Rabu 29 Aug 2012 19:16 WIB

Keamanan Insani

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Yudi Latif

Ritual Lebaran tahun ini menyisakan belasungkawa yang mendalam di balik kegembiraan kembali ke kesejatian diri. Ratusan nyawa melayang akibat buruknya infrastruktur dan standar keamanan. Masih hangat jabat tangan antarsesama untuk saling mencintai dan memaafkan, di Sampang, Madura, sekelompok orang melakukan penganiayaan, penghancuran permukiman, dan penghilangan nyawa pengikut Syiah yang telah begitu lama menetap di sana. Dalam peristiwa yang berulang ini, aparatur keamanan justru seperti membiarkan kebrutalan itu terjadi tanpa proteksi yang semestinya.

Kita patut menduga ada skenario besar untuk mengadu pengikut Sunni dan Syiah. Secara internasional, kemajuan teknologi persenjataan Iran—sebagai pendukung Palestina—yang menebar ancaman terhadap Israel memungkinkan pihak tertentu untuk menjadikan kekuatan Sunni sebagai proksi dalam mengadang Iran. Secara domestik, kepentingan politik sempit sering kali menggunakan sentimen agama untuk memobilisasi dukungan, meski harus dibayar mahal oleh nyawa manusia yang tak berdosa.

Semua itu memberi indikasi ancaman terhadap keselamatan manusia saat ini bukan hanya bersumber dari peperangan antarnegara, atau dari represi aparatur negara, tetapi bisa juga bersumber dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh aktor-aktor non-negara.

Hal ini memaksa kita untuk meninjau ulang pemahaman tentang keamanan (security). Dengan berakhirnya perang dingin bersamaan dengan meluasnya pengaruh globalisasi peran aktor-aktor non-negara, pengertian tradisional tentang keamanan yang berfokus pada keseimbangan dan kapabilitas militer mulai bergeser menuju konsep baru yang menca kup keamanan dari berbagai ancaman kronis yang ditimbulkan oleh hal-hal, seperti kelaparan, penyakit, dan represi juga ‘proteksi dari gangguan seketika dan menyakitkan dalam pola hidup sehari-hari’.

Karenanya, muncullah istilah “human security” (keamanan insani) yang secara luas dapat didefinisikan sebagai “proteksi individual dari pelbagai risiko terhadap keselamatan fisik dan psikologis, martabat, dan kesejahteraan”.

Dengan kata lain, “human security” merobohkan persoalan “security” dari konsepsi tradisionalnya yang berfokus pada keselamatan negara dari ancaman militer untuk mengalihkan perhatian pada keselamatan orang dan komunitas. Meski hal ini tidaklah berarti mengabaikan ke amanan negara. “Human security” menjanji kan fokus pada individual dan masyarakat, tetapi lebih dari itu juga pada nilai (values) dan tujuan (goals), seperti martabat (dignity), kesederajatan (equity), dan kerukunan (solidairty).

“Human security” meliputi keamanan ekonomi, keamanan pangan, keamanan kesehatan, keamanan lingkungan, keamanan personal, keamanan komunitas, dan keamanan politik.

Pengertian security dalam konsepsi “human security” juga mempertautkan keamanan dengan pergeseran kemajuan pembangunan suatu bangsa, dari konsepsi pembangunan yang se ma ta-mata menekankan pertumbuhan ekonomi (GNP) menuju konsepsi baru yang lebih mene kan kan kebahagiaan individu dan masyarakat, yang diukur melalui Indeks Gross National Happiness (GNH). Indeks mengukur kebahagiaan berdasarkan sembilan kategori yang me liputi ketenteraman psikologis (psychological well-being), vitalitas komunitas, kesehatan, dan pendidikan dengan sejumlah 72 indikator.

Indeks ini untuk melahirkan pengadopsian falsafah pembangunan yang dapat membuat pemerintah lebih responsif terhadap kebutuhan rakyat, membuat kemakmuran lebih terbagikan secara adil dalam masyarakat, dan agar kemajuan pembangunan tidak tercera but dari tradisi kultural, dapat menjaga kelestarian lingkungan, dan harmoni sosial.

Dalam mengukur indeks ke bahagiaan di 50 negara, Geoff Mulgan (2008) menemukan bahwa pelayanan negara merupakan penentu kebahagiaan. “Pengaruh kualitas pemerintahan terhadap kebahagiaan (kesejahteraan) hidup jauh melampaui efek yang ditimbulkan oleh pendidikan, pendapatan, dan kesehatan, yang kesemuanya itu pun tergantung dari kualitas pemerintahan.”

Pada titik ini, kita lihat bahwa masalah security dalam menciptakan kebahagiaan individu dan masyarakat secara politik terpaut erat dengan basis legitimasi negara pelayan. Basis legitimasi negara pelayan ini bersumber pada empat jenis responsibilitas: perlindungan, kesejahteraan, pengetahuan, serta keadilan-kedamaian.

Pemenuhan keempat basis legitimasi negara-pelayan itu merupakan pertaruhan atas keamanan dan kebahagiaan warga negara. Para pendiri bangsa secara visioner memosisikannya sebagai tujuan negara dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945: “Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”

Negara Indonesia telah memiliki visi keamanan dan kebahagiaan insani yang sangat kuat. Masalahnya, aparatur negara kita tidak cukup konsisten menjalankan prinsip-prinsip luhur negara pelayan itu. Segala macam usaha untuk mengabarkan kebaikan nilai-nilai Pancasila dan Konstitusi dimentalkan oleh pembiaran negara terhadap aksi-aksi kekerasan yang mengancam keselamatan warga.

sumber : resonansi
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement