REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Reiny Dwinanda*
Kamis (7/2) malam, ruang bebas asap rokok di restoran martabak Kubang Hayuda, Jakarta Timur, mendadak penuh tawa. Seisi ruangan sontak tergelak begitu melihat tayangan di TV berita yang memperlihatkan seorang pemuda mempreteli body sepeda motornya begitu kena tilang.
Anak saya juga tertawa, namun raut wajahnya berubah sebentar kemudian. ABG berusia 13 tahun itu mengernyit lalu bertanya, "Ngapain ngerusak motor sendiri?"
Saya yang juga baru tahu kejadiannya hanya bisa menyahut dengan mengulang kembali isi berita di TV. Saya jelaskan bahwa pemuda itu berkendara melawan arus, tanpa helm, tidak membawa SIM, serta tak mampu memperlihatkan STNK kepada petugas.
Yup, empat kesalahan sekaligus! Putra saya kemudian menyimpulkan pria yang mengamuk itu kesal pada dirinya sendiri.
Menjelang tidur, saya buka Twitter. Tagar #tilangngehe jadi salah satu trending topics. Netizen Indonesia memang kreatif dan supercepat merespons segala peristiwa, tak terkecuali insiden yang dijuluki "unboxing Scoopy", oleh pria berinisial AS.
Pipi saya sampai pegal menertawakan komentar di Twitterland. Sebagian besar membuat humor cerita pendek adegan pemotor dan polisi lalu lintas. Sebagian lain mengkreasikannya menjadi meme.
Lama-kelamaan, lelucon itu mulai terasa garing. Saya jadi kembali teringat pertanyaan anak semata wayang saya, "Mengapa merusak?”
Malam itu hanya penjelasan dari aspek psikologis yang ada di berita. Keesokan harinya, insiden "cabik motor" baru mulai memperlihatkan titik terang.
AS terancam hukuman enam tahun penjara setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penadahan. Motor milik AS ternyata berasal dari kasus penggelapan.
AS yang berprofesi penjual kopi membeli motornya dari seseorang yang dikenalnya di media sosial. Dia hanya mendapatkan STNK, tanpa BPKB saat motor beralih kepemilikan.
Belum sampai dua bulan ia menungganginya, motor itu disita polisi. AS pun menganggap tak ada lagi gunanya pegang STNK. Dari situlah video pembakaran STNK-nya bermula.
Kasus orang mengamuk saat ditilang sebelumnya pernah diberitakan terjadi di Gorontalo. Pada Desember 2018, sepasang suami-istri merusak motornya saat kena tilang karena tak memakai helm.
Terlepas dari kondisi psikologis mereka, saya liat ada faktor budaya yang salah yang berkembang di masyarakat. Sebagian cerita lucu bertagar #tilangngehe menunjukkan polah pengendara yang jamak ditemukan di jalanan.
Tak memakai helm karena jarak dekat, melawan arus untuk mempersingkat rute, naik trotoar biar lebih lancar, berboncengan bertiga atau lebih supaya hemat, menyalakan lampu sein kiri untuk belok kanan, atau kasus anak di bawah umur menyetir motor sendiri agar praktis. Rasanya masih banyak lagi yang bisa disebutkan.
Semuanya dianggap lumrah dan baru menjadi satir ketika jatuh korban. Na'udzubillahi min dzalik.
Di samping itu, saya menduga ada faktor ketidaksiapan masyarakat untuk berkendara. Kemampuan membeli kendaraan bermotor--terlepas itu tunai atau dicicil--sepertinya tidak dibarengi dengan kesanggupan menghadapi konsekuensinya.
Ketika berada di balik setir, seseorang harus sudah punya pengetahuan teori mengemudi. Dia juga wajib tahu peraturan lalu lintas.
Ingat, ingatlah AS dan pasangan di Gorontalo itu jika Anda tergoda menyetir selagi belum mahir dan masih mengabaikan peraturan lalu lintas. Ditilang dan menjadi viral karena kelalaian sungguh bukan hal yang keren, apalagi kalau sampai membahayakan nyawa.
Sesungguhnya bukan tilangnya yang ngehe, tetapi perilaku berkendara yang tak amanlah yang demikian. Ayo, jangan permisif untuk urusan keselamatan berkendara!
*penulis adalah wartawan Republika.co.id