Senin 29 Oct 2012 08:17 WIB

Antara Haji dan Penghasilan

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Asma Nadia

Benar haji adalah panggilan Allah. Tetapi, ikhtiar maksimal seseorang semoga memudahkan keridhaan yang berujung undangan ke Tanah Suci.

Seorang teman yang bekerja di research and developmentsatu media mengadakan riset sederhana dengan kelompok haji yang ditemuinya untuk mengetahui latar belakang pekerjaan jamaah.

Hasilnya cukup mengejutkan. Tujuh puluh persen yang mampu pergi haji adalah pedagang atau pengusaha dan bukan pegawai.

Hanya sekitar 30 persen jamaah merupakan pejabat tinggi di perusahaan atau instansi dengan pendidikan S2 dan S3 atau pendeknya kelompok masyarakat yang mempunyai posisi strategis dan berpendidikan tinggi. Sementara, 70 persen sisanya adalah petani, pemilik ke bun, pedagang, atau pengusaha kecil menengah yang tidak memiliki pendidikan tinggi, yang mungkin jika mela- mar kerja di tempat golongan yang masuk 30 pesen di atas, hanya akan mendapatkan posisi rendah.

Jika demikian, bagaimana mereka yang relatif kurang pendidikan dan intelektual secara akademis lebih berdaya secara ekonomi di bandingkan masyarakat yang berada di kelompok 30 persen di atas? Pertama, sejak lama Rasulullah SAW telah berpesan melalui berbagai hadis kepada kaum Muslimin untuk menjadi pedagang atau pengusaha jika ingin sejahtera. "Sembilan dari sepuluh pintu rezeki ada dalam perdagangan (usaha)." "Sebaik-baik pekerjaan adalah pekerjaan seorang pria dengan tangannya dan setiap jual- beli yang mabrur."

 

Kedua, sebagian besar masyarakat di perkampungan belum tercemari sistem finansial modern, yang walaupun menggunakan istilah modern, jauh lebih merugikan dari sistem konvensional. Mereka terbiasa menabung dengan emas, sementara masyarakat perkotaan (baca: pendidikan tinggi) banyak yang merasa menabung di bank, deposito, dan lain-lain, jauh lebih menguntungkan dari emas walaupun kenyataannya tidak.

Saya teringat cerita Endy J Kurniawan, penulis buku Think Dinar, sarjana ekonomi yang merasa malu sebab ilmu yang dipelajarinya kalah dibanding teori sederhana Rasulullah yang dikembangkan Umar bin Khattab, yaitu kon sep "Dinar Emas"--mata uang berbasis emas yang satu dinarnya setara 4,25 gr emas (jangan tersaru dengan mata uang dinar saat ini).  Satu dinar pada masa Rasulullah cukup untuk membeli seekor kambing dan setelah lewat 1.400 tahun masih punya daya beli yang sama.

Emas adalah alat bayar bebas inflasi sepanjang zaman. Sesuatu yang tidak masuk akal dalam teori ekonomi yang pernah dipelajari Endy, tapi terbukti kekuatannya.

Sejak itu, setiap bertemu dengan eksekutif dan profesional muda, ia aktif berbicara tentang dinar. Banyak dari mereka yang takjub dan memutuskan mengalihkan deposito dan lain- lain ke emas. Hal yang menarik ketika ia bertemu kalangan mapan di pelosok desa. Mereka tertawa kecil sambil mengatakan bahwa hal itu sudah sejak lama mereka lakukan, memulai dari satu, bahkan setengah gram emas.

Karena awam teori ekonomi, masyarakat perdesaan yang menabung dengan emas tidak terkena inflasi, bahkan makin sejahtera. Dengan menabung dalam dinar emas, biaya haji justru semakin `turun'. Jika dulu seseorang harus memiliki 30 keping dinar untuk pergi haji, kini 18 keping dinar sudah cukup membayar biaya ke Tanah Suci.

Perbedaan ketiga terletak pada gaya hidup. Cara menghasilkan uang para pegawai dan pengusaha yang tidak sama membuat gaya hidup mere ka ikut berbeda. Ketika pengusaha dan pedagang dilatih bertahan dan berjuang serta bertanggung jawab terhadap nasib usahanya sendiri, kebanyakan pegawai tidak peduli perusahaan untung ataupun rugi. Sebab, pendapatan bulanan mereka sama saja. Karena merasa hidup stabil, mental pegawai dalam mem persiapkan diri untuk berjuang atau meningkatkan kekuatan mereka lebih kecil.

Beberapa profesi, sekalipun memiliki penghasilan besar, menuntut gaya hidup yang mahal. Tidak jarang para eksekutif harus nongkrongdi kafe bukan sekadar gengsi, melainkan demi bertemu klien. Hasilnya, gaji yang diperoleh terkuras gaya hidup karena tuntutan profesi ini.

Haji adalah ibadah paling mahal bagi umat Islam. Karena itu, kewajibannya hanya "jika mampu". Di sini ada pembelajaran berharga bagi umat, yakni motivasi untuk menyempurnakan seluruh rukun Islam dengan menguatkan kemampuan finansial. Dan, Rasulullah telah berabad lalu menyampaikan bahwa menjadi pengusaha adalah jalan keluar. Berpikir dinar dan emas menjadi cara menabung dan investasi.

Mereka yang saat ini masih menjadi pegawai harus mulai berpikir untuk membuka usaha tertentu, mengurangi gaya hidup konsumtif, dan mengganti orientasi menabung dengan dinar dan emas sebagai ikhtiar memperpendek jarak ke Tanah Suci. Selain itu, untuk mempersiapkan masa depan lebih sejahtera bagi keluarga dan cita-cita lebih berdaya bagi sesama.

sumber : Resonansi
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement