Rabu 20 Feb 2013 12:22 WIB
Resonansi

Revolusi Demokrasi

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Yudi Latif

Ada kelatahan umum dalam kesadaran elite kita bahwa demokrasi bisa dijalankan dengan sendirinya--asal ada kemauan, tanpa mempertimbangkan prasyarat yang diperlukan untuk memenuhi ideal-ideal demokrasi.

Padahal, ibarat pohon, perkembangan demokrasi yang sehat tidak bisa tercerabut dari tanah dan akar kesejarahannya, ekosistem sosial-budaya, sistem pemaknaan (signification), dan pandangan dunianya tersendiri. Oleh karena itu, setiap usaha pengambilan model institusi demokrasi dari luar meniscayakan proses adaptasi de ngan konteks sosio-historis masyarakat setempat.

Demokrasi pada hakikatnya pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat yang relatif setara:

kesetaraan dalam pemilikan sumber daya politik dan distribusi kekuasaan. Ketika Republik Amerika Serikat (AS) didirikan, kondisi rakyatnya memenuhi prasyarat kesetaraan yang diperlukan, kecuali orang-orang kulit hitam, Indian, dan perempuan yang pada mulanya dikucilkan secara politik.

Bertahannya hierarki tradisional feodalisme juga melanggengkan ketidaksetaraan dalam otoritas legal dan kontrol warga atas pemerintah.

Dalam multidimensi ketidaksetaraan, watak pemerintahan yang akan muncul, baik di bawah rezim otokratik maupun demokratik, tetap saja akan bersifat "oligarki". Bedanya, jika oligarki di masa otoritarianisme bercorak militeristik, di masa demokrasi liberal bercorak kapitalistik. Dengan kata lain, Indonesia belum bisa menjalankan demokrasi substantif. Sejauh yang berkembang hanyalah oligarki dalam mantel demokrasi.

Sementara pemerintahan berwatak oligarki, kebebasan sebagai paket demokratisasi tidak selalu mengarah pada kesetaraan, melainkan bisa juga memperlebar ketidaksetaraan. Liberali sasi politik yang memacu liberalisasi pemilikan dan perusahaan, dalam lebarnya ketimpangan sosial, bisa memperkuat dominasi pemodal besar atas perekonomian. Pertumbuhan ekonomi tidak diikuti oleh pemerataan. Dalam memperkuat dominasinya, para pemodal bisa menginvasi prosedur demokrasi.

Menyadari potensi destruktif demokrasi liberal dalam konteks ketidaksetaraan rakyat Indonesia, para pendiri bangsa berusaha merancang demokrasi "sistem sendiri". Dalam sistem ini disadari bahwa untuk jangka tertentu watak demokrasi Indonesia masih akan bersifat oligarki. Desain sistem harus mengupayakan agar oli garki yang muncul adalah oligarki "baik hati" (benevolent) yang berhikmat kebijaksanaan dan berempati pada penderitaan rakyat dengan memperjuangkan keadilan sosial. Lewat instrumen negara kesejahteraan, secara perlahan diupayakan pemenuhan prasyarat kesetaraan bagi perwujudan demokrasi sejati.

Mengantisipasi kemungkinan prinsip keadilan liberal berbasis "kesetaraan kebebasan individu" (equal liberty) bisa mengarah pada ketidaksetaraan yang lebih lebar, sistem sendiri berusaha mengimbanginya dengan prinsip keadilan multikulturalisme yang mengakui adanya "perbedaan posisi golongan-golongan dalam masyarakat (the principle of difference), dengan melakukan pengakuan politik atas kelompok-kelompok marginal.

Rekonsiliasinya, lembaga perwakilan rakyat tidak hanya merepresentasikan suara individu lewat partai politik, melainkan juga suara golongan dan teritorial dalam bentuk urusan golongan dan daerah. Sistem pemilu tidak mengadopsi sistem distrik atau proporsional terbuka yang ber potensi didominasi oleh kekuatan logistik, melainkan oleh sitem proporsional tertutup atau campuran, yang memberi kemungkinan kepada partai politik mengamankan kuota bagi para politisi tercerahkan dan baik hati.

Para arsitek demokrasi di era reformasi tampaknya melupakan imperatif prasyarat demokrasi; langsung mengadosi institusi demokrasi liberal yang tidak sepenuhnya kompatibel dengan kondisi sosio-historis Indonesia. Kegagalan paling nyata dari desain demokrasi cangkokan ini adalah ketidakmampuan institusi demokrasi untuk menciutkan kesenjangan sosial guna menghadirkan kondisi kesetaraan sebagai prasyarat demokrasi.

Dengan institusi demokrasi yang menggelembungkan "biaya kekuasaan", kekuatan modal mendikte demokrasi. Prosedur demokrasi alih- alih menjadi sarana untuk mengatasi ketidaksetaraan rakyat dalam perekonomian, justru kian memperkuat ketidaksetaraan. Penguatan partai politik identik dengan penguatan modal. Korupsi politik menjadi tak terelakkan.

 

Kondisi demokrasi Indonesia saat ini kian dekat menuju jalan buntu itu. Pertobatan nasional mengharuskan kita melakukan revolusi ter- hadap sistem demokrasi yang dijalankan saat ini, dengan kembali berpaling ke sistem sendiri, yang telah dirancang secara tulus dan saksama oleh para pendiri bangsa, untuk disempurnakan di berbagai sisi yang di masa lalu menjadi sumber penyimpangan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement