Oleh: Esthi Maharani, wartawan Republika.co.id
Saya masih ingat beberapa tahun lalu ketika ide untuk merealisasikan Mass Rapid Transit (MRT) mulai bergulir. Waktu itu, Gubernur DKI Jakarta masih dipimpin Fauzi Bowo. Foke, sapaannya, tak henti-hentinya menjual mimpi dan terus berpromosi tentang transportasi massal ini. Ia benar-benar yakin bahwa Jakarta bisa memiliki transportasi yang layak dan memadai.
Saya masih ingat ketika itu kisaran tahun 2011-2012 dan masih meliput isu-isu seputar Jakarta. Kepada Foke, isu yang sering mencuat adalah solusi untuk mengatasi macet Jakarta. Entah berapa kali pertanyaan soal macet disodorkan ke Foke dan entah berapa kali juga saya dijelaskan tentang upaya merealisasikan MRT. Tak jarang saya juga kena semprot karena menanyakan hal yang sama berulang kali. Hingga akhirnya pencanangan atau peletakan batu pertama proyek besar itu benar-benar dilakukan.
Yang membekas dalam ingatan saya adalah proses untuk sampai pada titik itu tidaklah mudah dan membutuhkan waktu yang sangat lama. Foke secara gamblang mengatakan itu berulang-ulang seperti masalah pembebasan tanah, rute MRT, perizinan dan koordinasi dengan pemerintah pusat, hingga pinjaman yang nilainya tak bisa dibilang kecil.
MRT pun pelan-pelan mulai dibangun. Ada banyak drama dalam proses ini. Mulai dari target yang ditetapkan meleset hingga perubahan-perubahan substansial dilakukan. Bahkan sekarang MRT pun memiliki singkatan yang berbeda, bukan lagi Mass Rapid Transit tapi Moda Raya Terpadu demi upaya mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik.
Selama proses ini, warga Jakarta harus lebih bersabar karena macet belum bisa terurai bahkan menjadi lebih parah daripada sebelumnya karena pembangunan MRT dan pembangunan infrastruktur lain yang dilakukan bersamaan. Dampak nyatanya adalah Jakarta telah menjadi salah satu kota paling macet di dunia.
Berdasarkan riset Inrix Global Traffic Scorecard 2017 Traffic, Jakarta telah menempati urutan ke-12 sebagai kota termacet di dunia. Peringkat ini meningkat dari tahun sebelumnya yakni urutan ke-22. Disebut sebagai kota yang kurang berkembang di luar Eropa dan Amerika Utara, Jakarta bersanding dengan kota-kota lain seperti kota Bogota, Mexico, Rio de Janeiro, Bangkok dan Sao Paulo.
Sementara itu, berdasarkan lama waktu kemacetan yang dirasakan pengendara di Jakarta, dalam setahun rata-rata mencapai 63 jam dengan porsi 20 persen. Angka ini juga mengalami peningkatan dibandingkan 2016 yang menyebut para pengendara harus menghabiskan waktu 55 jam di jalan saat macet.
Tomtom, perusahaan pembuatan GPS, mengemukakan indeks kemacetan sejumlah kota di dunia berdasarkan telaah data pergerakan GPS setiap kendaraan pada 2016. Hasilnya, waktu tempuh kendaraan di Jakarta bertambah 63 persen saat melakukan perjalanan pagi hari atau 95 persen saat melakukan perjalanan sore hari. Biang kerok pertambahan waktu tempuh itu adalah macet.
Merujuk data Tomtom, seharusnya perjalanan dari rumah ke kantor bisa dilakukan selama 60 menit. Namun, waktu tempuh bisa mencapai 100 menit (1,5 jam) karena macet pagi hari. Pada saat pulang dari kantor ke rumah sore hari, waktu tempuh bisa mencapai 120 menit (2 jam).
Memang, mengatasi kemacetan Jakarta bukan perkara mudah. Ada banyak factor dan
pemangku kepentingan yang terlibat dalam mengatasi masalah yang sangat kompleks ini. Jakarta adalah kota yang memiliki populasi yang sangat besar tapi sangat minim jalan dan sistem transportasi.
Jakarta juga kurang penggunaan sistem transportasi cerdas terbaru seperti misalnya optimasi lampu lalu lintas atau jalur yang dinamis. Kemacetan di Jakarta juga kian bertambah seiring dengan pembangunan infrastruktur yang dikerjakan bersamaan.
Namun, dengan selesainya satu per satu infrastruktur di Jakarta ada harapan besar kemacetan Jakarta bisa berangsur teratasi. Kalaupun tidak, pemerintah provinsi DKI Jakarta dan pemerintah pusat harus terus putar otak karena Jakarta adalah kota yang tak pernah selesai ditata. Kini, warga Jakarta hanya tinggal menghitung hari sebelum MRT resmi beroperasi pada Maret ini.