REPUBLIKA.CO.ID, oleh Friska Yolandha*
Pada pembukaan pasar modal awal tahun lalu, Presiden Joko Widodo meminta pelaku bursa untuk tidak melakukan aksi menggoreng saham. Hal ini bertujuan untuk menciptakan pasar yang bersih dan berintegritas demi meningkatkan kepercayaan investor.
Oleh pelaku pasar, terutama ritel, aksi menggoreng saham ini seperti senam jantung. Jika terlambat masuk atau keluar, risikonya sangat besar. Sekali nyangkut di harga tinggi, investor bisa-bisa gigit jari karena merugi.
Seperti namanya, saham gorengan adalah istilah untuk saham milik perusahaan tertentu yang harganya direkayasa pelaku pasar dengan maksud tertentu. Harga saham emiten tersebut bergerak di luar kebiasaan, bahkan naik lebih tinggi dibandingkan saham blue chip/unggulan.
Layaknya gorengan, investor disarankan untuk tidak terlalu sering mengonsumsi saham tipe ini. Selain itu, investor harus paham bagaimana risiko jika masuk ke perdagangan saham gorengan tersebut.
Sebut saja Angga, mengaku beberapa kali ikut tergiur dengan saham-saham gorengan. Karena ilmunya masih minim, Angga memilih sejumlah saham yang dilihatnya menunjukkan pergerakan yang positif.
Sayangnya, kebahagiaan melihat harga saham yang menghijau itu tidak berlangsung lama. Harga saham dimaksud anjlok hingga nyaris setengah harga.
Sampai hari ini, Angga tak berani memangkas kerugian (cut loss) dengan menjual saham tersebut. Ia berharap saham itu kembali di harga belinya.
Contoh kawan di atas adalah investor ritel yang terjerat market maker di saham gorengan. Kurangnya edukasi membuat investor gampang tergiur dengan saham yang harganya 'dibuat' oleh pelaku pasar besar. Ini tentu akan berdampak pada kepercayaan investor terhadap pasar itu sendiri.
Sebetulnya, tidak terlalu sulit membedakan saham gorengan dengan yang lain. Biasanya, kenaikan harga saham ini tidak wajar dalam beberapa hari. Karena kenaikan itu, saham gorengan sering masuk dalam daftar //unusual market activity (UMA). UMA dapat menjadi alarm bagi investor untuk tidak membeli saham perusahaan tersebut.
Kedua, nilai dan volume transaksinya terlalu tinggi. Dibandingkan perusahaan sejenis, volume transaksi saham gorengan bisa jauh lebih besar, bahkan menyamai transaksi saham-saham unggulan.
Pergerakan sahamnya tidak sesuai dengan kinerja perusahaan. Jika sudah menyadari hal ini, investor sebaiknya berhati-hati dan menjauh dari saham tersebut.
Bagaimana kalau sudah terlanjur? Investor ritel hatus berani memangkas kerugian sebelum terlambat. Setiap investor harus punya batasan sendiri terkait berapa persen untuk mengambil keuntungan/kerugian. Pergerakan saham gorengan sangatlah cepat, sehingga investor harus jeli melihat celah untuk masuk atau keluar.
Jika untung, jangan tunggu saham hijau lebih tinggi lagi. Jika rugi, jangan berharap saham bisa naik kembali ke nilai awal.
Investor juga harus membatasi diri saat membeli saham gorengan. Jangan terlalu banyak, dan terus memperhatikan pergerakan harganya.
Investor perlu terus mengedukasi diri untuk mencegah terjebak di jerat saham gorengan. Semakin sering memberdayakan diri, semakin baik pula cara investor dalam bertransaksi saham di pasar modal.
*) penulis adalah jurnalis republika.co.id