REPUBLIKA.CO.ID,Politik dinasti sedang tumbuh di Indonesia. Itu bahasa kerennya. Kalau bahasa buruknya adalah politik nepotisme. Kita ingat gerakan 1998 memiliki tagline melawan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Jadi, nepotisme adalah salah satu musuh gerakan reformasi. Pemantiknya adalah ketika Soeharto mengangkat Siti Hardiyanti Rukmana menjadi menteri Sosial.
Namun, kini kita menyaksikan banyak anak, istri, suami, kemenakan, ibu tiri, dan sebagainya menikmati jabatan hanya karena ada hubungan kekerabatan dengan pejabat sebelumnya. Kita pasti akan berdebat tentang definisi dan prosesnya. Tetapi, mari kita lihat fakta- fakta ini: putra ketua dewan pembina menjadi sekjen Partai Demokrat.
Putri dan suami ketua umum PDIP menjadi ketua DPP dan ketua Deperpu. Adik ipar dan ibu tiri Gubernur Banten menjadi Wali Kota Tangerang Selatan dan Wakil Bupati Pandeglang.
Istri menjadi Bupati Indramayu menggantikan suaminya. Istri menjadi Wali Kota Cimahi menggantikan suaminya. Menantu menjadi bupati di Bandung Barat menggantikan mertuanya.
Sayidina Usman bin Affan adalah salah satu orang yang menerapkan politik nepotisme. Maksudnya bagus, agar ia bisa lebih mudah mengontrol jika terjadi penyelewengan. Tetapi, justru hal itu menjadi titik lemahnya. Orang sebaik Sayidina Usman pun tetap saja tak bisa diterima publik untuk menerapkan politik nepotisme.
Apakah orang-orang pada zaman kini ada yang sebaik Usman dalam hal moralitas? Tentu saja kita tak bisa dibandingkan dengan salah satu khulafaur rasyidin tersebut. Emang siapa elu? Kata anak zaman sekarang.
Tetapi, rupanya kita merasa lebih baik daripada Sayidina Usman. Untuk membenarkannya, lalu kita merujuk pada politik dinasti yang terjadi di Amerika Serikat.
Dinasti Bush dan dinasti Kennedy adalah sebagian contohnya. Fakta di Amerika Serikat ini menjadi stempel pembenaran karena negeri itu merupakan rujukan utama penerapan nilai- nilai demokrasi terbaik di jagat raya ini. Situasi seperti ini membuat kita bingung dan kelimpungan. Bingung karena kita merasa ada ketidakadilan dalam kesetaraan dan persamaan.
Kelimpungan karena nyatanya kita masih diliputi banyak korupsi, kolusi, dan penerapan demokrasi yang masih pada tahap prosedural belaka. Nilai-nilai demokrasi masih belum melekat benar pada tradisi kita. Hukum belum bisa efektif terhadap mereka yang berkuasa dan berduit.
Padahal, demokrasi saja belum cukup. Ia hanya salah satu pilar dalam peradaban modern.
Ia akan berjiwa jika ada penegakan dan kesetaraan di depan hukum, penghormatan terhadap hak asasi manusia, keadilan ekonomi, dan berlakunya hak-hak sipil. Tanpa salah satunya, ibarat manusia tanpa jiwa. Ia hanya akan menjadi zombie, ia akan menjadi hantu pocong yang tak bisa membedakan antara yang benar dan salah.
Saat ini kita sering mendengar keluhan demokrasi yang dibajak. Rakyat lima tahun sekali menyerahkan mandatnya kepada wakilnya di parlemen maupun di pemerintahan. Tetapi, setelah proses di bilik suara yang ber langsung tak lebih dari satu menit itu, rakyat tak bisa berbuat apa-apa. Elite yang menerima mandat itu mengambilnya begitu saja.
Tak perlu harus bertanya untuk apa kekuasaan yang diberikan rakyat kepada mereka. Para elite itu berbuat sesuka hatinya, termasuk menindas dan mengkhianati rakyatnya. Terjadi persekongkolan antara parlemen dan pemerintah. Instrumen-instrumen yang semestinya menjadi kewajiban mereka untuk mewujudkan mandat yang diberikan kepada mereka justru dinikmati mereka sendiri.
Kewenangan mengelola anggaran, menentukan prioritas kebijakan, layanan publik, distribusi ekonomi, menjaga tata sosial dan hukum, dan seterusnya hanya diperuntukkan bagi mereka sendiri dan kerabatnya. Dan, semua berlangsung begitu saja, seolah semua baik- baik saja. Tak ada mekanisme hukum, sosial, politik, dan moral yang mem buat mereka terkontrol. Seolah semua macet. Bahkan, mereka bisa memanipulasi situasi agar ritual yang tak kurang dari satu menit setiap lima tahun sekali itu kembali berpihak kepada mereka. Dan, itu terus terjadi.
Ada banyak ironi. Kita menolak korupsi, tapi kita selalu memilih partai-partai paling korup.
Kita menolak nepotisme, tapi kita memilih partai dan pemimpin yang nepotis.
Kita ingin distribusi ekonomi merata dan adil, tapi kita memilih mereka yang rakus. Kita ingin kedaulatan ekonomi, tapi kita memilih para komprador dan makelar. Kita seolah ber - ada dalam pusaran ambiguitas. Tak percaya diri untuk bersikap. Dan, salurannya hanya marah lewat unjuk rasa anarki dan brutal.
Kita selalu berharap ada titik balik, menunggu sampai batas kita tak bisa menoleransi dan kemudian menghimpun kemarahan bersama. Politik dinasti di Indonesia tegak dalam situasi itu. Sangat sulit mencari titik pembenarannya.