Donald Trump terus menerus menyudutkan Palestina. Setelah memangkas bantuan untuk pengungsi Palestina, kini pemerintahan Trump menutup kantor misi diplomatik Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).

Tak hanya itu, AS juga mencabut visa kepala delegasi PLO dan keluarganya. Ini berarti, diplomat itu harus segera hengkang dari negara Paman Sam.

Sanksi ini merupakan bagian dari kebijakan Stick and Carrot yang kerap digunakan oleh AS. Washington tak segan-segan untuk menjatuhkan hukuman ke negara yang dinilai tak patuh atau membandel dari kebijakan luar negeri mereka.

Sebaliknya insentif akan diberikan kepada negara yang dinilai mau bekerja sama dengan program-program Paman Sam. Namun harus diakui, kebijakan AS yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada akhir 2017 lalu telah mengubah peta jalan damai.

Selama ini, Palestina yang didukung oleh mayoritas negara di dunia menginginkan agar Yerusalem Timur menjadi ibu kota di masa depan.  Sikap itu merupakan harga mati yang harus dipenuhi sebagai bagian dari perdamaian.

Karena itu, pasca-AS mengumumkan Yerusalem milik Israel, Palestina marah besar. Palestina tak mau lagi bernegosiasi dengan dengan Israel yang dimediasi oleh Washington. Hal itu membuat perundingan damai Palestina-Israel yang rumit semakin suram.

Situasi saat ini juga semakin jauh dari capaian yang pernah disepakati pada 25 tahun silam. Kesepakatan Oslo yang digadang-gadang bakal menjadi pondasi awal perdamaian hanya menjadi catatan sejarah.

Setidaknya ada empat persoalan yang menjadi batu sandungan dalam perdamaian Palestina-Israel. Pertama yakni sikap Israel yang terus menganeksasi dan mencuri tanah-tanah milik Palestina.

Otoritas Yahudi membangunan permukiman ilegal seenaknya tanpa memperdulikan hukum. Pada kuartal kedua 2018 Israel bahkan membangun 794 unit rumah ilegal.  Dengan aneksasi ini, maka secara perlahan-lahan tanah Palestina akan dikuasai Israel. Palestina hanya akan menjadi bangsa yang terusir.  Sementara dunia hanya sekedar mengecam.

Kedua masalah Yerusalem. Bagi bangsa Palestina, umat Islam dan banyak negara di dunia menilai Israel merupakan negara penjajah. Mereka ingin sekali menguasai wilayah Palestina. Salah satu incaran otoritas Zionis adalah Yerusalem.

Di sini terdapat kiblat pertama umat Islam yakni Masjid Al-Aqsa. Ada juga Tembok Ratapan yang disucikan kaum Nasrani. Sementara bagi orang Yahudi, kompleks Al-Aqsa merupakan bagian dari Kuil Sulaiman. Mereka yakin Kuil itu di bawah masjid suci umat Islam.

Akhir tahun lalu, AS telah mengakui Yerusalem sebagai bagian dari Israel. Washington pun memindahkan Kedubes Israel dari Tel Aviv. Sontak hal itu memicu kecaman internasional.  Sidang PBB pun digelar. Dan mayoritas menolak sikap Paman Sam.

Ketiga adalah masalah persatuan Palestina. Hingga kini perseteruan antara Hamas dan Fatah belum juga sepenuhnya terselesaikan. Berulangkali kesepakatan diperoleh, namun tak jarang dilanggar karena minimnya saling kepercayaan di antara kedua belah pihak.

Saat ini Fatah menguasai daerah Tepi Barat. Sementara Jalur Gaza dikuasai oleh Hamas. Pengolakan di antara keduanya sudah terjadi sejak lebih dari satu dekade pascapemilu 2006. Kemenangan Hamas dalam parlemen berbuntut pertikaian. Israel sendiri telah memblokade Jalur Gaza sejak kemenangan Hamas.

Padahal, persatuan antara Hamas dan Fatah ini sangat penting guna mendorong terciptanya perdamaian. Tanpa kesamaan persepsi, maka kesepakatan demi kesepakatan akan terus dilanggar.

Keempat adalah masalah keamanan. Salah satu poin yang selalu dibawaa Israel dalam perundingan adalah persoalan keamanan. Israel khawatir dengan serangan yang sewaktu-waktu bisa menyasar mereka. Saat ini, ancaman yang paling berbahaya bagi otoritas Zionis adalah dari Jalur Gaza. Beberapa kali, rudal dari Gaza coba ditembakkan ke arah Israel. Meski belum sepenuhnya berhasil karena terhalang oleh Iron Dome. 

Israel juga beberapa kali terlibat pertempuran dengan milisi Hamas dan sekutunya di Gaza. Pertempuran besar terakhir terjadi pada 2014 silam. Ribuan orang tewas dalam peperangan tersebut. Otoritas Zionis juga khawatir dengan rudal Iran yang bisa mencapai wilayah mereka. Karena itu Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu selalu mendorong supaya AS dan dunia tetap menjatuhkan sanksi ke Teheran.

Di luar keempat ini masih banyak lagi persoalan yang harus diatasi. Dari mulai masalah pengungsi hingga perekonomian. Halangan-halangan harus diurai satu persatu jika ingin perdamaian di kawasan tersebut tercapai. Dunia, terutama AS harus benar-benar bisa menjadi mediator tanpa berat sebelah.

Jika tidak, maka solusi dua negara hanya utopia belaka. Lalu apa pilihannya jika tak ada perdamaian. Pilihannya hanya dua. Bangsa Palestina tersingkir dari tanahnya sendiri. Kedua, terjadi pertempuran besar yang membentuk sebuah keseimbangan baru.

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement