Sabtu 09 Feb 2013 21:03 WIB

Jilbab Rani

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Asma Nadia

"Saya ingin ganti nama!" Seorang perempuan muda mendatangi saya. Wajah manisnya terlihat bersih dan bersahaja. Tetapi, jilbab warna cerah yang dikenakan tak bisa menghapus mendung di rautnya.

"Mengapa?" Sepasang mata agak sipit menatap, ada genangan air membayang di sana.

"Saya tak nyaman lagi. Nama itu mendadak dibicarakan di mana-mana."

Saya merayapi parasnya. Menjadi buah bibir, tenar, populer, bukankah impian banyak orang?

Beberapa alumnus workshopmenulis yang saya adakan, ada yang dengan sungguh-sungguh menyebutkan `pengen terkenal' sebagai alasan mereka ingin menjadi penulis. Konon, sekarang penulis bisa digolongkan selebritas. Lebih mudah karena tidak mensyaratkan tampang, tinggi, dan proporsi tubuh tertentu. Ingin terkenal tapi tidak mau jadi bulan-bulanan infotaintment, jadi penulis saja, kata mereka lagi.

Tetapi, gadis di depan saya justru terganggu karena namanya menjadi buah bibir."Mbak, saya memakai jilbab sejak kelas tiga SMP. Sudah lebih dari sepuluh tahun. Selama ini, saya jaga benar tingkah laku sebab tak ingin citra jilbab rusak gara-gara saya."

Ah, saya makin tak mengerti. Pertama tentang nama, lalu sekarang jilbab. Kemana kira-kira arah percakapan ini? Saya sabarkan diri dan membiarkan perempuan muda itu terus berbicara. "Dan seseorang membuat saya kesal karena ia tidak hanya merusak nama saya, juga citra kerudung sekaligus, dengan mengenakannya sebagai topeng."

Seseorang? Sebagai Muslimah berjilbab saya bisa memahami keresahannya. Dulu, di awal saya berjilbab, beredar isu jilbab beracun. Perasaan saya juga sempat terganggu ketika ada berita miring soal PSK berjilbab.

Memang, persoalan jilbab dulu dan sekarang berbeda. Tetapi, tetap jadi fenomena seperti sinetron-sinetron televisi menjelang bulan Ramadhan. Jilbab juga sering mendadak dipakai perempuan-perempuan yang tersandung hukum. Saya tidak pernah menghitung persisnya, tetapi terbilang cukup banyak pelaku kriminalitas, baik selebritas maupun masyarakat biasa saat meminta maaf di depan publik atau mengikuti persidangan membalut wajah dengan kerudung, baik dihampirkan atau benar-benar dipakai. Inikah maksudnya? "Saya mualaf, Mbak. Itu saja sudah menimbulkan kemarahan keluarga karena mereka tak mengerti. Terlebih ketika saya berjilbab."

Si Muslimah bercerita bagaimana dia ditinggalkan teman-teman, dimusuhi, dan diancam dikeluarkan pihak sekolah. Sementara, keluarganya seringkali menarik dan merenggut paksa, bahkan membakar jilbab yang ia pakai. Ujian serupa juga beberapa kali saya dengar dialami teman yang berlatar keluarga Muslim.

Seorang sahabat sampai sekarang masih berjuang untuk berjilbab sebab terhadang keberatan suami yang menganggap jilbab itu kampungan. Kepada sahabat tersebut sempat saya sampaikan ada baiknya si suami lebih sering menonton televisi atau melihat majalah agar tahu bahwa jumlah jilbaber atau hijabers berprestasi dari kalangan masyarakat sampai selebritas sudah sedemikian banyak saat ini.

Namun, pikiran orang memang macam-macam. Di saat ayah-bunda seharusnya bangga ketika anak mereka memilih menutup daripada memamerkan aurat, masih ada yang menentang habis-habisan keinginan si anak menjaga diri dari tarikan lingkungan yang kian bebas.

Atau, para suami yang tidak merasa lega memiliki istri berjilbab yang menunjukkan komitmen ketaatan kepada Allah. Padahal, begitu banyak perempuan Muslim masih berkelit dan mengatakannya sebagai budaya Arab, meski jelas-jelas Alquran diturunkan untuk seluruh alam.

Anehnya, kadang sesama Muslimah-- prasangka baik saya bahwa mereka belum mengerti--ada yang justru mengolok-olok Muslimah berjilbab. Berkata lebih baik tidak usah berjilbab daripada tidak bisa menjaga kelakuan, bukan justru termotivasi untuk menjadi Muslimah yang lebih baik dari potret sekitar, menjaga akhlak, dan berjilbab. Setidaknya, keputusan orang lain untuk berpakaian sopan haruslah dihormati."Jadi, haruskah saya mengganti nama?"

Perempuan di hadapan saya menunggu jawaban setelah bercerita panjang lebar. Saya akhirnya mengerti keresahannya. Dia tentu saja berbeda dengan perempuan yang dikabarkan ditemukan di kamar hotel dengan laki-laki yang sudah memiliki empat atau lima istri dan satu diantaranya sedang hamil.

Dia juga bukan perempuan yang sama dengan perempuan di hotel yang menerima saja uang sepuluh juta sebagai uang pertemanan dari lelaki yang nyaris tidak dikenal sambil berkilah, siapa yang tidak mau dikasih uang sebanyak itu?

Nama perempuan dengan wajah manis bersahaja, tanpa polesan make up yang tepekur di hadapan saya boleh sama dengan nama yang saat ini menjadi pembicaraan di Tanah Air.

Tetapi, bukan nama yang menentukan kualitas diri seseorang. Ada iman yang dengannya tidak ada uang sebesar apa pun bisa membeli pertemanan, apalagi kehormatan seorang perempuan.

sumber : Resonansi
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement