REPUBLIKA.CO.ID, oleh Agung Sasongko*
Fulan berulangkali membolak-balik kertasnya. Ia cocokan lembaran kertas itu dengan apa yang ada di depan monitor komputer. Sesekali dia terdiam, menyeruput kopi yang tak lagi panas. Kembali lagi ia melihat catatan kertas tersebut. Tarik nafas lagi, dan keringat pun mengucur deras.
Fulan begitu terkejut, ternyata tak mudah mengatur keuangan mushola. Ia mewakili generasi bermodalkan nekad namun ingin beri sumbangsih. Maklum saja, zaman sekarang sulit menemukan orang yang ikhlas dan sabar berbuat untuk lingkungan.
"Ternyata tidak sesederhana yang saya bayangkan," kata dia yang diamanahkan menjadi bendahara mushala di Depok.
Fulan bersama warga perumahannya tengah membangun sebuah mushala. Seperti kebanyakan perumahan lain, perumahan tempat Fulan tinggal kebanyakan keluarga baru. Mereka generasi kedua yang mulai menggantikan peran orangtuanya dalam lingkungan. Namanya keluarga baru, tidak heran lebih banyak kencang modal nekad dan semangat, tapi minim pengalaman dan pengetahuan.
Harus diakui pengetahuan seperti mengatur keuangan mushala ini tidak ada ilmunya di sekolah. Kelihatan mudah teorinya, namun atur nafas dalam praktiknya. Pengalaman fulan ini, saya kira banyak dialami para pengurus mushola atau masjid berusia muda. Seperti diungkapkan Fulan, transfer ilmu dari orangtua tidak mengagendakan masalah "manajemen titipan umat".
Pengalaman dan transfer pengetahuan kepada generasi muda soal pelaporan keuangan mushala mutlak harus dilakukan. Generasi seperti Fulan inilah yanag akan mewarisi mushala atau masjid. Di zaman yang serba modern, pengelolaan masjid dituntut lebih profesional. Tak hanya dalam memberikan pelayanan kepada jamaah, profesionalisme juga harus ditunjukkan dalam pengelolaan keuangan.
Masalah yang umumnya muncul adalah kesulitan dalam proses pencatatan, terutama bagaimana memasukkan transaksi ke dalam pos-pos yang tepat. Biasa laporan model Fulan ini tercatat serba manual.
Saya kira, perlu ada sosialisasi dan pelatihan seperti apa untuk mengatur keuangan mushala atau masjid. Mushala atau masjid berperan penting untuk menjadi contoh sebagai organisasi yang menerapkan transparansi dan akuntabilitas dalam pelaporan transaksi keuangan. Tidak ada alasan bahwa pengelolaan keuangan masjid dilakukan secara serampangan.
Transparansi dan akuntabilitas keuangan masjid akan menumbuhkan rasa percaya jamaah kepada masjid dan pengurusnya. Semakin tumbuh kepercayaan kepada masjid, maka partisipasi jamaah kepada masjid menjadi makin besar. Karenanya sistem pelaporan keuangan masjid juga harus memenuhi standar akuntansi yang layak. Setelah hal tersebut terpenuhi, barulah bicara tentang program ekonomi masjid.
Dilansir laman kemenag, memakmurkan Masjid dan mushala didasarkan tiga bagian. Pertama, Imarah yakni masjid harus diisi dengan kegiatan-kegiatan secara berjamaah. Kedua, Idarah yakni menyangkut tentang syiar, pembentukan organisasi-organisasi baru dalam rangka memperluas syiar islam (Majelis ta’lim, remaja Masjid, lomba-lomba keagamaan), keadministrasian, keuangan, pengawasan, dan pelaporan keuangan dan kegiatan-kegiatan. Ketiga, Ri’ayah yakni menyangkut pemeliharaan bangunan, lingkungan, keindahan, dan tata ruang Masjid.
Di poin kedua tersebut, fungsi keuangan masjid memiliki peran penting. Segala bentuk muara kegiatan masjid ini berasal dari manajemen keuangan yang disiapkan. Fungsi keuangan ini luas meliputi bagaimana menggalang donasi kemudian mempergunakan guna menjadi jalan memakmurkan masjid. Kalau keuangan saja sudah kacau, dapat dibayangkan seperti apa kemampuan masjid memainkan peranannya.
Karenanya, penting pula menggandeng sejumlah pihak seperti akademisi dan praktisi guna transfer ilmu untuk kebutuhan masjid atau mushola. Perlu pula dibuat satu percontohan seperti apa keuangan masjid atau mushala yang sehat. Parameternya seperti apa?sehingga ada standar baku sehingga jadi panduan bagi pengurus masjid atau mushola. Wallahualam bis shawab
*) penulis adalah jurnalis republika.co.id