REPUBLIKA.CO.ID, oleh Teguh Firmansyah*
Beberapa waktu terakhir, beredar wacana untuk mengevaluasi Pilkada langsung. Musababnya, Pemilihan model ini dianggap sebagai pemicu utama praktik korupsi di daerah.
Pilkada one man one vote membuat ongkos politik yang harus digelontorkan para calon membengkak. Akibatnya para kandidat yang sudah terpilih harus mengoptimalkan beragam sumber pendapatan agar bisa 'balik modal'.Mereka tanpa ragu-ragu melakukan korupsi, bahkan berjamaah.
Modus yang biasa digunakan dari mulai fee proyek atau kongkalingkong dana hibah, dan beragam cara lainnya. KPK mencatat ada 119 kepala daerah yang tersandung korupsi sejak 2002.
Karena itu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yakin evaluasi Pilkada langsung adalah cara yang cukup memungkinkan untuk mencegah terjadinya praktik korupsi. Semakin ongkos ditekan, maka peluang korupsi semakin kecil.
Namun penilaian Tito masih bisa diperdebatkan. Apalagi jika alasannya untuk mencegah korupsi. Dulu, pemilihan dilakukan tak langsung lewat DPRD. Tapi praktik korupsi tetap terjadi.
Pemilihan model seperti ini justru membuat kewenangan dewan di daerah semakin besar. Uang yang digelontorkan tidak ke akar rumput, cukup mengguyur anggota dewan saja. Memang, ongkos politik bisa jadi lebih kecil, tetapi praktik korupsi tetap saja ada.
Lantas bagaimana jika ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat? Tentu celah korupsi masih sangat mungkin. Pejabat di daerah bisa saja menyogok otoritas di pemerintah pusat agar ditunjuk sebagai kepala daerah. Prinsipnya, uang mengalir ke arah para pembuat kewenangan.
Belum lagi jika pemerintah pusat yang dikuasai partai pemenang memanfaatkan kepala daerah untuk urusan kepentingan politik mereka. Artinya, problem penyalahgunaan kewenangan masih sangat mungkin terjadi di berbagai model pemilihan.
Kalau saya melihat, banyaknya kasus korupsi di daerah terkait erat dengan sistem kepartaian. Salah satu problem mengapa ongkos politik itu cukup besar di Pilkada Langsung adalah karena tak jalannya proses kaderisasi politik di tingkat partai.
Partai politik mengambil jalan singkat dengan mendukung calon populis yang punya modal dan popularitas. Calon populis pun memanfaatkan partai menjadi hanya sekadar alat untuk memenuhi persyaratan.
Untuk mendapatkan dukungan parpol pun tak gratis. Ada cost-cost politik yang harus dibayar oleh calon ke parpol. Hal itu tergantung kesepakatan calon dan parpol.
Tak hanya buat parpol, calon pun biasanya harus merogoh kocek cukup dalam untuk menggerakkan relawan atau massa di akar rumput. Ujung-ujungnya, para kandidat mencari dana-dana segar dari pengusaha atau donatur yang tentu saja tak gratis.
Berbeda halnya bila proses rekrutmen dan kaderisasi berjalan baik. Biaya politik akan jauh bisa ditekan. Kandidat tak perlu lagi nyetor ke parpol.
Dengan catatan, parpol benar-benar telah membangun sistem kaderisasi secara berjenjang. Parpol menjadi ujung tombak untuk membentuk sumber daya-sumber daya unggul di daerah dan mengakar di massa akar rumput.
Selain itu, sistem antikorupsi juga harus dibangun dari dalam partai. Jika politik dagang sapi sudah terjadi di partai, maka jangan harap hal tersebut tak terjadi saat menjabat di jabatan publik.
Sayang, kebanyakan partai 'lepas tangan' saat kadernya terjerat kasus korupsi. Paling gampang dan yang sering dilakukan adalah memecat kader yang tertangkap.
Namun, tak ada satu pun partai yang berjanji mengatakan "tak akan ada lagi kader yang terjerat kasus korupsi". Karena partai memandang, aksi korupsi itu hanyalah ulah dari oknum. Dan itu, terus berulang-ulang, meski KPK tak bosan-bosannya menangkap kepala daerah bermasalah.
Mengembalikan fungsi parpol sebagai wadah kaderisasi dan untuk membangun budaya antikorupsi ini memang bukan hal mudah. Harus ada komitmen dari pengurus dan kader parpol bahwa partai bukan sekadar alat atau kendaraan untuk mendapat kekuasaan. Tapi di sana menjadi wadah pembelajaran, membentuk kader-kader berkualitas.
Saat pilkada, parpol benar-benar menggerakkan setiap kadernya untuk memenangkan pemilihan. Partai terlibat aktif dalam pencarian dana untuk pemilihan dan diungkap secara transparan. Apakah itu dari pengusaha atau perorangan. Partai menjadi penanggung jawab atas calon yang diajukannya, bukan sebaliknya, kandidat yang menguasai partai.
Oleh karena itu, saya berpendapat bukan pilkada langsung yang bermasalah. Tapi ada sistem budaya di tengah partai dan masyarakat yang harus diubah.
Semua berawal dari sejauh mana partai bersungguh-sunggung membangun budaya antikorupsi di dalam sistem kepartaian mereka. Tanpa itu, maka upaya untuk mencegah korupsi hanya sekadar mimpi.
*) penulis adalah jurnalis republika.co.id