REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ani Nursalikah*
Beberapa hari lalu, lini masa akun Instagram saya dipenuhi foto-foto jadul teman dan kerabat. Foto tersebut dilengkapi dengan tanda pagar (tagar) #10yearschallenge, #10yearchallenge, atau tantangan 10 tahun.
Tantangan 10 tahun menantang warganet memajang foto mereka 10 tahun lalu dan disandingkan dengan foto terbaru tahun ini. Seperti biasa, saya tak pernah tertarik mengikuti tantangan-tantangan viral di media sosial.
Tapi, saya akhirnya membuka laptop lama saya dan menelusuri folder mencari foto pada 2009. "Sekali-sekali mau ah ikutan," pikir saya. Setelah memilih, saya akhirnya menjatuhkan pilihan pada foto saat sedang piknik bersama teman-teman dan adik di Ciwidey.
Saat tulisan ini dibuat, tagar #10yearchallenge memiliki 3,3 juta unggahan di Instagram. Seperti kebanyakan tantangan media sosial, sedikit tidak jelas siapa, atau apa, yang memulai gerakan ini.
Beberapa orang mengatakan itu ada hubungannya dengan fitur 'Kenangan' Facebook yang mengingatkan Anda pada foto yang sudah lama terlupakan. Sedangkan yang lain menduga itu karena 2009 adalah tahun di mana media sosial benar-benar lepas landas.
Menurut Mashable, 2009 terbukti merupakan tahun yang paling sulit bagi Facebook. Saat itu, Facebook menambah lebih dari 200 juta pengguna baru dan meningkatkan pendapatan lebih dari 200 juta dolar AS. Sementara Twitter menyelesaikan tahun itu dengan 18 juta pengguna, yang mewakili 3,8 persen pengguna Internet dewasa.
Menurut laporan Times of India, tantangan 10 tahun memiliki risiko bisa menjatuhkan kesehatan mental. Mengapa?
Hal ini bisa memicu risiko Fear of Missing Out atau dikenal dengan FOMO. Tekanan ini bisa sangat buruk, terutama bagi orang-orang muda yang melihat media sosial sebagai sumber validasi.
Di samping itu, dengan merilis foto dulu dan sekarang akan membuat perbandingan yang besar setelah 10 tahun berlalu. Tentu saja manusia akan semakin bertambah umur dan tua. Hal ini dapat mempromosikan perilaku intimidasi dan mencela diri sendiri.
Di sisi lain, seorang praktisi teknologi dari Amerika Serikat, Kate O'Neill berpendapat tantangan 10 tahun yang sedang populer di media sosial bisa saja bertujuan melatih algoritma mesin yang berhubungan dengan teknologi pengenal wajah.
Menurut O'Neill, untuk melatih algoritma mengenai facial recognition atau pengenal wajah, membutuhkan banyak data mengenai karekteristik wajah seiring dengan pertambahan usia.
Cara mengumpulkan sampel penelitian pun dibuat lebih menarik dengan membuatnya sebagai tantangan. Dalam tantangan, orang cenderung mematuhi aturan dengan benar-benar memberikan foto yang berjarak 10 tahun.
Sepuluh tahun lalu, saya masih menyelesaikan studi S1 ekstensi di kampus biru. Facebook baru berusia lima tahun. Saya juga ingat, pada masa itu kami (saya dan teman-teman) dan kebanyakan masyarakat Indonesia sedang getol-getolnya dengan media sosial bikinan Mark Zuckerberg itu.
Hampir apa saja saya unggah. Kebanyakan isinya kebersamaan dengan teman-teman, mulai dari makan di kantin, kuliah di dalam kelas, karaoke, hingga foto di depan mushala kampus. Tapi, saya bukan orang yang punya cukup rasa percaya diri untuk mengunggah berbagai pose swafoto, ya sekali-sekali iya.
Belum lagi, unggahan status galau, kesal, marah, atau emosi lainnya. Tak terhitung sepertinya. Beberapa orang yang saya kenal bahkan mengunggah semua foto mereka ke Facebook. Saat itu, mereka berpikir Facebook sebagai sarana menyimpan foto.
Satu hal yang saya ingat betul dulu media sosial, masih ,,Facebook yang merajai saat itu, ada kepolosan di dalamnya. Saya merasa bebas saja mau mengunggah foto atau status apa pun yang saya mau.
Ya, sekarang juga bebas sih. Tapi, niat yang ada dulu hanya berbagi dan ingin orang melihat itu. Seingat saya, foto-foto 10 tahun lalu begitu tulus, polos, dan apa adanya. Intinya, kami hanya bersenang-senang.
Media sosial sekarang rasanya terlalu palsu. Media sosial juga sudah beragam, tak hanya ada Facebook. Seseorang mungkin menghabiskan waktu lama memilih foto apa yang mau ia unggah dan sibuk memolesnya dengan berbagai filter.
Belum lagi keriuhan dan banyak orang bertengkar di media sosial. Istilah Twitwar tentu menjadi istilah yang akrab di telinga. Isi kolom komentar yang menyakitkan tanpa saringan jadi makanan sehari-hari.
Semuanya sudah berbeda sekarang. Generasi Z tidak bisa dipungkiri memang lebih sadar teknologi. Generasi Z adalah generasi yang muncul setelah generasi milenial. Kira-kira mereka yang lahir pertengahan 1990-an sampai 2000-an.
Mereka tumbuh dan hidup dengan dikeliling teknologi. Citra diri menjadi penting. Kalau hari ini foto di gerai kopi Amerika, besok bisa jadi foto dengan makanan mewah di restoran berkelas.
Gen Z adalah generasi media sosial. Menurut survei Global News, mereka menghabiskan sekitar 10 jam online. Jauh berbeda dengan generasi saya, generasi milenial akhir.
Internet akan terus berubah dan berkembang. Tapi, saya tidak akan pernah lupa rasanya saat bersenang-senang dengan internet saat memandangi foto-foto lama bersama teman-teman dimana kami tertawa lepas.
*) Penulis adalah redaktur republika.co.id