REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nashih Nashrullah*
Idealnya fikih lingkungan(bi’ah) menjadi jawaban terhadap kegamangan dunia internasional menyikapi perubahan iklim dan ancaman pemanasan global belakangan ini. Islam memiliki ajaran-ajaran kuat yang menekankan pentingnya menjaga keseimbangan alam. Solusi yang ditawarkan mencakup hulu hingga hilir, integral, dan komprehensif. Dan yang terpenting menempatkan manusia sebagai sentral keseimbangan alam.
Inilah mengapa, Imam ar-Raghib al-Ashafani, seperti dinukilkan dari kitab ad-Dzari’ah ila Makarim as-Syari’ah, menyatakan bahwa menurut konsep Islam, tugas manusia di muka bumi bukan sekadar beribadah kepada Tuhan, atau mengaktualisasikan diri sebagai pemimpin, melainkan juga menjalankan tugas ’imarah al-ardl untuk mengurus bumi dan segenap sumber daya alam dengan sebaik-baiknya.
Pakar tafsir Imam Abu Hayan dalam tafsirnya yang bertajuk al-Bahr al-Muhith menegaskan, pelestarian alam atau lingkungan menjadi misi para nabi sepanjang sejarah. Saat menguraikan makna dari surah Huud ayat 61, Abu Hayan memaparkan bagaimana Nabi Shalih AS diperintahkan kepada Kaum Tsamud untuk konsisten di jalan tauhid, kemudian mengoptimalkan peran mereka sebagai pemimpin di muka bumi, dan seruan terakhir agar mereka mendayagunakan potensi alam di muka bumi secara proporsional.
Tugas imarah disandingkan dengan tauhid dan kepemimpinan membuktikan bahwa pelestarian alam, tak lagi masuk ranah cabang agama (furu’iyyah), tetapi merupakan prioritas utama dharuriyyat. Menjaga lingkungan, berarti mempertahankan keberlangsungan hidup berikut lima dharuriyyat meliputi agama, jiwa, akal, nasab, dan harta.
Dalam ranah teori, konsep pelestarian alam yang ditawarkan Islam pernah menjadi perbincangan di dunia internasional pada abad modern. Sebagai contoh, Pangeran Charles dalam sebuah pidatonya di hadapan para sarjana dan intelektual Pusat Kajian Islam Oxford pada 2010, pernah menyatakan bahwa doktrin semua agama menyerukan pemeliharaan alam, terutama Islam.
Dalam konsep Islam, manusia tidak terlepas dari alam. Kerusakan yang terjadi di muka bumi, pada dasarnya bukan akibat maraknya industrialisasi, tetapi lebih kepada perilaku dan pola interaksi manusia terhadap alam yang cenderung destruktif. Sebab itu, eksistensi makhluk hidup di muka bumi sangat bergantung pada sejaumanah manusia mampu berlaku adil terhadap alam. ”Islam mengajarkan agar manusia harmonis dengan alam,” tuturnya.
Merujuk pada diskusi fikih kontemporer, konsepsi dan rumusan fikih bi’ah pernah dijabarkan secara gamblang oleh Syekh Yusuf a-Qaradhawi. Gagasan itu tertuang dalam bukunya yang diterbitkan pada 2001 dengan judul “Ri’ayat al-Biah fi Syariat al-Islam”. Ada delapan konsep utama pelestarian yang digariskan Islam, menurut Qaradhawi.
Pertama, penghijauan dan reboisasi. Ada dua unsur utama dalam poin ini yakni nilai manfaat dan estetika. Kedua, aktivasi lahan mati. Ini dilakukan dengan memberdayakan lahan-lahan mati dan optimalisasi potensi yang ada. Ketiga, menjaga kebersihan dan kesucian. Sebab. kebersihan adalah bagian tak terlepaskan dari agama. Ini mesti berimplikasi pada lingkungan, karena itu Allah mencintai orang-orang yang bersih dan gemar bersuci.
Keempat, pengelolaan sumber daya alam. Ini mesti dilakukan dengan tetap menjaga prinsip keseimbangan alam. Kelima, menjaga sumber daya manusia. Ini tak kalah penting dan berkorelasi langsung, menjaga manusia berarti juga menjaga alam.
Keenam, berlaku baik terhadap alam. Termasuk di dalamnya segenap makhluk hidup atau benda mati sekalipun yang ada di bumi. Ketujuh, menghindari perusakan.
Bentuk dari pemeliharaan alam menurut Islam adalah menjaganya dari kerusakan akibat apapun, termasuk kejahilan manusia dan kedelapan, menjaga keseimbangan alam.
Alam diciptakan dengan ekosistemnya yang seimbang dan dengan takaran yang proporisonal. Ini harus dijaga keseimbangannya.
Qaradhawi memberikan contoh bagaimana semestinya fikih lingkungan ini bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dan, umat Islam harus tampil sebagai garda terdepan. Misalnya, perilaku pemanfaatan kita terhadap air.
Seringkali pendayagunaan air, kata Sekjen Ulama Internasional ini, tidak optimal dan bahkan di banyak kesempatan cenderung eksploitatif. Hal ini tidak bisa dibiarkan dan harus dicegah. Pasalnya, berbeda dengan kekayaan bumi atau alam lainnya, air bersifat surut dan tidak bisa dibudidayakan.
Ia menegaskan jika pemakaian yang tak tepat guna dan konsumsi berlebihan tetap terjadi, maka tak mustahil, krisis air pun akan terjadi. “Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran; lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya.” (QS. al-Mu’minuun [23] : 18).
Di sinilah letak hikmah, mengapa Rasulullah SAW dalam sebagian riwayat pernah mengingatkan Saad bin Abi Waqash, agar berwudhu dengan air secukupnya. Tidak usah berlebih. Sekalipun berada di lokasi dengan air yang melimpah. Ini sebagai bentuk upaya menjaga keseimbangan alam. Mendayagunakan potensinya, tanpa harus berlebihan, sesuai porsinya. Sebab, alam diciptakan sistem yang harmoni dan proporsional. Sementara tugas manusia adalah menjaga keseimbangan itu.
*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id