REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mas Alamil Huda
“Saudara Pram, kalau saudara tidak keberatan, saya mengajak saudara masuk menjadi anggota NU, agar Anda sedikit terbebas dari tekanan fisik dan mental dari rezim Orde Baru, sehingga bisa menulis segala karya kreatif yang bisa mengangkat derajat bangsa ini di hadapan bangsa besar yang lain.”
Tawaran itu dilontarkan Mahbub Djunaedi kepada Pramoedya Ananta Toer ketika keduanya bertemu di awal tahun 1980-an. Pram, kala itu belum lama bebas dari Pulau Buru. Selama 10 tahun di sebuah pulau di Kepulauan Maluku itu, Pram harus menjalani hidup sebagai tahanan politik.
Ajakan ini adalah sebuah cara yang ditempuh, sebagai bagian dari upaya rekonsiliasi yang digagas Mahbub sejak pertengahan 1970-an. Sebab, usai peristiwa 1965, bangsa Indonesia masih dilanda polarisasi yang amat tajam sampai di akar rumput, hingga mengganggu kerukunan nasional. Bahkan masih terasa setelah belasan tahun peristiwa itu lewat.
Pram adalah bekas anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), underbow Partai Komunis Indonesia (PKI). Pertemuan ini terjadi saat Mahbub menjabat sebagai ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). PKI dan NU, adalah dua kelompok yang saling berbenturan di lapangan dalam peristiwa 1965.
Sastrawan besar itu dipilih Mahbub untuk diajak ‘rujuk’. Mahbub berpikir, Pram adalah sebuah simbol. Jika berhasil meyakinkan Pram masuk menjadi anggota NU, Mahbub berpikir dampaknya akan besar di mayarakat. Mungkin di era sekarang, media sosial, peristiwa itu bisa viral. Namun, Mahbub menyadari langkah ini bukannya tanpa risiko.
“Saya mengajak Anda dengan penuh pertimbangan dan menghitung segala risiko, tetapi bukankah risiko itu harus diambil untuk melangkah menuju kemajuan. Sebab yang hendak diayomi bukan hanya Anda sebagai simbol, tapi ini mencakup keseluruhan warga,” katanya.
Cuplikan cerita ini ditulis Abdul Mun’im DZ dalam bukunya, Fragmen Sejarah NU yang terbit 2017 lalu. Di bagian lain tulisannya, Mun’im juga menyebut Mahbub adalah tokoh muda NU bersama Chalid Mawardi di bawah komando KH Wahab Hasbullah yang giat menumpas pemberontakan PKI di tahun 1965.
Saya tidak sedang hendak mengkiaskan cerita di atas dengan situasi politik hari ini. Sebab konteks sosial politiknya agak berbeda. Bangunan peristiwa historisnya pun tak sama. Terlepas dari konstelasi politik ketika Mahbub menawarkan itu ke Pram, semangat sekaligus cara rekonsiliasi sebagai dasar pertimbangan kerukunan nasional bisa jadi sangat relevan saat ini.
Kontestasi Pilpres 2019 adalah penyumbang ‘saham’ terbesar dalam membelah bangsa Indonesia secara diametral. Mengerikannya, atmosfer pertentangan ini menyekap hingga ke level bawah lapisan masyarakat. Situasi ini kian diperburuk dengan propaganda-propaganda dari elite hingga buzzer-buzzer politik.
Gesekan fisik barangkali belum (dan jangan sampai) terjadi. Tetapi yang terpotret di media sosial berkebalikan. Perang itu benar-benar sedang berlangsung. Lihat, tak ada adab di ujung jari mereka yang fanatik terhadap kontestan pilihan. Caci maki adalah sarapan pagi. Saling olok menjadi kebiasaan. Melabeli saudara sendiri dengan sebutan hewan seolah dianggap sebagai kelumrahan. Naudzubillah.
Mungkin fanatisme itu lahir dari sikap berlebih-lebihan. Tapi setidaknya satu dari sekian penyebabnya adalah itu. Pesta demokrasi pun terasa berubah dan seolah menjelma menjadi sesuatu yang menakutkan, setidaknya bagi kita yang ingin hajatan lima tahunan ini berjalan menyenangkan.
Media sosial memang menghilangkan sekat-sekat ketakutan. Orang yang ingin mencaci lain orang, tak perlu bertatap muka. Biasanya mereka ini adalah orang yang tak suka berpikir panjang dampak yang diakibatkan dari tarian jemarinya di layar gawai. Sialnya, sebagian besar kita, masyarakat Indonesia, malas berpikir panjang.
Maka tak heran kita sering menemukan permintaan maaf berikut sesal dari mereka setelah dipertemukan dengan orang yang difitnah. Apalagi jika berurusan dengan pihak berwajib, biasanya menangis sesenggukan.