REPUBLIKA.CO.ID,oleh: Yudi Latif
Demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi membuat janji-janji besar reformasi untuk mem perkuat daulat rakyat dan keadilan sosial tak memiliki landasan yang kuat. Ketika uang menjadi bahasa politik, sedangkan mayoritas rakyat masih hidup dalam belenggu kemiskinan atau dalam keserakahan orang kaya baru, peng gelaran demokrasi elektoral ternyata tidak mem bawa transformasi dalam watak kekua saan.
Suara bisa dibeli dan dimanipulasi di setiap tingkatan. Idealisme pemilih dirobohkan, otoritas Komisi Pemilihan Umum (KPU) didelegitimasikan. Ketika nilai-nilai idealisme kewargaan tidak memiliki saluran yang efektif, nilai-nilai kepentingan investor mendikte kebijakan politik.
Dalam satu pamflet berjudul “Menuju Indonesia Merdeka” tahun 1932, Bung Hatta menulis, “Di atas sendi [cita-cita tolong-menolong] dapat didirikan tonggak demokrasi. Tidak lagi orang seorang atau satu golongan kecil yang mesti menguasai penghidupan orang banyak seperti sekarang, melainkan keperluan dan kemauan rakyat yang banyak harus menjadi pedoman perusahaan dan penghasilan.”
Demokrasi politik dan demokrasi ekonomi tidak bisa dipisah-pisahkan dan saling terkait. “Cita-cita demokrasi kita lebih luas, tidak saja demokrasi politik tetapi juga demokrasi ekonomi”. Demokrasi politik bagi Hatta tidak terbatas pada pemilu semata, tetapi merupakan bagian dari demokrasi yang diiringi dengan rasa tanggung jawab.
Demokrasi ekonomi bagi Hatta lebih merupakan penegasan kemerdekaan dan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi.
Di lain kesempatan, dalam tulisan berjudul ”Demokrasi Kita”, Bung Hatta kembali menggaris bawahi kesalingterkaitan antara demokrasi ekonomi dan demokrasi politik. Tulis Bung Hatta, “Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada”.
Demokrasi yang sehat menghendaki kesederajatan hingga taraf tertentu dari basis ekonomi dan sosial. Demokrasi tidak melulu berhubungan dengan pemenuhan hak-hak sipil dan politik (civil and political rights), tetapi juga dengan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ecosoc rights). Pertimbangan inilah yang membuat para pemikir demokrasi, seperti Alexis de Toxqueville dan Amy Gutmann, menghubungkan demokrasi dengan keadilan ekonomi dan kesejahteraan.
Bagi de Tocqueville, demokrasi memiliki makna di luar politik, yaitu kesederajatan kondisi sosial dan ekonomi ditambah dengan semangat egalitarianisme dan hasrat merdeka. Dari kesetaraan kondisi ekonomi dan sosiallah, menurut Tocqueville, ada kecenderungan untuk membentuk perkumpulan-perkumpulan masyarakat madani yang mandiri.
Di negara-negara tempat warganya berdiri sama tinggi, tanpa melihat dan dibedakan berdasarkan silsilah, banyak berdiri perkumpulan yang dibentuk oleh warganya sendiri untuk mengasah kekuasaan mereka. Dari terbentuknya asosiasi- asosiasi inilah timbul rasa dan pemahaman kesetaraan. Perkumpulan ini lalu melindungi dan melestarikan kesetaraan dengan mencegah kelompok lain menjadi dominan.
Sehingga, perkumpulan ini, bagi Tocqueville, memiliki dua fungsi dalam sistem politik egalitarian: sebagai pangkal dan penjaga demokrasi. Demokrasi tanpa kesederajatan kondisi sosial dan ekonomi adalah demokrasi yang timpang. Di sinilah terlihat bahwa konsolidasi demokrasi tidak boleh hanya berhenti pada reformasi pro sedural, tetapi harus menjangkau hal-hal yang substantif.
Demokrasi prosedural atau “poliarki”, menurut Robert Dahl, lebih menekankan kemerdekaan rakyat memilih pemimpin. Esensi nya, poliarki tak lain adalah pemilahan pemimpin dan wakil rakyat dari elite elite yang berebut kuasa melalui mekanisme pemilu.
Demokrasi prosedural memerlukan suatu versi perluasan, menuju demokrasi substantif yang melibatkan upaya-upaya pencapaian keadilan sosial dan ekonomi. Robert Putnam mengingatkan, “Tidak ada yang lebih gamblang bahkan bagi pengamat kasual selain fakta bahwa keefektifan demokrasi berhubungan erat, dengan modernitas dan keberdayaan sosio-ekonomis.”
Dengan demikian, perbaikan prosedur demokrasi harus seiring dengan perhatian terhadap kemajuan dan demokratisasi ekonomi. Ada pun usaha demokratisasi ekonomi ini harus bersandar setidaknya pada dua sendi pokok. Pertama, proses ekonomi terinstitusikan tidak boleh berwatak oligarkis. Ini berarti bahwa rakyat harus secara sungguh-sungguh dilibatkan dalam partisipasi aktif pengambilan keputusan yang bersifat umum dan makro.
Kedua, struktur-struktur ekonomi terinstitusikan yang ada tidak boleh berbentuk atau memiliki relasi kuasa timpang. Dengan kata lain, struktur ekonomi ini harus didemokratisasi seluas mungkin sehingga makin mengecilkan ketimpangan ekonomi yang telah ada supaya pada akhirnya, tercapai suatu kesetaraan (bukan kesamaan) ekonomis saat mana tiap-tiap warga negara memiliki kemandirian untuk turut berpartisipasi aktif dalam proses demokrasi.
Atas dasar itu, bila demokrasi Indonesia hendak diselamatkan, keberadaan demokrasi harus disusun ulang dengan memperhatikan kesesuaian antara voices (aspirasi kehendak ideal) dan choices (pilihan-pilihan institusi dan kebijakan), antara proses pendalaman institusionalisasi demokrasi dan proses perluasan jangkauan demokrasi yang mengarah pada kesejahteraan dan keadilan sosial.