Senin 10 Jun 2019 23:05 WIB

Mudik tanpa Mengeluh

Mudik adalah perjalanan fisik dan psikologis yang menghangatkan hati.

Kendaraan arus mudik terlihat melintas di KM 421B ruas tol Semarang- Solo, di wilayah Banyumanik, Kota Semarang, pada H+5 Idul Fitri 1440 Hijriyah, Senin (10/6). Volume kendaraan arus balik di ruas tol ini berangsur- angsur menurun, kendati akumulasinya masih di atas rata- rata pergerakan lalu lintas normal.
Foto: Republika/Bowo Pribadi
Kendaraan arus mudik terlihat melintas di KM 421B ruas tol Semarang- Solo, di wilayah Banyumanik, Kota Semarang, pada H+5 Idul Fitri 1440 Hijriyah, Senin (10/6). Volume kendaraan arus balik di ruas tol ini berangsur- angsur menurun, kendati akumulasinya masih di atas rata- rata pergerakan lalu lintas normal.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Indira Rezkisari*

Mudik. Kata yang istimewa bagi umat Muslim perantau setiap tahun. Agenda mudik adalah keharusan mungkin kewajiban bagi para perantau jelang Lebaran.

Baca Juga

Tahun ini mudiknya terbilang istimewa bagi pengguna jalan darat. Perkiraan akan padatnya perjalanan mudik ditepis oleh fakta lengangnya jalanan saat sebelum Lebaran.

Jasa Marga mencatat total 421.435 kendaraan meninggalkan Jakarta menuju arah Timur, arah Barat dan arah Selatan pada hari pertama dan kedua Lebaran 2019 (H1 dan H2) atau pada 5-6 Juni 2019 kemarin.

Sedari 29 Mei hingga 4 Juni 2019 tercatat sudah 1,2 juta kendaraan meninggalkan Jakarta. Artinya dari H-7 hingga hari Lebaran sudah 1,6 juta kendaraan meninggalkan Jakarta.

Pantauan arus mudik mencatat arus lalu lintas cukup lancar di perjalanan pulang mudik sebelum Lebaran. Saya setidaknya mengalami perjalanan mudik yang tergolong sangat lancar malah. Di dua hari sebelum Lebaran saya hanya mengalami perjalanan pulang ke Brebes, Jawa Tengah, selama tiga jam 15 menit saja dari kawasan Ciputat, Tangsel.

Jalanan siang itu yang sudah berlaku one way sangat lengang. Rasanya bahkan tidak seperti akan mudik Lebaran seperti tahun-tahun sebelumnya.

Kementerian Perhubungan memang mencatat terjadi peningkatan pengguna jalan tol untuk arus mudik dan balik Lebaran tahun ini dibanding tahun lalu. Berdasarkan data H+2 Lebaran terjadi peningkatan hingga 63,5 persen kendaraan roda empat yang menggunakan jalan tol. Angkanya mencapai 451 ribu kendaraan.

Menurut data Kementerian Perhubungan kenaikan terbesar terjadi pada arus keluar melalui gerbang tol Cikampek Utama. Yaitu sebesar 214 persen. Peningkatan diperkirakan terjadi karena antusiasme masyarakat menggunakan tol Trans-Jawa. Angka pemudik darat memang diprediksi meningkat karena faktor tingginya harga tiket pesawat.

Arus mudik yang relatif lancar namun tidak dibarengi dengan arus balik yang sama lancarnya. Waktu berangkat mudik yang relatif lebih lama, yaitu sejak 30 Mei 2019 bisa jadi menyebabkan perjalanan mudik lebih lancar.

Sedangkan arus balik memang diprediksi Menteri Perhubungan Budi Karya akan lebih padat karena waktunya yang lebih singkat yaitu dari 6 Juni ke 9 Juni saja. Hanya ada tiga hari untuk kembali, karena tanggal 10 Juni merupakan hari pertama masuk kerja bagi banyak orang.

Berdasarkan data Jasa Marga, 720 ribu kendaraan telah kembali ke Jakarta sekitarnya melalui jalan tol. Data itu mencakup sejak H+1 sampai H+3 Lebaran.

Saya menempuh hampir 12 jam perjalanan dari Yogyakarta hingga Brebes. Sekitar dua jam lebih diantaranya dihabiskan terjebak kemacetan di Tol Trans-Jawa sepanjang 30 km lebih. Yaitu dari sekitar km 460 hingga km 420-an di hari Sabtu (8/6) siang hingga malam, karena belum dibuka akses one way.

Di Ahad paginya perjalanan pulang ke Jakarta saya habiskan selama sekitar 10 jam di jalan. Waktu-waktu tersebut masih diseling break shalat dan makan serta ke toilet.

Masih melekat di benak saya pemandangan ketika memutuskan keluar di Cikarang, sebelum Meikarta, untuk mencari makan sore. Bersebelahan dengan kendaraan saya, keluar lima orang dewasa dari SUV. Sang sopir menghela napas dalam sekali, seakan merasa lega, ketika akhirnya bisa keluar dari kursi sopirnya dan beristirahat.

Pemandangan yang sama kelihatan dari para pemudik motor yang mungkin sore itu sudah menempuh ratusan kilometer pula untuk pulang ke Ibu Kota. Ketika mereka berhenti untuk mengisi perut.

Tampak wajah lelah, wajah mengantuk, dan lapar. Tapi, tidak ada yang mengeluh.

Lahir dan besar di Jakarta saya tidak punya pengalaman mudik hingga saya menikah dengan pria asal Bantul, Yogyakarta. Sejak bersuami saja saya merasakan ‘derita’ pulang kampung. Macet-macetan di jalan. Berburu tiket mudik yang harganya tidak terjangkau. Tapi satu hal yang saya pelajari dari kegiatan mudik. Semacet apapun. Seletih apapun. Tidak ada pemudik yang mengeluh.

Agaknya ada psikologi kehangatan rumah yang membuat siapapun rela pulang meski dalam situasi sulit sekalipun. Masakan ibu, kasur di kamar, canda tawa dengan keluarga membuat mudik sebuah keharusan saat Lebaran.

Mudik memang menjadi sebuah perjalanan fisik dan psikologis. Meski fisik lelah, tapi hati yang penuh menjadi alasan kemacetan mudik itu dijalani setiap tahun. Lagi dan lagi.

Mudik juga bisa menjadi ajang pelekat hubungan antarpasangan hingga momen belajar bagi anak. Minimal lewat mudik anak bisa belajar soal kuliner daerah yang dilewati hingga pelajaran geografi tentang nama-nama wilayah yang dilewatinya.

Selamat kembali ke perantauan. Selamat kembali bekerja dan berkarya, menyiapkan diri untuk kembali mudik tahun depan.

*Penulis adalah redaktur Republika.co.id

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement