REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ahmad Syafii Maarif
Sisi positif dari fenomena mudik setiap Lebaran sebenarnya banyak. Di antaranya, sebagai sarana silaturahim yang efektif antarkeluarga, baik yang dekat maupun yang agak jauh, merupakan sesuatu yang memang dianjurkan agama.
Apalagi, bila yang dimudiki adalah orang tua sendiri yang jarang berjumpa, kebahagiaan itu tak ternilai harganya. Pun dengan tradisi mudik, pergerakan rupiah dalam jumlah triliunan dari perkotaan masuk ke kawasan pedesaan dengan bebas dan sukarela, terutama untuk desa-desa tertinggal yang jumlahnya sekitar 30 ribu. Dengan demikian, desa-desa menjadi hidup dan bergairah secara ekonomi, sekalipun hanya sekali dalam setahun. Tak ubahnya seperti musim haji untuk Kota Makkah dan Madinah yang di guyuri dolar saban tahun, berkat ibadah haji plus umrah tentunya berlaku sepanjang waktu.
Sekiranya orang tua masih hidup dan masih tinggal di Sumpur Kudus, kawasan tersuruk di Sumatra Barat, saya pun akan mudik. Jika tidak saban tahun, sekali dalam dua tahun harus dilakukan. Inilah diantara bakti seorang anak kepada orang tua: dikunjungi pada saat-saat tertentu, demi membahagiakan mereka. Perkara transportasi harus sambung-bersambung, kemudian sampai di desa tujuan adalah risiko belaka yang harus dilalui. Kelelahan dalam perjalanan akan sirna seketika saat berpelukan dengan orang tua.
Masih ada aspek positif lain dari tradisi mudik ini. Dengan melestarikan tradisi mudik, para perantau tidak akan pernah tercabut dari akar kultural pedesaan yang telah membentuk karakter mereka sebelum meninggalkan kampung.
Cinta terhadap kampung sendiri tak akan pernah terkuras oleh budaya kota yang umumnya bercorak individualistis.
Coba tuan dan puan bayangkan, sampai Januari 2011, Indonesia terdiri atas 33 provinsi, 399 kabupaten, 98 kota, 6.694 kecamatan, dan 69.249 desa dengan kondisi ekonomi yang sama sekali tidak merata. Arus mudik sedikit banyak telah turut mempertautkan kesenjangan ini, sekalipun masih jauh dari harapan.
Jika memang demikian faktanya maka arus mudik tidak boleh disesalkan. Tetapi, yang perlu disesalkan dan bahkan ditangisi adalah drama maut yang terus saja mengintai para pemudik yang angkanya dari tahun ke tahun semakin membengkak. Artinya, negara seperti kurang peduli terhadap warganya yang penuh gairah mengikuti tradisi mudik. Tetapi, sebagian harus berakhir dengan maut dalam perjalanan, baik sewaktu mudik maupun ketika arus balik.
Sampai 26 Agustus 2012 saja, menurut sumber kepolisian, pemudik yang tewas sudah mencapai angka 869, luka berat 1.438, dan luka ri - ngan 4.913. Angka ini masih akan bertambah da lam beberapa hari ini. Jadi, tidak sederhana, tetapi dahsyat jika tahun depan tetap saja tidak diambil tindakan preventif yang serius.
Saya termasuk warga negara yang tidak akan mengalamatkan masalah drama maut kepada presiden. Sebab, urusannya sudah terlalu banyak, termasuk mengurus Partai Demokrat saja sudah kewalahan. Jangan lagi ditambah beban urusan mudik segala.
Tetapi, negara pada tahun-tahun yang akan datang harus menghentikan drama maut ini sampai batas seminimal mungkin. Karena, tugas ini adalah kewajiban konstitusional yang tidak boleh dianggap sepele. Nyawa warga negara wajib dilindungi.
Khusus untuk Kementerian Perhubungan dan pihak kepolisian, cobalah dikaji ulang, apakah kebijakan tentang masalah mudik ini sudah benar dan tepat dan tidak hanya dipandang sebagai ritual tahun an. De ngan korban yang demikian besar, apakah nu rani bangsa ini akan terus tiarap, tidak perduli?
Akhirnya, kepada masyarakat luas yang ingin mudik, cobalah berpikir lebih tenang dan rasional sebelum berangkat. Betapa pun gairah untuk bertemu keluarga dan handai tolan di kampung demikian besar. Dalam catatan pihak kepolisian, sekitar 70 persen yang mengalami musibah di jalan raya ketika mudik dan di saat arus balik adalah mereka yang menggunakan honda bebek. Kendaraan ini memang tidak dirancang untuk perjalanan ratusan km. Oleh karena itu, mohon fakta ini dipertimbangkan masak-masak, sebelum segala sesuatu berakhir dengan mala- petaka.
Semoga tahun depan keadaan akan lebih terkendali. Jangan sampai nyawa melayang dalam suasana Hari Raya Idul Fitri yang penuh berkah di sebuah bangsa yang penuh paradoks ini.