Jumat 27 Jul 2012 13:59 WIB

Takluk pada Tempe

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID,oleh Nasihin Masha

Rabu (25/7) lalu, pemerintah mengumumkan penghapusan bea masuk impor kedelai. Keputusan ini "terpaksa" dibuat pemerintah untuk mengerem laju kenaikan harga kedelai. Perajin dan pedagang tahu dan tempe dalam beberapa pekan ini menjerit karena melonjaknya harga kedelai. Mereka mengaku memiliki kesulitan mendapat margin keuntungan sebagaimana biasanya. Menko Perekonomian Hatta Rajasa menyatakan, kenaikan harga kedelai itu akibat melonjaknya harga kedelai di pasar dunia.

Penghapusan itu berarti menghapus pendapatan pemerintah dari impor kedelai. Padahal, 60 persen kebutuhan kedelai masih dipasok dari impor, sekitar dua juta ton per tahun. Akibat ketergantungan pada impor ini adalah ketika ada gejolak harga di tingkat internasional maka Indonesia ikut terkena dampaknya.

Gejolak harga kali ini akibat menurunnya produksi kedelai di Amerika Serikat. Biasanya, harga kedelai di tingkat eceran sekitar Rp 6.000 per kilogram, sekarang sudah meroket di atas Rp 8.000 per kilogram.

Situasi itu direspons secara dramatis oleh perajin serta peda-gang tahu dan tempe di Jakarta.

Mereka melakukan aksi dengan membuang tahu dan tempenya. Mereka juga mengancam mogok membuat tahu dan tempe. Karena itu, pemerintah dengan cepat membuat keputusan penghapusan bea masuk impor kedelai. Hal ini dilakukan agar terjadi stabilisasi harga dalam waktu segera.

Kita lihat, apakah resep pemerintah itu mujarab atau tidak. Juga apakah penghapusan itu hanya bersifat sementara atau tak jelas sampai kapan. Ini karena persoalan stabilitas harga sembilan bahan kebutuhan pokok merupakan sesuatu yang selalu bersifat krusial. Semua ini akibat ketidakmampuan pemerintah menjaga stok dan membangun kemandirian. Dalam hal sembako, kita mengenal apa yang disebut The Seven Samurai. Mereka adalah para pengusaha yang mengendalikan harga dan pasokan sembako.

Negara dan bangsa ini dibuat tak berdaya. Mereka seenaknya mempermainkan kita. Tanpa ketegasan kepemimpinan, strategi yang ciamik, serta kebersihan pejabat dan birokrat dari hantu korupsi maka persoalan pasokan, harga, dan kemandirian akan terus menjadi bahan permainan. Semua itu tak lebih hanya untuk menangguk keuntungan yang sebesar- besarnya. Saat ini, pemerintah sudah mencanangkan kemandirian di bidang pangan. Tentu bertahap dan juga satu persatu. Untuk beras sudah relatif terjaga, juga jagung. Gula dan minyak sayur juga relatif terjaga.

Namun, kedelai dan daging sapi masih jauh dari target. Banyak cara yang dilakukan mafia sembako dalam menggagalkan program tersebut. Salah satunya dengan mempermainkan harga sehingga petani kapok untuk menanam atau beternak.

Tanpa ketegasan dan kebersihan pemerintah maka tindakan mereka dibiarkan saja. Kita jadi teringat pada pidato Bung Karno pada HUT proklamasi kemerdekaan pada 1963. Katanya, "Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan minta-minta apalagi jika bantuan bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini syarat itu! Lebih baik makan gaplek tetapi merdeka, dari pada makan bestik tetapi budak."

Apa yang dikemukakan Bung Karno tidak sedang merendahkan tempe, tapi justru menunjukkan tempe sebagai makanan yang digemari rakyat. Bung Karno sedang membangkitkan semangat bangsa untuk mandiri dalam menghadapi tekanan asing. Jika di masa lalu tekanan itu berupa tekanan fisik saja maka di masa modern tekanan itu juga ditambah melalui instrumen perdagangan.

Dalam konteks adanya pihak-pihak yang hendak mempermainkan harga kedelai, pemerintah tak seharusnya mudah tunduk dengan mengorbankan pendapatan negara dan mengorbankan petani kedelai.  Kita harus mencermati benar kebijakan penghapusan bea masuk itu akan menghancurkan harga kedelai di tingkat petani atau tidak.

Jangan sampai petani kapok untuk menanam kedelai dan kita terjebak pada lingkaran setan untuk terus tergantung pada impor kedelai.  Bila perlu, biarkan tempe dan tahu menjadi makanan mahal. Toh saat ini sudah banyak produk tahu dengan harga yang jauh lebih mahal dari harga tahu pada umumnya.

Bisnis tahu memang menjadi bisnis baru yang sangat menguntungkan. Dengan demikian, pada saatnya hal itu akan memancing petani untuk bertanam kedelai. Jadi, poin yang utama adalah kemandirian kita dari ketergantungan pada asing. "Lebih baik makan gaplek, tapi merdeka," kata Bung Karno.

sumber : resonansi
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement